NovelToon NovelToon
Blokeng

Blokeng

Status: sedang berlangsung
Genre:Playboy
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Perpisahan dan Kuntilanak

“Sepertinya sudah larut, aku harus pulang,” ucap Lina sambil menghela napas panjang, merasakan rasa berat di hatinya.

“Iya, sepertinya begitu. Tapi aku sangat senang bisa menghabiskan waktu bersamamu,” jawab Blokeng, menatap Lina dengan mata yang penuh harapan.

Lina tersenyum. “Aku juga. Meskipun awalnya aku merasa ilfil, tapi ternyata kamu menyenangkan!”

Mereka berdua tertawa, tetapi ada keraguan di hati Lina. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Di satu sisi, dia merasa nyaman dengan Blokeng, tetapi di sisi lain, ada banyak pertanyaan yang tidak terjawab tentang cowok ini.

Saat mereka berdiri, Blokeng mengalihkan perhatian Lina dengan berbicara tentang rencananya di masa depan. “Aku ingin mencari pekerjaan yang lebih baik. Mungkin aku bisa kerja di tempat karaoke, bisa ketemu banyak orang dan mungkin...,” dia terhenti sejenak, “mungkin bisa sering bertemu kamu.”

Lina merasakan jantungnya berdebar. Ada sesuatu dalam cara Blokeng berbicara yang membuatnya merasa diperhatikan. Namun, dia merasa ragu untuk berharap lebih. “Kita lihat saja nanti, ya. Semoga kita bisa ketemu lagi,” jawabnya dengan nada optimis.

Blokeng mendekat, wajahnya terlihat serius. “Aku...,” dia menelan ludah. “Aku tidak mau perpisahan ini terasa biasa saja.”

Dengan perlahan, Blokeng meraih wajah Lina dengan lembut. Lina terkejut, namun hatinya bergetar saat dia merasakan kedekatan itu. Dalam sekejap, dia merasakan kehangatan dari tangan Blokeng di pipinya.

“Blokeng, apa yang kamu…?” kata Lina, tetapi perkataannya terhenti saat bibir Blokeng menempel lembut di bibirnya.

Lina terkejut. Rasa jijik semula yang ia rasakan seakan hilang seketika, tergantikan dengan perasaan hangat yang menyebar di seluruh tubuhnya. Namun, saat ciuman itu berlanjut, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak merasakan aroma jengkol yang menyengat. Dan saat dia melihat dengan seksama, ada selilit cabai nyangkut di gigi Blokeng.

Dia langsung mendorong Blokeng menjauh dengan rasa jijik. “Aduh, Blokeng! Mulutmu bau jengkol!” teriak Lina sambil menyeka bibirnya, berusaha menyingkirkan jejak ciuman yang aneh itu.

Blokeng tampak bingung, tetapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak. “Ya ampun! Maaf, aku tidak bermaksud bikin kamu jijik!”

“Lain kali, sikat gigi dulu sebelum mencium cewek!” Lina menyunggingkan senyum, tetapi di dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang tidak bisa dia pungkiri—ada daya tarik yang tidak bisa diabaikan.

Mereka berdua tertawa, tetapi ada keraguan yang tersisa di antara mereka. Dengan langkah yang tidak pasti, mereka mulai berjalan menjauh dari alun-alun.

“Jadi, kita akan ketemu lagi kan?” tanya Blokeng dengan harapan.

“Ya, tentu! Kita harus karaokean bersama!” jawab Lina, merasakan semangat di dalam hatinya.

Dengan harapan untuk pertemuan selanjutnya, mereka berpisah di ujung jalan. Lina melangkah pulang dengan senyum lebar, meskipun dia merasa campur aduk antara rasa jijik dan rasa tertarik kepada Blokeng. Dia tahu bahwa pertemuan ini adalah awal dari sebuah kisah yang mungkin akan membawa mereka ke arah yang tak terduga.

Di sisi lain, Blokeng menatap punggung Lina yang menjauh, merasakan sesuatu yang baru dalam dirinya—perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Dia tahu bahwa malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.

Setelah berpisah dengan Lina, Blokeng berjalan pulang dengan langkah ringan, meski perasaannya campur aduk. Dia tersenyum sendiri mengingat ciuman yang aneh namun membuat jantungnya berdebar itu. Namun, saat melangkah lebih jauh, pandangannya tertuju pada sosok yang menarik perhatiannya di ujung jalan.

Di bawah lampu pilar yang redup, dia melihat seorang gadis cantik duduk sendirian. Wajahnya bersinar, rambutnya panjang mengalir seperti sutra, dan pakaiannya tampak anggun meski sederhana. Blokeng tidak bisa menahan diri. Dalam dirinya yang selalu berani dan sedikit kasar, dia mendekati gadis itu.

“Eh, cantik! Apa kamu sendirian di sini?” tanyanya dengan nada menggoda, berusaha menampilkan pesona preman yang biasanya dia tunjukkan.

Gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan kosong, tanpa menjawab. Blokeng merasa ada yang aneh, tetapi sifatnya yang percaya diri mendorongnya untuk terus melangkah. “Aku Blokeng. Mau hangout bareng? Malam ini cerah banget, sayang kalau sendirian.”

