Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teror di swalayan
“Ini tempatnya,” gumam Samuel, menatap kosong ke arah pintu geser swalayan yang separuh terbuka.
Darius menyeringai kecil, mengangkat pisau belati di tangannya. "Kita bisa mengambil apapun yang kita mau. Ini saatnya kita benar-benar bersenang-senang."
Samuel mengabaikan komentar Darius. “Jangan berisik. Fokus. Kita cuma butuh yang penting saja. Makanan, obat-obatan, dan air.”
Darius mengangkat bahu. "Baiklah, Bos. Tapi kita tetap bisa mengambil beberapa ‘bonus’, kan?”
Samuel hanya mengangguk, tak ingin memperpanjang diskusi. Ia memimpin langkah mereka masuk ke swalayan dengan hati-hati, mengayunkan senter kecil ke kiri dan kanan. Sesekali, pantulan dari rak-rak logam yang kosong menambah kegelapan di dalam swalayan itu.
Di dalam, suasana benar-benar mencekam. Bau apek dan udara lembap menguar, membuat keduanya semakin siaga. Samuel tak berhenti mengawasi sekeliling, telinganya menajam mendengar setiap suara kecil yang mungkin muncul.
Di salah satu lorong, Samuel berbisik, “Kita mulai dari sini. Kau ambil makanan kaleng dan air, aku akan cari alat medis.”
Tanpa menunggu jawaban, Samuel mulai bergerak, menyusuri lorong demi lorong. Ia memasukkan beberapa kaleng makanan, bungkus-bungkus roti kering, dan botol air ke dalam tasnya. Dia tahu setiap detik di tempat ini sangat berharga—tempat ini bisa saja penuh dengan bahaya tersembunyi.
Sementara itu, Darius justru sibuk memeriksa rak minuman. Tangannya meraih sebotol minuman keras yang tersisa. "Sedikit alkohol nggak akan membunuh kita," gumamnya pada dirinya sendiri sambil menyeringai.
Namun, Samuel tiba-tiba muncul di belakangnya dan menatapnya dengan sorot tak suka. “Serius? Ini yang menurutmu ‘penting’?”
Darius hanya mendengus. “Santai saja, Samuel. Ini mungkin satu-satunya kesempatan kita menikmati hidup sebelum semuanya semakin kacau.”
Samuel menahan diri untuk tidak merespons. Dia tahu percuma berbicara pada Darius ketika pria itu sudah mulai keras kepala.
Namun, ketegangan mereka terhenti ketika tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berat di dekat mereka. Kedua pria itu langsung membeku. Samuel mematikan senter dan menempelkan jari ke bibir, memberi isyarat kepada Darius untuk tetap diam.
“Diam di tempat, jangan buat suara,” bisik Samuel tajam.
Namun, Darius yang gelisah tetap menggerutu pelan. "Apa masalahmu, sih? Ini cuma satu zombie, kita bisa hajar dia kapan saja."
Samuel menatap tajam ke arah Darius. “Kau mau mempertaruhkan nyawa hanya karena satu zombie? Kita di sini untuk bertahan hidup, bukan untuk cari masalah.”
Mendadak, sebuah bayangan berkelebat dari balik rak. Zombie itu bergerak pelan tapi pasti menuju ke arah mereka. Dengan napas tertahan, Samuel memberi isyarat pada Darius untuk bergerak mundur perlahan-lahan. Namun, sialnya, Darius tersandung botol minuman keras yang tadi ia ambil, dan botol itu jatuh pecah di lantai dengan suara yang memekakkan telinga.
Seketika, zombie itu menoleh, dan dalam sekejap, gerombolan zombie lain muncul dari berbagai sisi lorong, tertarik oleh suara tersebut. Samuel mengumpat dalam hati. Dia tahu bahwa ini bisa berakhir buruk.
“Lari!” Samuel berbisik, namun terlambat—satu zombie sudah mengulurkan tangannya, hampir mengenai bahu Darius. Refleks, Samuel mengangkat tombak kayu yang dipegangnya dan menusukkannya ke kepala zombie itu. Gerakannya cepat dan akurat, menusuk tepat di antara mata. Zombie itu terhuyung jatuh, tapi suara tersebut malah menarik perhatian lebih banyak zombie ke arah mereka.
Darius, yang akhirnya tersadar dari kebodohannya, segera menghunus pisau belati dan mulai melawan zombie-zombie yang mendekat. Ia menusukkan pisaunya ke dada salah satu zombie, namun makhluk itu tak bergeming. Samuel berteriak, “Tusuk kepalanya, bukan dadanya, bodoh!”
