apa jadinya kalau seorang istri dari CEO ternama selalu dipandang sebelah mata di mata keluarga sang suami.
kekerasan Verbal sekaligus kekerasan fisik pun kerap dialami oleh seorang istri bernama Anindyta steviona. memiliki paras cantik ternyata tak membuat dirinya di hargai oleh keluarga suaminya.
sedangkan sang suami yang bernama Adriel ramon hanya mampu melihat tanpa membela sang istri.
hingga suatu hari Anin mengalami hal yang membuat kesabaran nya habis.
akan kah Anin dapat membuat keluarga suaminya itu menerima balasan dendam darinya. semua jawaban itu terkuak dari novel ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifa Riris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Rambut pendek dengan style seperti anak muda. Wajah cantik dengan polesan make up yang sederhana. Dress yang dipakai sesuai dengan bentuk tubuh nya.
Lekuk tubuh nya yang membuat siapapun akan terpesona. Jenjang kakinya terlihat begitu putih mulus. Langkah kaki gadis itu pun melangkah kearah rumah yang kemarin telah menolak kehadiran dirinya.
Tok tok tok
Anin mengetuk pelan pintu rumah itu.
Cek klek
Seakan tak dapat mengenali siapa yang kini berada di depannya.
"Siapa ya?"
Tatapan mata kemarahan Anin berikan. Entah mengapa? Akan tetapi mengingat saat keluarganya sendiri. Pernah menolak kehadirannya, membuat Anin tak ingin lagi menganggap mereka keluarga.
"Siapa rin?" Sahut ibu kandung Anin.
"Emm.... Nggak tau buk." jawab Arin
Sontak Anin tertawa ringan, seraya berkata. "Aku Anin, kakak kamu dan anak ibuk. Apa kalian tidak ingat dengan ku."
"Apa?" Ucap Arin dan ibunya dengan serempak.
"Ta-tapi.... "
Ucapan Arin di sela langsung oleh Anin.
"Aku masih sibuk, kita bicara di dalam sebentar."
Mendengar nada bicara Anin yang seperti orang kaya pada umumnya. Membuat ibu dan juga adiknya itu tak mampu berkata sepatah katapun lagi.
Sedangkan Anin memilih masuk kedalam rumah yang bahkan ia pun tak pernah masuk kedalam rumah itu.
Matanya menatap foto besar antara ibu dan adik kandungnya. Barang-barang bagus, bahkan semua nya seakan terpenuhi di rumah itu.
"Mbak Anin ngapain kesini?" Tanya Arin, yang kini telah berada di belakang Anin.
"Iyah, kenapa? Kalau kamu mau ngasih uang, nggak perlu kesini. Cukup transfer aja kan bisa." Kini ibunya ikut berucap.
Anin berbalik, pandangannya mengarah kearah Arin dan ibunya. "Kenapa?" Tanya Anin.
"Maksud nya?" Jawab ibunya.
Senyuman remeh yang sesaat, Anin tunjukkan. "Aku ingin menjual rumah ini." Imbuh Anin.
Sontak kedua wanita yang kini berdiri di depan Anin pun terkejut bukan main, akan apa yang dilontarkan oleh Anin.
"Mbak Anin mabuk?" Arin seakan tak percaya kakak nya yang selalu tak dapat membantah ucapan nya dan ibunya itu, kini berani mengatakan lelucon murahan.
Tak langsung menjawab. Anin melangkah menjelajahi setiap foto kebersamaan ibu dan adik kandungnya.
Sambil menunjuk satu persatu foto yang terpajang di dinding dengan rapi. "Ini foto ibuk ketika berlibur di hawai dengan Arin, ini foto ibuk dan Arin jalan-jalan ke bali. Dan ini.... " Anin menggantung ucapannya.
Seakan memikirkan sesuatu. "Ah, ini foto kalian berdua berlibur di China." Lanjut Anin, sambil tersenyum manis.
Tatapan Anin kini mengarah tajam kearah Arin. "Kamu gunakan uang yang selama ini mbak kirim buat berlibur?" Tukas Anin.
Merasa sedang di intimidasi. Arin menatap takut kearah, Anin yang seakan ingin menerkam dirinya.
"Kalau iya kenapa?" Sahut ibunya.
Langsung saja Anin memalingkan wajahnya kearah ibu, yang telah membuatnya harus mengalami hinaan dari keluarga suami yang tak mengingin kan dirinya.
"Kenapa? Ibuk tanya kenapa?" "Kalian, minta uang ke aku selama ini. Dan kalian gunakan untuk senang-senang berlibur di luar negeri. Ibuk tanya kenapa?" Sentak Anin.
Air mata Anin terjatuh begitu saja tanpa diminta.
"Apa kalian ingin tahu? Aku selama ini menahan hinaan, hingga pukulan fisik pun aku dapatkan. Hanya untuk kalian, agar kalian tidak hidup susah lagi. Tapi kalian.... Kalian malah menganggap itu semua hanya lelucon." Lanjut Anin.
