> "Rei Jaavu, apakah anda siap meninggalkan dunia ini dan pergi menuju negeri impian anda sekarang?"
"Jepang? Beneran aku bisa ke Jepang?"
> "Jepang? Ya, Jepang. Tentu saja."
Kata-kata itu muncul di layar laptop Rei, seperti tawaran menggiurkan yang nggak mungkin ia tolak. Sebuah sistem bernama "AniGate" menjanjikan hal yang selama ini cuma ada di dalam imajinasinya. Jepang klasik, negeri isekai, atau bahkan jadi tokoh kecil di dalam novel klasik yang selalu ia baca? Semua seperti mungkin. Ditambah lagi, ini adalah jalan agar Rei bisa mewujudkan impiannya selama ini: pergi kuliah ke Jepang.
Tapi begitu masuk, Rei segera sadar... ini bukan petualangan santai biasa. Bukan game, bukan sekadar sistem main-main. Di tiap dunia, dia bukan sekadar 'pengunjung'. Bahaya, musuh, bahkan rahasia tersembunyi menghadangnya di tiap sudut. Lebih dari itu, sistem AniGate seolah punya cara tersendiri untuk memaksa Rei menemukan "versi dirinya yang lain".
"Sistem ini... mempermainkan diriku!!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RE-jaavu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hana no Yuki: Bagian 1
Bagian 1: Kehidupan Baru di Desa yang Tertutup Salju
Angin dingin menerpa wajahku. Sejenak aku merasa tersesat, seperti berada di antara mimpi dan kenyataan yang sulit dibedakan. Aku membuka mata perlahan, dan hal pertama yang kutangkap adalah pemandangan hamparan salju yang membentang di depan mataku. Dingin itu terasa nyata, menusuk kulitku hingga aku bergidik. Sesekali gigiku bergemelutuk.
"Tunggu... di mana ini?"
Aku menatap lamat-lamat dari kanan ke kiri, menelusuri lingkungan sekitarku. Aku berada di sebuah jalan setapak kecil, diapit pohon-pohon sakura yang tertutup lapisan salju tipis. Udara dingin dan segar memenuhi paru-paruku. Namun, pemandangan ini sama sekali tidak familiar. Desa kecil ini seolah berada di luar waktu, begitu asing dan kuno.
Aku merasakan ada yang aneh pada pakaianku. Mengalihkan pandangan ke tubuhku, kulihat aku mengenakan yukata sederhana berwarna krem, dengan obi biru yang melilit pinggangku. Ini jelas bukan pakaian yang biasa kupakai. Napasku tercekat sejenak. Sebentar-sebentar, apa yang sebenarnya terjadi? Benakku berusaha mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Ruanganku yang diterangi layar laptop, tulisan aneh dari sistem bernama AniGate, dan…
“Hei-hei, jangan bilang ini nyata?!”
Aku segera menyentuh wajahku, lengan, perut, memastikan bahwa tubuh ini memang benar-benar milikku. Rasanya terlalu nyata untuk sebuah mimpi. Suara gesekan daun terdengar dari belakangku, dan aku segera menoleh ke arah sumber suara.
Seorang pria tua dengan pakaian samurai sederhana berdiri tak jauh dariku, memandang dengan tatapan lembut namun penuh wibawa.
“Ah, Nak! Kau sudah bangun rupanya?" sapanya. Suaranya serak namun terdengar ramah. "Kamu tak apa-apa, kan? Sejak tadi kamu tampak linglung.”
Aku hanya bisa menatap pria itu tanpa suara. Apa yang harus kukatakan? “Ya, aku baru saja bangun dari… aku di mana ini, ya?”
Pria itu tertawa kecil, menunjukkan beberapa kerutan di wajahnya. “Kau selalu punya cara bicara yang lucu, Nak. Aneh sekali jika kau lupa. Kau ini anak keluarga penjual teh yang selalu membantu penduduk desa. Semua orang di sini mengenalmu. Ah, dasar kau ini, ingatanmu bisa hilang saat tidur, ya?” Pria itu menepuk pundakku, seolah aku benar-benar bagian dari tempat ini.