Darius segera mengubah arah serangannya, menusuk kepala zombie itu hingga makhluk itu terjatuh tak bergerak. Mereka berdua akhirnya berhasil mengatasi beberapa zombie, tapi jumlah mereka terus bertambah.
“Kita harus keluar dari sini sekarang juga!” Samuel menarik Darius, dan mereka berlari menuju bagian belakang swalayan, mencari tempat berlindung sementara. Di belakang swalayan, mereka menemukan pintu gudang dan segera membukanya, bersembunyi di dalamnya dengan napas terengah-engah.
Begitu pintu tertutup, mereka berdua saling melempar pandangan tajam. Suara langkah kaki zombie terdengar samar dari balik pintu, namun mereka masih aman—untuk sementara.
“Kau hampir membunuh kita,” kata Samuel dengan suara tertahan namun penuh amarah. “Kalau saja kau bisa mendengarkan sekali saja!”
Darius membalas dengan tatapan tak kalah sengit. “Jangan bertingkah seolah kau selalu tahu yang terbaik, Samuel. Kau bukan bosku.”
Samuel menggeleng, berusaha menahan kemarahan. “Ini bukan soal bos. Ini soal hidup dan mati.”
Ketegangan di antara mereka semakin memuncak, namun tiba-tiba perhatian mereka teralihkan oleh sesuatu yang ada di gudang tersebut. Di lantai, ada jejak darah yang masih basah, mengarah ke pintu lain di ujung ruangan. Samuel mengerutkan kening, lalu menyalakan senter untuk mengikuti jejak itu.
“Apa yang kau lakukan?” bisik Darius, merasa tak nyaman.
“Ada seseorang di sini,” jawab Samuel pelan. “Atau mungkin… sesuatu.”
Mereka mendekati pintu tersebut dengan hati-hati. Begitu pintu terbuka, mereka menemukan seorang pria tua yang tergeletak di lantai, tubuhnya penuh luka, terutama di bagian tangan yang tampak bekas gigitan. Pria itu membuka mata samar-samar ketika mendengar suara mereka.
“Tolong…,” bisik pria itu, suaranya nyaris tak terdengar. “Aku hanya butuh obat untuk… untuk mengurangi rasa sakit…”
Samuel dan Darius saling pandang, lalu Samuel berlutut di sebelah pria itu, memeriksa denyut nadinya. Namun, dari kondisi luka di tubuhnya, pria itu jelas tak akan bertahan lama.
“Kau digigit?” tanya Samuel dengan suara pelan.
Pria itu mengangguk lemah. “Ya… mereka menangkapku. Aku tak punya waktu banyak… Aku hanya ingin… mati tanpa berubah menjadi salah satu dari mereka.”
Samuel diam sejenak, menatap pria tua itu dengan rasa iba. Dia tahu, pria itu hanya ingin kepergiannya tenang.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, pria itu memberikan selembar peta yang kusut dari kantong bajunya. “Ada tempat… yang aman… beberapa kilometer dari sini…”
Samuel meraih peta itu dan memeriksa lokasinya. Tempat itu memang tak jauh, tapi dia tahu perjalanan akan penuh bahaya. Setelah pria tua itu pergi, mereka berdua berdoa singkat sebelum meninggalkan gudang tersebut.
Saat mereka melangkah keluar, suasana kembali tegang. Darius, yang merasa terabaikan dalam pengambilan keputusan tadi, akhirnya menyuarakan kekesalannya. “Kau selalu merasa benar, selalu menganggap aku bodoh. Kau tahu, Samuel, aku bisa pergi sendiri kalau itu yang kau inginkan.”
“Kalau begitu pergilah,” jawab Samuel dingin. “Kau sudah nyaris membunuh kita dua kali. Mungkin aku lebih baik tanpa kau.”
Darius tak butuh waktu lama untuk memutuskan. Dengan tatapan dingin, dia melangkah pergi meninggalkan Samuel, menuju arah berlawanan. Namun, beberapa langkah kemudian, suara raungan zombie terdengar semakin keras, seakan semakin dekat.
Insting Samuel langsung memberitahunya untuk kembali membantu. Dan meskipun Darius adalah orang yang keras kepala, Samuel tak bisa membiarkannya sendirian. Dia berlari, mengabaikan perasaan kesal, dan menemukan Darius yang tengah dikepung oleh zombie.
Dengan cekatan, Samuel menyerang zombie-zombie itu, dan akhirnya mereka berhasil kabur bersama dari swalayan yang kini penuh dengan zombie.
Di luar swalayan, mereka berdiri terengah-engah, tanpa kata-kata. Meskipun konflik antara mereka masih ada, mereka berdua tahu bahwa untuk bertahan hidup, mereka butuh satu sama lain—dan perjalanan ini baru saja dimulai