Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pria yang duduk di sebelah Aline tidak bisa memahami situasinya sekarang ini. Sebelumnya ia telah berusaha keras untuk membujuk Dokter Gita agar kembali ke asrama dan beristirahat, dan setelah Dokter Gita pulang, ia justru dilanda kebingungan. Kerjanya hanya duduk memandangi wajah sang putri tidur yang belum menunjukkan tanda-tanda akan segera terbangun.
"Aku tidak mengerti. Sudah satu minggu, lho. Kenapa tidurmu nyenyak sekali sih, Lin?" pria itu berkata sembari menyeka wajah Aline dengan hati-hati. Udara di ruangan itu terasa sejuk, namun gadis yang terbaring lemas di atas ranjangnya tetap saja mengeluarkan begitu banyak keringat.
Pria itu berdiri dari tempat duduknya, mendekat ke arah jendela, duduk bergeming memperhatikan pemandangan di luar. Suara tawa dari anak-anak kecil yang bermain di taman rumah sakit terdengar bersahutan dengan teriakan para pedagang jajanan gerobak. Beberapa orang suster terlihat sibuk bolak-balik di koridor. Langkah mereka tergesa-gesa bahkan sampai ada yang berlarian menaiki tangga.
Suasana siang itu terlihat cerah. Langitnya biru tanpa awan. Rumput-rumput hijau serta bunga-bunga yang bermekaran di taman rumah sakit jadi kelihatan kontras dengan warna langit. Namun orang-orang yang berada di bawah sana tidak seceria cuaca hari ini. Mendung tebal menghiasi wajah beberapa orang yang baru saja keluar dari ruang operasi. Dari atas jendela, terlihat seorang wanita menangis histeris mengikuti para petugas yang mendorong brankar suaminya.
Pria itu melepas udara dari mulutnya. Ia melirik Aline sekilas sebelum memalingkan wajahnya ke arah meja di ruangan itu.
Ia bersandar dan menyilangkan tangan di dada. "Padahal, kemarin kami sudah sepakat untuk mengajak kamu berlibur, tapi kamu malah seperti ini." keluhnya.
Pria itu menarik napas panjang. Ia menatap Aline seakan menyayangkan keadaannya. Ia bangkit dan melangkah ke pojok ruangan itu, duduk di sofa, membuka laptopnya.
"Oh, tidak!"
Sebuah e-mail masuk membuatnya berkeluh kesah. Layar yang tadinya menampilkan game pocket-moonster itu kini telah berganti menjadi tampilan kosong dari software Autocad Architecture. Pria itu menguap, melemaskan otot-otot tangannya dan mulai berpikir untuk mengerjakan tugas-tugasnya yang kini menumpuk.
Sembari bekerja, ia menyenandungkan lagu Moral of the story' milik penyanyi Ashe. Suaranya terdengar dalam dan berkarakter. Mungkin jika ia mengikuti ajang pencarian bakat ia bisa lolos dari penilaian juri.
Di menit-menit berikutnya, kertas-kertas berukuran A4 mulai menumpuk di meja. Ia tampak sibuk membuat beberapa sketsa desain interior rumah; menghapus, menggulung kertas, membuangnya. Begitu dan begitu seterusnya. Anak Pria itu menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar kecil itu sampai ia merasa bosan lalu keluar dari ruangan tersebut.
Malam harinya—tepat di jam delapan, kedua tangan dan kelopak mata Aline mulai bergerak-gerak. Begitu Aline terbangun, ia mendapati dirinya berada di sebuah ruangan dengan dominasi warna putih. Ruangan itu terlihat luas untuk seukuran kamar rumah sakit. Aline melirik tabung oksigen dan selang infus yang menempel di tangan dan hidungnya. Kepalanya masih terasa pusing, tubuhnya juga sedikit kaku untuk digerakkan.
Kenapa aku di sini?
Aline kemudian termenung. Ia ingat, malam itu ia merasa terpuruk sekali. Ia meminum obat antidepresan dan obat-obatan lain yang ada di kotak P3K. Kemudian dalam keadaan setengah sadar, ia menyayat tangannya dengan pecahan cermin.