Dadanya bergemuruh hebat. Nafasnya tersengal, merasa lega karna dapat mengeluarkan unek-unek dalam pikirannya selama ini."
Bukannya iba, dan merasa bersalah. Kini ibunya itu malah menjawab semua ucapan Anin dengan enteng. "Bukannya itu sudah kewajiban kamu?"
"Apa?" Sontak Anin bertanya tak menyangka, akan mendapat jawaban seperti itu.
"Apa yang dikatakan ibuk itu bener mbak. Lagi pula kalau kita liburan, emangnya salah? Toh mbak ngasih uang ke kita kan juga buat nyenengin kita." Sahut Arin.
Serasa tak ada yang memihak dirinya. Bahkan saat ia telah berpenampilan berbeda pun mereka masih tak ada yang memihak dirinya.
Tangan Anin mengusap kasar air mata yang masih mengalir bebas di pipinya. Nafas yang mulai dapat ia atur kembali.
"Kewajiban? Apa ibuk dan kamu pernah njalanin kewajiban kalian?"
Arin dan ibunya terdiam. Akan tetapi kilatan mata yang masih menujukkan pancaran tak ada kesalahan yang mereka perbuat.
"Kalian hanya tau menjadikan aku jembatan, agar bisa memenuhi keinginan yang terlampau tinggi itu." "Tapi aku tidak akan menyalahkan kalian, mungkin ini semua juga kesalahan ku. Karna terlalu bodoh untuk keluarga yang gila uang macam kalian."
Plakk
Tamparan mendarat di pipi Anin.
"Apa ini balasan mu dengan apa yang telah ibuk berikan?" Bentak Ibunya.
Tak terasa, tamparan yang terbilang selalu ia dapatkan. Sekarang telah membuat Anin semakin tak terpengaruh. Bahkan dapat dibilang, terlampau kecil tamparan ibunya itu.
Tawa cukup kencang Anin lontarkan sangat kencang. Hingga tatapan Arin dan ibunya menjadi takut sekaligus terheran, akan reaksi dari Anin.
"Hahaha...." Tawanya kini terhenti. "Apa yang ibuk berikan ke aku? Ngasih makan aku? Ngerawat aku sejak kecil? Apa....biayain hidup aku? Apa? Ngomong buk." Perkataan Anin, seakan tak mampu lagi menahan amarah dalam dirinya.
"Biar aku perjelas. Sejak kecil, ibuk selalu menitipkan aku dengan tetangga. Dan apa ibuk tau aku selalu di pukul hingga disiksa oleh tetangga kita itu. Tapi Arin, ibuk sangat sayang sama dia. Ibuk gendong, ibuk peluk bahkan ibuk berikan semua yang Arin inginkan.
"Tapi aku, dari bapak meninggal. Ibuk sela...lu bilang kalau adalah penyebab kematian bapak. Waktu masuk SMP, aku biayain hidup dan sekolah aku sendiri. Bahkan sampai aku SMA pun, tapi apa? Apa yang aku dapat? Ibuk cuman selalu nyalahin aku.
"Ibuk selalu bilang kalau aku adalah anak pembawa sial. Anak egois, anak nggak tau diuntung. Sejak kecil aku selalu mendengar nama Arin dan Arin. Aku ini anak kandung ibuk nggak sih?" Ungkap Anin.
Arin tak Terima dengan apa yang di katakan Anin. Seakan kakaknya itu berkorban paling banyak, nyatanya dia dan ibunya pun juga merasakan kesusahan, akibat dirinya.
"Mbak Anin bisa nggak sih, nggak usah berlagak jadi korban?" Sahur Arin.
Tatapan Anin menatap ke arah Arin. "Lalu kau ingin bilang, kalau kalian adalah korban disini?"
"Iyah, kita juga korban disini." Tukas ibunya.
Serasa tak mampu lagi berbicara. Anin terduduk lemas di sofa ruang tamu itu.
Semua sia-sia, bahkan untuk mengatakan kalau dirinya selama ini lelah fisik dan batinnya. Tapi malah dirinya yang di salahkan akan rasa sakit yang ia rasakan selama ini.
"Memangnya kesalahan apa yang kami perbuat? Kamu cuman dihina disana, tapi bisa hidup enak kan? Sedangkan kami, serasa jadi pengemis jika meminta uang dengan mu. Keluarga kita sendiri." Imbuh ibunya.
"Bisakah ibuk diem? Anin capek!" Balas Anin.
Tak ada rasa kasihan di dalam diri ibu dan adik kandung nya itu. Dengan angkuh ibunya mengatakan. "Kalau capek jangan banyak berulah, dan tetap lakuin tangung jawab kamu pada kami." Serka ibunya.
Anin tertawa ringan dengan singkat. Ia beranjak dari duduknya. "Makasih, kalian sudah menunjukkan sikap yang membuat aku nggak lagi berbelas kasih dengan kalian. Aku beri waktu 3 hari buat kosongin rumah ini, kalau kalian nggak mau diusir paksa nanti."
"Apa?"
Bersambung.