Namun, saat dia mendekat, wajah gadis itu mulai berubah. Tatapan kosongnya beralih menjadi sebuah senyuman yang lebar, tetapi senyuman itu tidak menghangatkan hati. Sebaliknya, membuat Blokeng merinding. Perlahan, gadis itu mulai berubah. Kulitnya menjadi pucat, rambutnya panjang dan berantakan, dan wajahnya—oh, wajahnya—menjadi sangat menyeramkan, seolah-olah dari dunia lain.

Blokeng tertegun, dan dalam sekejap, dia menyadari bahwa dia telah mendekati kuntilanak. Wajahnya yang tadi cantik kini berubah menjadi sosok yang mengerikan, dengan mata merah menyala dan tawa yang membuat bulu kuduknya merinding.

“Siapa yang berani mendekatiku?” suara kuntilanak itu serak, seolah berasal dari dasar jurang.

Blokeng merasakan ketakutan melanda dirinya, tetapi insting premannya tidak mau kalah. “G-gak apa-apa, aku hanya mau kenalan,” ucapnya, meski suaranya bergetar. Dia mencoba bersikap tenang meski jantungnya berdetak kencang.

Kuntilanak itu tertawa, suara tawanya bergema di sekitar mereka. “Kenalan? Kenalan dengan siapa? Aku adalah jiwa yang terperangkap di sini. Dan kamu, Blokeng, datang untuk menggangguku?”

“A-aku... tidak! Aku cuma lewat, kok!” jawabnya, berusaha menjauh sambil mundur perlahan.

Kuntilanak itu melangkah maju, semakin mendekat. “Kau pikir aku takut pada orang sepertimu? Berani sekali datang ke sini, tapi sekarang kau sudah terjebak!”

Blokeng mulai panik. “Ayo, jangan bercanda! Aku... aku hanya ingin pulang!” Dia berusaha berbalik, tetapi kakinya seolah terpaku di tempatnya.

Dengan segala keberanian yang tersisa, dia berteriak, “Tolong! Siapa pun yang mendengar, tolong!”

Tetapi suasana malam yang tenang seolah menyerap suaranya. Tawa kuntilanak itu semakin keras, dan Blokeng merasa dunianya mulai berputar. Di pikirannya, dia teringat pada Lina dan betapa menyenangkannya malam itu. Dia tidak ingin akhir hidupnya seperti ini—terjebak oleh makhluk menyeramkan.

Blokeng mengingat sesuatu. Dia pernah mendengar bahwa kuntilanak tidak suka dengan pria yang berani atau kasar. Dia berusaha merangkai kata-kata dengan cepat. “Kamu tahu, aku pernah lihat kuntilanak yang lebih cantik dari kamu. Mungkin kamu bisa menunjukkan dirimu yang sebenarnya?”

Kuntilanak itu terhenti sejenak, tampaknya terkejut dengan perkataan Blokeng. “Lebih cantik? Mana mungkin ada yang lebih cantik dariku?” dia meragukan, tetapi tidak menyerang.

“Yah, aku tahu ada, meskipun banyak yang bilang itu hanya legenda. Tapi kan kita tidak bisa mengandalkan legenda, bukan?” Blokeng mulai menemukan keberanian dalam dirinya. “Kamu seharusnya bangga dengan kecantikanmu. Kenapa kau memilih untuk menakut-nakuti orang?”

Mata kuntilanak itu melebar, dan perubahan dalam dirinya mulai terlihat. Dia menatap Blokeng dengan rasa ingin tahu. “Apa yang kau katakan?”

“Cobalah untuk lebih baik, mungkin kamu bisa menemukan kebahagiaan dan meninggalkan kegelapan ini,” ujar Blokeng, berusaha meyakinkan meskipun hatinya masih berdebar.

Kuntilanak itu tampak bingung, dan dalam hitungan detik, sosoknya mulai kembali ke bentuk semula—wajah cantik itu muncul kembali, meskipun masih ada bayangan kelam di sekelilingnya.

“Apa kau yakin? Kau bukan orang pertama yang mencoba mengubahku,” ucapnya lirih.

Blokeng merasa sedikit lega, meskipun dia tahu ini belum berakhir. “Cobalah, tidak ada salahnya untuk mencoba. Kita semua punya pilihan, bahkan kamu.”

Sejenak, hening menyelimuti mereka. Blokeng merasa ada sedikit harapan di antara kegelapan. Kembali kepada dirinya, dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takut. “Jadi, bagaimana? Apakah kamu mau berubah atau tetap menjadi kuntilanak?”

Kuntilanak menatapnya, dan ada sebuah senyuman samar di wajahnya. “Aku akan berpikir tentang apa yang kau katakan, Blokeng. Terima kasih.”

Dengan itu, Blokeng merasa ada secercah harapan. Mungkin malam ini adalah ujian baginya—mencoba bersikap baik bahkan dalam situasi terburuk. Dia melangkah mundur, memperhatikan ketika sosok kuntilanak itu perlahan-lahan menghilang, menyisakan udara dingin di sekitarnya.

Setelah melewati pengalaman menegangkan itu, Blokeng tahu bahwa hidupnya akan menjadi lebih menarik—dan dia harus siap menghadapi semua tantangan yang akan datang, baik di dunia nyata maupun di dunia yang tidak terlihat. Dan satu hal yang pasti, dia tidak akan pernah melupakan malam ini.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!