Ah, aku belum mati rupanya....
Aline memandang langit-langit kamar itu dengan tatapan kosong beralih pada tangannya yang diperban. Sebutir air bening yang terasa hangat menetes di pelupuk matanya, tak lama sebaris senyum terlukis di bibirnya yang kering.
Gadis itu tersedak. Tenggorokannya merasa kehausan ketika ia hendak mengeluarkan suara. Ia menengok ke arah nakas, namun tidak ada gelas minuman atau sesuatu yang dapat menghilangkan dahaganya. Di lemari sebelah tempat tidurnya hanya ada beberapa buket bunga berwarna-warni yang memenuhi tempat penyimpanan kecil itu.
Aline melirik galon air di dekat sofa. Ia berusaha menggerakkan tubuh kakunya untuk bangun dari tempat tidur.
"Oh, kamu sudah sadar?" suara Pria dari balik pintu mengagetkan Aline yang sedang duduk mengatur napasnya.
Aline melirik ke asal suara itu. Dahinya sedikit berkerut melihat Pria itu tersenyum kepadanya.
"Kak Stev?" Sepasang mata Aline memicing, suara gadis itu masih terdengar lemah. Aline menunjukkan ekspresi bingung ketika Stev berjalan menghampirinya.
"Tidak! Jangan banyak bergerak dulu. Tubuhmu masih kaku. Kamu butuh apa? Biar aku ambilkan, sebentar..."
Stev menaruh barang belanjaannya di atas meja, ia segera datang memeriksa suhu tubuh Aline, menyandarkan kepala Aline di bantal, kemudian dengan sigap sebelah tangannya yang lain menekan tombol kecil di samping tempat tidur Aline, menaikkan ranjangnya.
"Kamu tunggu di sini sebentar ya, aku tinggal keluar dulu."
Aline tak sempat meminta segelas air, karena Stev langsung berlari keluar.
Tidak lama, seorang Dokter laki-lak berusia hampir lima puluh tahunan, dengan rambut yang sudah beruban masuk diikuti oleh seorang suster muda berperawakan tinggi dan berkacamata, lalu Stev berjalan di belakangnya.
Stev berdiri di sebelah kanan Aline. Suster itu mulai memeriksa tensi darah Aline dan mengganti cairan infusnya. Sang Dokter memasang stetoskop dan memeriksa setiap detak jantung Aline. Dokter itu tersenyum melihat hasil pemeriksaan Aline yang diberikan suster itu. Lantas dokter itu menanyakan nama, usia, alamat dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan Aline. Aline menjawab semua pertanyaan itu dengan jelas dan lengkap.
"Syukurlah, tampaknya tidak ada masalah dengan ingatannya. Kesehatannya juga stabil." Dokter itu menepuk punggung Stev dengan lembut.
"Alhamdulillah, berarti dia sudah bisa pulang ya, Dok?"
"Yah, secepatnya. Kalau besok pagi kondisi Aline sudah semakin membaik—dalam arti dia sudah kuat untuk berjalan, dia sudah diperbolehkan untuk pulang."
Stev menganggukkan kepala. "Baik. Terima kasih, Dok."
"Sama-sama. Saya tinggal dulu."
"Lain kali tinggal pencet tombol ini saja ya, Mas. Tidak usah berlari ke koridor." Suster yang hampir berusia 30-an itu mengingatkan Stev.
Stev tersipu dan mengangguk, ia mengantar dokter dan suster itu sampai ke depan pintu, kemudian kembali ke tempat Aline.
"Syukurlah kamu sudah bangun. Tidur kamu lama sekali, tahu. Oh ya, kamu lapar, tidak? Mau makan?" tanya Stev sembari nyengir.
Alih-alih kesal melihat senyuman Stev, Aline malah memasang ekspresi heran karena Stev berada di kamarnya.
Stev tidak memedulikan tatapan Aline. Ia beralih ke meja, sibuk menyiapkan makanan ke dalam mangkuk besar. Seketika bau kuah soto yang kental tercium di ruangan itu. Perut Aline langsung berbunyi. Stev tertawa mendengar nyanyian perut gadis itu.