Dalam hati aku merasa panik. Apa-apaan ini? Aku dikirim ke dunia bagian mana? Dan bagaimana bisa? Apa yang terjadi pada kehidupan membosankan-ku sebelumnya? Tapi, sesaat aku mencoba berpikir logis. Jika ini memang benar sistem AniGate, berarti aku sedang memainkan karakter yang ditentukan oleh sistemnya. Kalau tidak salah ingat, AniGate mengatakan aku harus berperan sebagai "anak penjual teh," dan aku tidak boleh keluar dari peran itu, atau... ada risiko gagal.
Aku menarik napas, berusaha tenang, lalu tersenyum seadanya. “Ah, ya, maaf, Paman. Mungkin aku sedikit mengantuk.”
“Hahaha! Memang musim dingin kali ini agak berbeda,” jawabnya sambil tersenyum. “Oh iya, hampir lupa. Sang Pahlawan dari ibukota akan tiba di desa ini hari ini. Mungkin kau sudah mendengar kabarnya, ya?”
Aku mengangguk, walau sebenarnya tidak tahu apa-apa. “Iya, iya, aku dengar, Paman.”
“Bagus. Tugasmu mungkin akan sedikit berat mulai hari ini. Sang Pahlawan akan membutuhkan bantuanmu untuk menemukan bunga legendaris, Hana no Yuki, yang hanya mekar di musim dingin. Mereka bilang bunga itu adalah kunci untuk mengusir kutukan yang mengancam desa kita.” Paman itu menghela napas, matanya menerawang seolah mengenang sesuatu.
Aku hanya bisa mendengarkan dalam diam. Hana no Yuki? Jadi inilah tujuan utamaku di cerita ini? Eh, tunggu-tunggu. Kenapa aku harus menuruti apa yang diminta sistem ini? Aku bisa kembali, kan?
“Bunga itu katanya ada di puncak gunung di utara desa ini,” lanjutnya. “Namun, perjalanan ke sana tidak mudah. Kabarnya, ada makhluk-makhluk penjaga yang tidak akan mengizinkan sembarang orang mendekat.”
Aku mencoba menelan informasi ini secara perlahan. Semua ini terasa seperti potongan puzzle yang harus kususun satu per satu. Sebenarnya aku merasa tidak harus melakukan semua itu. Tapi entah mengapa, ada satu gairah yang terbangkit di dalam jiwaku. Hasrat novelis yang selalu ingin tahu tentang kelanjutan sebuah cerita. Mau bagaimana pun juga, ini adalah konsekuensi dari pilihanku: menekan tombol "ya".
Dalam cerita ini, aku bukan pahlawan utama. Aku hanya seorang anak penjual teh yang perannya hanya membantu. Namun, entah bagaimana, aku memiliki firasat bahwa peran kecilku ini akan menentukan perjalanan pahlawan itu.
"Baiklah, Paman. Aku akan melakukan yang terbaik untuk membantu."
Paman itu menepuk pundakku lagi, kali ini dengan lebih keras. “Itu dia! Begitu, Nak! Kau memang bisa diandalkan.” Dia tertawa, kemudian berjalan menjauh dengan langkah yang tenang, meninggalkan aku sendirian di jalan bersalju itu.
Aku menarik napas panjang, membiarkan udara dingin memenuhi paru-paruku. Ini benar-benar gila. Selama ini aku hanya menulis cerita, tapi sekarang... aku benar-benar berada di dalamnya. Dan lebih aneh lagi, aku merasa... semangat.
"Baiklah," gumamku pelan, menatap jalan setapak yang terbentang ke arah pusat desa. "Kalau ini benar-benar cerita, aku akan jalani sebaik mungkin."
Dengan langkah perlahan, aku berjalan menuju desa, berusaha menyesuaikan diri dengan peranku sebagai "anak penjual teh." Dalam hati, aku merasa seperti aktor dalam sebuah panggung besar, hanya saja kali ini tak ada naskah yang bisa kubaca terlebih dahulu.
Dan di sinilah segalanya dimulai. Di sebuah desa kuno yang tertutup salju, dengan legenda tentang bunga misterius yang menjadi harapan terakhir desa ini.
aku mampir ya 😁