Kalista Aldara,gadis cuek yang senang bela diri sejak kecil.Tapi sejak ia ditolak oleh cinta pertamanya,ia berubah menjadi gadis dingin.Hingga suatu ketika, takdir mempertemukannya dengan laki-laki berandalan bernama Albara. "Gue akan lepasin Lo, asalkan Lo mau jadi pacar pura-pura gue."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
enam belas
Mata Albara terbuka perlahan ketika seseorang menggoyangkan tubuhnya yang tengah terlelap. "Bara, bangun dulu," ujar seorang perempuan yang ternyata adalah mamahnya.
Albara melenguh pelan, salah satu matanya terbuka, memperhatikan wajah mamahnya yang tampak serius. Meskipun rasa kantuk masih menghantui benaknya, ia bersikap patuh dan berusaha bangun serta menegakkan duduknya. "Kenapa, Mah?" tanya Albara dengan suara yang berat, terasa berat untuk berkata-kata.
Mamahnya menarik nafas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian sebelum bertanya. "Kamu sudah punya pacar?" Ia menatap tajam pada Albara, mencari tanda-tanda ketidakjujuran dari balik wajah khas bangun tidur putranya itu.
Albara memandang bingung, berusaha mencerna pertanyaan mendalam yang baru saja dilontarkan. Belum lagi kehangatan dari alam mimpi sempurna yang baru ia tinggalkan, kini ia disuguhkan pertanyaan yang begitu tak terduga. Dengan gerak lamban, ia menggeleng seraya menguap lelah. "Belum, Mah. Kenapa sih?"
Mamah Albara menghela nafas dalam, dan matanya mulai memerah. "Mulai sekarang kamu cari pacar ya, Nak." Ujarnya lembut, namun penuh tekad.
Kening Albara berkerut, heran dan tak mengerti apa yang sedang terjadi. Hatinya berdebar seiring tumbuhnya rasa penasaran tentang alasan mengapa mamahnya tiba-tiba membahas hal seperti ini.
"Kamu tahu kan, Tante Lina itu sangat ingin menjodohkan kamu dengan anaknya," ujar ibunya.
Albara menghembuskan napasnya dengan kesal, sadar bahwa semua orang di rumah mengetahui hal tersebut. Tante Lina memang sangat berambisi untuk menjodohkan anak gadisnya, Siska, dengannya.
"Kamu juga tahu kan, kalau Tante Lina itu teman dekat mamah. Dia dan keluarganya telah banyak membantu mamah di masa lalu, sehingga mamah merasa sangat terhutang budi."
"Jadi, mamah setuju menjodohkan aku dengan Siska?" tanya Albara, wajahnya berubah muram.
Ibunya menggeleng, "Meskipun mamah punya hutang budi pada Tante Lina, mamah tidak akan mengorbankan kebahagiaanmu dengan menjodohkan kamu dengan anaknya." Lisa menatap anak laki-lakinya dengan penuh kelembutan, menggenggam kedua tangan Albara.
"Makanya, cobalah untuk mencari kekasih. Jika Siska mengetahui kamu sudah memiliki pasangan, mungkin dia akan mengurungkan niatnya, dan mamah bisa beralasan pada Tante Lina bahwa mamah tidak bisa memaksamu menerima perjodohan ini." Kata-kata ibunya begitu tulus, ingin melindungi Albara dari jerat perjodohan yang tidak diinginkan.
Albara menghela napas berat, mencoba menyembunyikan perasaannya. "Tapi Ma, Bara nggak punya waktu buat ngurusin hal kayak gitu," keluhnya dengan nada malas.
"Tapi Bara, menurut Mamah cuma itu solusi satu-satunya."
"Mah, Bara benar-benar nggak punya waktu," tekan Albara, matanya menatap tajam ibunya.
Lisa, sang ibu, mengerutkan kening, "Mamah tahu, Bara, kamu di sekolah suka bolos. Kamu masuk cuma saat pelajaran yang kamu suka saja. Terus kamu nggak ada waktunya dimananya?" tanyanya dengan nada menantang.
Meski anaknya dikenal bandel dan selalu membuat masalah, Lisa tahu bahwa belum pernah Albara berurusan dengan seorang perempuan. Dia belum pernah melihat anaknya dekat-dekat atau merayu perempuan mana pun.
"Albara nggak punya waktu buat pacaran, tapi kalau Mamah maksa Bara nyari pacar sekarang, jelas Bara akan deketin perempuan itu bukan karena cinta. Bara nggak mau, Mah. Nggak mau nyakitin perempuan itu, dan itu cuma buang-buang waktu Bara aja," ujar Albara dengan nada sedikit meninggi, tangannya bergerak cepat untuk menunjukkan kegundahan hatinya.
Lisa menghela napasnya.
"Kak,bilangin nih adiknya,"ujar Lisa pada anak sulungnya.Biasanya jika Bara tidak menurutinya, anaknya itu akan menuruti perkataan kakaknya.
Larisa menggeleng."Aku gak mau mah,mana siap aku berbagi adik kesayangan aku sama perempuan lain."
Albara mengacungkan jari jempolnya pada Larisa.
Larisa terdiam ia seperti sedang berpikir."Gimana,kalau Lo nyewa pacar boongan aja? Dengan begitu Lo bisa kan terlihat seperti punya pacar di depan Tante Lina tanpa harus nyari cewek buat Lo cintai."
"Tetap aja gak bisa,"ujar Albara dengan lantang.Ternyata kakaknya besar persepsi dengannya.
Sungguh Albara paling malas berurusan dengan wanita,bukan apa-apa baginya menghadapi wanita itu adalah hal yang merepotkan.Lihat saja kakak dan mamahnya sekarang,untung saja Albara menyayangi mereka.
Larisa mengerucutkan bibirnya."Lo normal kan,Bar?", tanya kakaknya penuh telisik.
Seketika Albara mendelik."Gue normal lah,kak.Gila aja Lo! Gue masih suka sama cewek-cewek seksi kok,cuma kalau buat pacaran gak dulu,ribet."
Albara menatap nanar ke arah mamahnya. "Mah, Mamah tahu sendiri kan betapa agresifnya Siska?"
Lisa terdiam, meneguk salivanya. Memang, sejak kecil Siska selalu mengekor di belakang Albara ke mana-mana, bahkan saat Albara menunjukkan ekspresi ketidaksukaan sekalipun. Siska tak pernah menyerah untuk mendekati anak Lisa itu. Maka dari itu, Lisa mengusulkan agar Albara mencari kekasih, dengan harapan agar terbebas dari bayang-bayang Siska yang terus menghantuinya.
"Aku yakin, Siska nggak akan terima begitu saja jika tahu aku dekat dengan perempuan lain," ungkap Albara dengan suara bergetar.
"Aku tak ingin apa yang terjadi pada kakak dulu, terulang kembali, Mah." Larisa dan Lisa hanya bisa menghela napas panjang, wajah mereka terlihat pilu dan duka.
____
"Kak,Lo punya duit gak?",tanya Aldara pada kakaknya.
"Kenapa? Mau melet orang Lo?",tanya kakaknya yang sedang berbaring di sofa sambil menonton acar di televisi.
"Apa si,kok jadi mau pelet orang?",tanyanya.
Andrew lantas mendudukkan dirinya. "Ya, kok tumben-tumbenan minta duit ke gue?"
"Gue mau operasi plastik, biar kayak cewek-cewek Korea," ujarnya dengan wajah datar.
"Jangan gila deh, Dek!"
Aldara tertawa terbahak-bahak, melihat ekspresi kaget kakaknya. "Bercanda, Kak, gitu amat sih ekspresi lo."
"Ya, lagian lo ngomongnya operasi-operasi, padahal harusnya lo tuh bersyukur Tuhan kasih wajah yang cantik. Ini malah mau lo ubah dengan buatan manusia," tegas kakaknya, menyadarkan Aldara.
Aldara menghela napas panjang. "Dibilang gue cuma bercanda, Kak. Mana, duitnya ada gak?" tanyanya sambil menadahkan tangan.
"Buat apa? Kalau lo buat macam-macam, gue aduin ke Mamah, loh."
Aldara mendelik, kesal. "Apa sih? Gue minta duit buat beli krim penghilang bekas luka. Nih, lihat bekas luka di kening gue, gak ilang-ilang," ujarnya sambil menunjuk keningnya, penuh harap.
Mata Andrew menatap luka yang ditunjuk oleh Aldara,memang si ada bekas cukup panjang di sana tapi ia lihat bekas luka itu sudah mulai memudar."Lebay banget si segala beli krim,itu bekas luka Lo udah mau mudar,beberapa hari lagi juga ilang sendiri."
Aldara berdecak."Lama kalau nunggu beberapa hari lagi,nanti kalau orang-orang liat luka gue gimana? Nanti gue keliatan jelek loh."
"Lagian suruh siapa berantem,gini kan jadinya."
"Kan gue gak tau kalau di tempat itu akan ada yang tawuran,kalau tau juga gue mending lewat jalan lain daripada mengorbankan wajah gue yang mulus ini."
Kakaknya berdecih."Lo mau pake krim juga sama aja perlu nunggu beberapa hari supaya ilang.Udah sana,ganggu orang nonton aja."
Aldara berdecak,ia pergi sambil menghentakkan kakinya.
Andrew yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.