"Kamu tahu? Ini adalah salah satu keajaiban Soto Babat Pak Muh. Tidak ada orang yang mampu menghindar dari aromanya. Nah, sekarang makanlah!" Stev menyodorkan mangkuk putih berisi soto babat lengkap dengan kupat dan kerupuknya ke meja di hadapan Aline.
Aline tidak bereaksi. Tangan kanannya yang diperban masih terasa perih ketika digerakkan. Gadis itu memilih bungkam meski cacing di perutnya meronta-ronta meminta makan.
"Ayo dimakan dulu. Kamu sudah tidak makan selama satu minggu, lho. Kalau kamu ingin sehat isilah perutmu dengan itu. Setidaknya makan lima atau tujuh sendok saja."
"Aku tidak lapar." bantah Aline, suaranya masih terdengar lemah.
"Ayolah, jangan berbohong padaku. Kasihan perut kamu tuh. Lupakan saja rasa malu untuk saat ini. Makanlah dulu."
"Aku tidak mau." Aline memiringkan tubuhnya, memunggungi Stev.
"Kenapa tidak mau? Kamu cemas karena makanannya bersantan?"
Aline tidak menjawab.
"Kamu tidak usah takut, Aline. Walaupun kamu baru bangun dari koma, Dokter tidak memberikan pantangan untuk makanan kamu. Ayo dimakan dulu. Kalau kamu tidak mau, aku akan memaksa dan menyuapimu, lho."
Stev menyendok kupat dan kuah soto di mangkok itu. Tapi Aline menghempasnya hingga mangkuk itu terjatuh. Stev kaget, ia menghela napas panjang, mencoba untuk tetap bersabar menghadapi sikap Aline saat ini.
"Di mana Dokter Gita?" tanya Aline sedikit kasar.
Stev tidak segera menjawab. Ia masih sibuk mengelap kuah soto yang dijatuhkan Aline dengan sapu tangan kertasnya.
"Kak Stev! Di mana Dokter Gita?" Sesaat saja Aline balik badan, menatap Stev yang sudah duduk di sampingnya.
Stev melirik Aline dan menghela napasnya. "Ibu sedang istirahat di asrama. Kemarin dia terserang demam jadi aku menggantikan tugasnya menjagamu di sini."
"Ibu?" Kening Aline mengernyit. Stev hanya tersenyum samar melihat ekspresi Aline yang kebingungan.
"Besok pagi beliau akan datang ke sini. Aku juga sudah memberitahunya bahwa kamu sudah siuman."
"Kak Stev kenal dengan Dokter Gita?"
Stev mengangguk. "Aku sudah lama mengenalnya."
"Bohong, kan?"
Stev memandang Aline yang tengah kebingungan. Ia menarik napas panjang dan beranjak dari kursi. "Kalau kamu ragu, kamu boleh menelepon beliau dan bertanya sepuasnya. Ponselmu ada di laci, mau aku ambilkan?"
Aline kembali terdiam.
Stev tanpa disuruh membuka laci di sebelahnya, mengeluarkan benda kotak dari sana.
"Ini ponselmu. Telepon saja jika kamu meragukan ucapan aku."
Stev menaruh telepon seluler itu dalam genggaman Aline. Aline masih tidak mengerti mengapa Stev tiba-tiba bersikap seperti ini. Biasanya Stev selalu bertingkah jenaka, tetapi sekarang—jangankan bertingkah lucu—tidak ada tatapan meledek ataupun sikap abnormal yang diperlihatkan Stev di hadapan Aline. Ia tampak begitu serius.
Helaan napas Stev kembali terdengar berat. Pria itu mengusap-usap ujung kepalanya. "Ah, aku pasti akan dimarahi Ibu. Aku tidak bisa membujuk kamu makan, aku juga tidak bisa membuat kamu percaya padaku. Hah... lengkap sudah. Tapi, meskipun begitu ..."
Stev menoleh, memandang Aline dengan tatapan tajam. "Setidaknya, tolong percaya kalau aku ini peduli kepadamu. Kamu bisa, kan?"
Aline melongo. Bibirnya tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun.