Lina kira setelah menikah suaminya akan lebih banyak waktu dan perhatian untuknya. Namun, ia harus rela menjalani kehidupan yang membosankan setiap kali ditinggal kerja suaminya. Meski nafkah uang cukup, namun nafkah batinnya tak terpenuhi. Apalagi sang suami seakan enggan setiap kali diajak bercinta. Rasanya ada yang kurang dalam dirinya. Ia juga ingin menikmati kehangatan dekapan pasangannya dan ingin merasakan kepuasan.
Suatu ketika, Lina pindah ke kota lain mengikuti suaminya. Ternyata tetangga barunya adalah mantan kekasihnya saat SMA. Sang mantan kekasih juga telah menikah dengan orang lain, sama seperti dirinya. Melihat keharmonisan dan keromantisan tetangganya, ia merasa iri. Apalagi suaminya masih tetap sibuk bekerja. Terbersit dalam pikirannya, seandainya saja yang menjadi suaminya adalah mantan pacarnya.
Bagaimana langkah yang diambil Lina untuk menepis rasa kesepiannya sebagai seorang istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Ketahuan
"Permisi, apa saya bisa bertemu dengan karyawan yang bernama Rudi Ardian, kepala manajer di sini?"
Lina akhirnya mendatangi sendiri kantor tempat suaminya bekerja setelah tadi pagi kedatangan tamu. Sore ini, ia ingin memastikan sendiri jika memang suaminya tak seperti yang ia bayangkan. Ia menemui resepsionis menanyakan keberadaan suaminya.
"Maaf, sebelumnya apakah Ibu sudah membuat janji dengan Beliau?" tanya wanita muda dengan tatanan rambut bersanggul yang menjaga di bagian resepsionis.
"Belum," jawab Lina singkat.
"Maaf, Ibu. Kalau belum ada janji, Anda tidak bisa bertemu di jam kerja."
"Saya istrinya. Ini sangat penting. Tolong sampaikan saja bahwa saya ada di bawah," pinta Lina.
"Ah, begitu ...." tampaknya sang resepsionis tidak berani menolak mendengar pengakuan Lina sebagai istri Rudi.
"Sebentar, Ibu. Coba saya hubungi staf yang ada di atas."
Resepsionis tersebut menelepon seseorang. Ia terlihat sibuk berbicara dengan lawan bicara di telepon. Beberapa saat kemudian, ia menyudahi meneleponnya.
"Maaf, Ibu. Saat ini Pak Rudi sedang tidak berada di tempat. Mungkin Anda bisa menghubunginya sendiri secara pribadi," ucap sang resepsionis.
Lina mengulaskan senyum. Ia gagal menemui suaminya di kantor.
"Baik, kalau begitu, terima kasih. Saya permisi," pamitnya.
Lina berbalik badan dan berjalan keluar lobi perusahaan. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi Rudi.
"Halo," sapanya ketika telepon tersambung.
"Ada apa, Sayang?" terdengar respon dari orang yang diteleponnya.
"Kamu sedang ada dimana?" tanya Lina.
"Tentu saja di kantor, Sayang. Aku masih bekerja. Apa ada masalah?"
Lina ingin tertawa mendengar jawaban itu. Sudah jelas suaminya sedang berbohong kepadanya.
"Kamu nanti mau pulang jam berapa?" Lina menjaga emosinya agar nada bicaranya tak berubah.
"Bukannya aku sudah mengatakannya di rumah? Hari ini aku akan pulang sekitar jam 4. Apa kamu sudah tidak sabar menunggu kepulanganku, hm?"
Lina melihat jam tangannya. Masih ada waktu satu jam.
"Tentu saja, Sayang. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu," jawab Lina.
"Baiklah, Sayang. Aku akan segera pulang. Tunggu aku dengan manis."
Lina lantas mematikan sambungan teleponnya. Ia merasa tubuhnya lemas. Semakin jelas rasanya bahwa apa yang dikatakan Wina bisa saja terjadi.
Ia memandangi gedung tinggi di seberang kantor. Itu adalah gedung apartemen yang dikatakan Wina tadi pagi. Kemungkinan suaminya ada di sana.
Lina sedikit takut untuk melangkah. Ia tak yakin sudah siap menerima kenyataan terburuk. Akan tetapi, jika ia tak membuktikan sendiri, pikirannya tak akan bisa tenang.
Ia menarik napas dalam-dalam. Ia mantapkan hati untuk berjalan ke arah apartemen itu. Ia keluarkan kartu akses yang Wina berikan kepadanya.
Sulitnya akses masuk ke dalam menandakan apartemen itu sangat menjaga privasi. Lina bertindak tenang seolah dia salah satu penghuni. Ia mencari unit nomor 3216 yang letaknya di lantai 30an.
Saat tiba di depan pintu unit tersebut, ia merasa ragu untuk masuk. Entah bagaimana nanti jika ia nekad masuk ke dalam.
Sekali lagi, Lina menenangkan dirinya. Apapun resikonya, ia tetap akan masuk ke dalam.
