"Pergi kamu dari sini! Udah numpang cuma nambah beban doang! Dasar gak berguna!"
Hamid dan keluarganya cuma dianggap beban oleh keluarga besarnya. Dihina dan direndahkan sudah menjadi makanan sehari-hari mereka. Hingga pada akhirnya mereka pun diusir dan tidak punya pilihan lain kecuali pergi dari sana.
Hamid terpaksa membawa keluarganya untuk tinggal disebuah rumah gubuk milik salah satu warga yang berbaik hati mengasihani mereka.
Melihat kedua orangtuanya yang begitu direndahkan karena miskin, Asya pun bertekad untuk mengangkat derajat orangtuanya agar tidak ada lagi yang berani menghina mereka.
Lalu mampukan Asya mewujudkannya disaat cobaan datang bertubi-tubi mengujinya dan keluarga?
Ikuti terus cerita perjuangan Asya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Araya Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Asya sudah merasa lebih baik. Kini dia dan sang ibu kembali ke ruang rawat Hamid. Mereka berempat sempat terdiam beberapa saat hingga hening mendominasi tempat itu.
"Sya, kamu gak apa-apa?" tanya Hamid memecah keheningan sembari melihat wajah putrinya yang masih memerah. Sungguh hatinya sangat sakit melihat keadaan Asya. Semakin sakit karena tadi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Dia hanya bisa melihat saja dan hal itu yang membuat Hamid merasa sangat bersalah. Dia saja ayahnya Asya tidak pernah memukul apalagi menamparnya, berani sekali saudaranya yang justru menjatuhkan tangan. Hamid tidak akan memaafkan mereka.
"Gak apa-apa kok, Pak," jawab Asya meski pipinya masih terasa panas dan berdenyut. Gadis itu mengulas senyuman meyakinkan sang ayah jika dirinya benar baik-baik saja seperti yang dia katakan.
Hamid yang sudah bisa duduk meraih tangan Asya lalu menggenggamnya dengan erat.
"Kamu jangan pernah berkecil hati karna ucapan para Om dan Tantemu," kata Hamid coba menyemangati sang anak. Jangan sampai karena tante dan om yang tidak bertanggung jawab mental Asya jadi goyah.
"Sejak dulu mereka memang tidak pernah suka sama Ibu dan Bapak." Terselip nada begitu pilu di sana. "Bahkan orangtua bapak sendiri pun tidak pernah menyukai bapak jauh sebelum bapak menikahi ibu kalian. Sikap mereka selalu seperti itu. Mengucilkan bapak," ujarnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Meski seorang pria, Hamid itu memiliki sifat mudah tersentuh dan sangat perasa yang berakhir akan membuatnya menangis. Apalagi jika menyangkut keluarganya yang selalu memperlakukannya tidak adil selama ini.
Kadang kala Hamid merasa jika dirinya bukanlah anak kandung Anisa dan Panji saking bedanya perlakuan mereka terhadap Hamid dan ketiga saudaranya.
Asya dan Luna cukup kaget dengan pengakuan itu. Sebab selama ini mereka mengira jika keluarga sang ayah tidak menyukai ayahnya saat memutuskan untuk menikahi sang ibu. Ternyata kebencian mereka sudah ada jauh sebelum itu.
"Jadi kamu anggap saja ucapan mereka itu seperti angin berlalu," kata Hamid lagi berusaha tersenyum di sana.
"Ibu sama Bapak akan selalu bangga punya anak seperti kalian," tambah Yani memeluk bahu Asya dan Luna. Mereka saling melempar senyuman. Apa lagi yang mereka butuhkan sekarang? Mereka bersama saja sudah cukup.
Karena sudah di sana, Asya dan Luna memutuskan untuk menginap. Meski itu berarti pagi-pagi sekali Asya harus mengantar Luna pulang agar bisa ke sekolah. Untung saja mereka cukup cepat mendapat angkutan umum yang akan membawa mereka sampai di perbatasan desa. Dari sana Luna dan Asya harus mulai berjalan menuju rumah mereka yang lumayan jauh.
"Gimana? Masih sempet gak?" tanya Asya setelah mereka sampai di rumah dengan napas terengah-engah. Maklum mereka jalan agak terburu.
"Masih kok, Kak," jawab Luna setelah melihat ke arah jam. Dia segera beranjak tanpa menunggu napasnya kembali normal. Sementara Asya memilih untuk beristirahat sejenak. Tidak butuh waktu lama, kini Luna sudah siap berangkat ke sekolah.
"Nih buat kamu," kata Asya menyodorkan uang pecahan lima puluh ribu pada sang adik.
"Makasih," Luna mengambil uang tersebut lalu memasukannya ke dalam kantong seragamnya. "Aku pamit ya. Assalamualaikum!"
"Walaikumsalam," jawab Asya sambil melambai ke arah Luna. Asya bertahan beberapa menit sebelum kembali masuk ke dalam rumahnya. Sementara menghubungi Zhaki untuk bertanya apakah hari ini ada pekerjaan atau tidak, seseorang memberi salam dari luar.
Asya bergegas keluar dari kamarnya untuk melihat siapa yang datang. Asya terdiam sesaat ketika melihat siapa yang sedang berdiri di ambang pintu.
"Silakan masuk, Bu," kata Asya mempersilakan wanita itu masuk.
Bu Ismail terlihat tidak begitu senang namun demi menghargai tuan rumah, dia tetap masuk ke dalam lalu duduk di atas lantai. Maklum saja ruang tamu yang juga ruang keluarga itu tidak memiliki sofa atau setidaknya kursi plastik.