Lina menempelkan kartu tersebut di pintu. Pintu terbuka. Lina bisa melihat ruangan di depannya lewat celah yang terbuka. Ia melebarkan pintu hingga terlihat ruangan di dalamnya.
Terlihat luas seperti unit apartemen mewah. Lina perlahan berjalan memasuki apartemen tersebutm tampak seperti sebuah rumah pada umumnya.
Debaran jantungnya semakin kencang. Apalagi saat mendengar suara tawa lelaki dari salah satu kamar di sana. Ada juga suara orang berbicara. Rasanya Lina semakin tidak bisa bernapas.
"Sepertinya aku harus cepat-cepat pulang."
"Kenapa istrimu semakin cerewet? Ini belum saatnya pulang."
"Dia baru saja menelepon. Kalau aku tidak menurutinya, dia akan semakin curiga."
"Tapi, ini belum waktunya pulang."
"Aku ingin sampai tepat waktu. Kalau telat lagi, mungkin dia akan sangat marah.
"Jadi, kamu tidak bisa menginap lagi di sini?"
"Tunggu suasana lebih tenang. Aku akan meluangkan waktu sehari dua hari untuk menginap di sini."
"Seharusnya kamu belikan lagi barang-barang bagus. Aku yakin dia akan suka dan melupakan kesalahanmu."
"Ya, aku juga berpikir seperti itu. Mungkin nanti akan aku berikan kalung berlian."
"Aku akan mentransfer uangnya. Katakan saja berapa harganya. Itu tidak masalah. Asalkan kamu bisa tinggal di sini dengan tenang."
Pembicaraan mereka membuat Lina merasa sesak. Ia mematung ketika benar-benar menyaksikan sendiri suaminya tengah berciuman dengan lelaki lain di atas ranjang. Ia ingin menjerit namun suaranya tercekat.
Apa yang Wina ceritakan terpampang nyata di hadapannya. Suaminya benar-benar ada hubungan spesial dengan bosnya.
"Lina!"
Rudi akhirnya menyadari keberadaan istrinya di depan pintu. Ia sangat terkejut melihat istrinya ada di apartemen milik bosnya. Ia langsung menyambar tasnya.
Ia melompat turun dari ranjang menghampiri istrinya. Lina yang masih syok ikut lari saat Rudi berusaha mengejarnya.
"Lina, tunggu! Dengarkan penjelasanku!" teriak Rudi sembari mengejar istrinya.
Akhirnya, Lina berhasil ia tangkap sebelum memasuki lift.
"Lepas! Lepaskan aku!" Lina berteriak histeris meronta-ronta meminta Rudi melepaskan cekalan tangannya seperti orang kesurupan.
Rudi tak mau membiarkan Lina pergi begitu saja. Ia menarik sang istri kedalam dekapannya. Ia memeluknya erat meskipun Lina terus memberontak.
"Tenangkan dirimu, Lina. Kita akan bicara saat pikiran kita tenang," pinta Rudi.
"Aku tidak mau melihatmu! Lepaskan aku!" Lina masih terus meronta.
"Lina, kamu boleh memakiku sampai puas. Tapi, please, jangan di tempat umum. Kita pulang dulu dan jernihkan pikiran masing-masing," bujuk Rudi.
"Kamu gila, Mas ... Gila! Aku tidak menyangka. Ini benar-benar gila!" Lina tak bisa menerima kenyataan. Baginya, Rudi tak mungkin akan seperti itu.
"Iya, iya .... Aku memang bajingan. Kamu berhak memakiku sepuasmu."
Rudi terus memeluk istrinya. Lina menangis sesenggukkan sembari memukulinya. Sampai akhirnya, wanita itu menjadi semakin tenang karena tenaganya terkuras.
"Kita pulang sekarang," ajak Rudi.
Untung saja kondisi di lorong apartemen terlihat sepi. Akan memalukan jika ada orang yang lewat.
Ia membawa istrinya masuk ke dalam lift. Tangisan Lina perlahan mengecil. Ia tahu raut wajah istrinya penuh dengan kekecewaan.
Sesampainya di lantai dasar, ia mengajak Lina masuk ke dalam mobilnya. Ia lantas menjalankannya.
Rudi menghela napas. Sembari mengemudi, sesekali ia melirik ke samping. Lina tak mau menoleh kepadanya.
Ia tak menyangka akan jadi seperti itu. Bagaimana bisa istrinya masuk ke apartemen pribadi yang keamanannya sangat ketat. Apalagi tepat saat ia berbuat hal yang tidak pantas di sana. Lina pasti sangat kecewa.
Sementara, Lina tak bisa berkata-kata. Entah ia hanya merasa syok atau sampai trauma. Tubuhnya sampai terasa lemas tak berdaya.
"Lina ... Maafkan aku ... Tolong maafkan aku ...." sepanjang Jalan Rudi terus mengucapkan kata-kata itu.
kok bisa sahan trian lbh besar dr keluarga dara pdhl yg punyya kekayaan kn kluarga dara aku vote deh buat kegilaan trian