"Saya langsung aja ya," Bu Ismail tidak ingin berlama-lama di sana. Meski rumah Asya itu bersih namun entah kenapa tatapan mata Bu Ismail terlihat begitu jijik dengan rumah itu. "Kamu udah ada uangnya?" tanyanya kemudian.
Sebenarnya Asya sudah tahu kok tujuan Bu Ismail ke sana.
"Maaf, Bu. Tapi, saya belum ada uangnya," jawab Asya.
"Terus kapan kamu mau bayar?" terselip nada kesal di sana.
"Motor saya sudah ada di bengkel sekarang," lanjutnya sembari melipat kedua tangan di dada.
"Kasih saya waktu. Saya pasti akan ganti rugi," ujar Asya memohon.
Dan apa yang bisa Bu Ismail lakukan kecuali mengiyakannya. Lagipula ingin mengambil sesuatu pun tidak mungkin. Tidak ada barang berharga di dalam rumah itu.
"Makanya kamu kerjanya lebih giat lagi dong. Kalo perlu pakaian kamu lebih seksi saat nyanyi jadi banyak suka sama kamu," kata Bu Ismail sembari tersenyum remeh.
Asya sedikit kaget dengan ucapan Bu Ismail. Darimana dia tahu tetang pekerjaan Asya? Astaga! Dia hampir lupa jika kemarin saat om dan tantenya marah-marah, ada beberapa tetangganya yang kebetulan datang menjenguk Hamid. Bu Ismail pasti dengar dari mereka.
Sekarang Asya mengerti kenapa tatapan Bu Ismail itu terlihat begitu merendahkannya. Itu karena dia sudah tahu apa pekerjaan Asya. Namun yang membuatnya bingung, kenapa pekerjaan seorang penyanyi itu begitu rendah di mata orang-orang di sekitarnya?
Setelah kepergian Bu Ismail, Asya kembali menghubungi Bang Roy dan Zhaki. Meski mungkin beberapa orang menghina dan tidak suka akan pekerjaannya namun Asya akan tetap melakukannya. Dia tidak punya pilihan. Dia harus membayar hutang pada Bu Sunarti dan ganti rugi pada Bu Ismail.
Syukurlah karena panggilan akhirnya diangkat oleh Zhaki. Pemuda itu mengatakan jika dia akan segera menjemput Asya. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit untuk Zhaki sampai di sana. Asya juga sudah bersiap-siap jadi mereka tidak membuang waktu dan langsung pergi lagi.
Mengabaikan beberapa tatapan warga yang seakan tidak suka Asya berboncengan dengan Zhaki. Entahlah. Asya juga tidak tahu apakah itu satu-satunya alasan mereka menghakimi Asya dengan tatapan. Asya merasa jika tatapan mereka lebih dari itu.
Selama dalam perjalanan Zhaki bisa mendengar Asya yang menghela napas berat berkali-kali. Meski Zhaki tidak tahu seberapa besar rasa sakit yang ditanggung Asya namun dia tahu pasti gadis itu dalam situasi yang sangat buruk dan itu bukan hal yang mudah untuk dilalui. Dia sendiri sampai tidak bisa tidur semalaman memikirkan bagaimana keadaan Asya. Ingin menyusul, ayahnya tidak memberi izin karena menurutnya ini urusan Asya, dia tidak berhak ikut campur.
Asya tidak tahu bagaimana senangnya Zhaki saat gadis itu menghubunginya pagi ini. Zhaki sampai jatuh dari tempat tidur saking antusiasnya. Lututnya yang terbentur di lantai masih sakit sampai sekarang. Namun hal itu tertutupi karena pada akhirnya dia bisa melihat Asya. Walau dalam keadaan yang tidak cukup baik. Jika biasanya Asya akan menyambutnya dengan senyum lebar dan wajah ceria, tadi gadis itu hanya tersenyum tipis.
Zhaki melirik tangan Asya yang saat ini memegang sedikit jaketnya. Entah keberanian dari mana Zhaki menarik tangan Asya ke depan hingga gadis itu kini memeluknya dengan satu tangan. Tubuh mereka tidak menempel sempurna sebab di tengah ada tas Asya yang menjadi pembatas.
Awalnya Asya kaget dengan perlakuan Zhaki yang tiba-tiba namun saat merasakan punggung tangannya diusap pelan oleh pemuda itu membuat Asya terdiam dan membiarkannya. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Usapan Zhaki dipunggung tangannnya membuat gadis itu merasa lebih tenang walau pelupuk matanya mulai terasa memanas.
'Kamu tenang aja. Aku ada di sini kok buat kamu.'
Usapan itu seakan mengisyaratkan demikian. Tidak apa-apa jika Asya salah paham. Perlahan kepalanya pun maju dan bersandar di punggung Zhaki yang cukup lebar.
Ada masanya ketika kita memang tidak membutuhkan orang yang akan menghibur di kala sedih. Yang kita butuhkan justru seseorang yang mengerti keadaan kita. Menjadi sandaran yang paling kokoh. Walau mungkin dia tidak bisa membantu kita keluar dari masalah yang sedang dihadapi namun setidaknya dia tetap berada di samping kita. Menangis bersama.
n memberitahu klo dia adalah tulang punggung kluarganya n ada utang yg harus dibayar
saran saya kalau bisa ceritanya s lanjutkan terus supaya pembaca tidak terputus untuk membaca novelnya, karena kalau suka berhenti sampai berhari hari baru muncul kelanjutan bab nya mana pembaca akan bosan menunggu,