Ayla tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berubah karena sebuah kalung tua yang dilihatnya di etalase toko barang antik di ujung kota. Kalung itu berpendar samar, seolah memancarkan sinar dari dalam. Mata Ayla tertarik pada kilauannya, dan tanpa sadar ia merapatkan tubuhnya ke kaca etalase, tangannya terulur dengan jari-jari menyentuh permukaan kaca yang dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Worldnamic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Bayang-Bayang Ancaman
Pagi di Eradel disambut dengan kabut tipis yang melingkupi hutan dan puncak-puncak menara istana. Suara burung-burung berkicau lembut, namun ada ketegangan yang mengisi udara. Ayla terbangun di kamar yang telah mulai terasa akrab baginya. Ia merasakan tubuhnya sedikit pegal akibat latihan intens sehari sebelumnya, namun semangatnya tak surut.
Kael menunggu di luar kamar, bersandar pada dinding batu dengan lengan terlipat. Saat Ayla keluar, ia memberikan senyum hangat yang menyalakan kembali semangat di dalam hatinya. “Hari ini kita akan melatih fokus dan kekuatan batinmu,” ujarnya sambil melangkah ke depan, memimpin jalan ke ruang pelatihan.
Ruang pelatihan itu dipenuhi cahaya alami dari jendela-jendela besar, namun ada ketegangan yang terasa di dalam ruangan itu. Tuan Eldric sudah berdiri di tengah, menyambut mereka dengan pandangan yang serius. “Ayla, kekuatanmu adalah penyeimbang bagi kegelapan yang Noir bawa. Tapi untuk menguasainya, kau harus mengenali rasa takut terdalammu,” kata Tuan Eldric.
Latihan dimulai dengan Kael mendampingi Ayla, memberikan arahan dan dorongan. Setiap kali Ayla ragu, Kael menyentuh lengannya, mengingatkannya untuk tetap tenang. Di setiap sentuhan, Ayla merasakan kehangatan yang mengusir keraguan. Namun, ketika ia menutup mata untuk berfokus, bayangan Noir, yang sebelumnya samar, mulai muncul di dalam pikirannya. Suara tawa yang dingin dan tajam membuatnya gemetar.
“Jangan takut, Ayla,” bisik Kael di telinganya. “Aku di sini bersamamu.”
Tapi bayangan itu semakin kuat, dan kali ini ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan—kilasan kota Eradel dalam kehancuran, api berkobar, dan sosok Noir yang berdiri di atas reruntuhan dengan mata hitam berkilauan penuh kepuasan. Ayla tersentak dan membuka matanya dengan nafas terengah.
“Itulah yang kita lawan,” ujar Tuan Eldric. “Dan untuk melawannya, kau harus belajar menghadapi ketakutan itu tanpa mundur.”
Kael mengangkat dagu Ayla, membuatnya menatap matanya yang penuh keteguhan. “Kita bisa melewati ini, Ayla. Percayalah pada dirimu sendiri seperti aku percaya padamu.”
Dengan hati yang masih berdetak kencang, Ayla mengangguk, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Pelatihan hari ini akan menjadi lebih dari sekadar latihan; itu akan menjadi pertempuran melawan bayang-bayang yang mengintai dalam dirinya.
Pagi di Eradel disambut dengan kabut tipis yang melingkupi hutan dan puncak-puncak menara istana. Suara burung-burung berkicau lembut, namun ada ketegangan yang mengisi udara. Ayla terbangun di kamar yang telah mulai terasa akrab baginya. Ia merasakan tubuhnya sedikit pegal akibat latihan intens sehari sebelumnya, namun semangatnya tak surut.
Kael menunggu di luar kamar, bersandar pada dinding batu dengan lengan terlipat. Saat Ayla keluar, ia memberikan senyum hangat yang menyalakan kembali semangat di dalam hatinya. “Hari ini kita akan melatih fokus dan kekuatan batinmu,” ujarnya sambil melangkah ke depan, memimpin jalan ke ruang pelatihan.
Ruang pelatihan itu dipenuhi cahaya alami dari jendela-jendela besar, namun ada ketegangan yang terasa di dalam ruangan itu. Tuan Eldric sudah berdiri di tengah, menyambut mereka dengan pandangan yang serius. “Ayla, kekuatanmu adalah penyeimbang bagi kegelapan yang Noir bawa. Tapi untuk menguasainya, kau harus mengenali rasa takut terdalammu,” kata Tuan Eldric.
Latihan dimulai dengan Kael mendampingi Ayla, memberikan arahan dan dorongan. Setiap kali Ayla ragu, Kael menyentuh lengannya, mengingatkannya untuk tetap tenang. Di setiap sentuhan, Ayla merasakan kehangatan yang mengusir keraguan. Namun, ketika ia menutup mata untuk berfokus, bayangan Noir, yang sebelumnya samar, mulai muncul di dalam pikirannya. Suara tawa yang dingin dan tajam membuatnya gemetar.
“Jangan takut, Ayla,” bisik Kael di telinganya. “Aku di sini bersamamu.”
Tapi bayangan itu semakin kuat, dan kali ini ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan—kilasan kota Eradel dalam kehancuran, api berkobar, dan sosok Noir yang berdiri di atas reruntuhan dengan mata hitam berkilauan penuh kepuasan. Ayla tersentak dan membuka matanya dengan nafas terengah.
“Itulah yang kita lawan,” ujar Tuan Eldric. “Dan untuk melawannya, kau harus belajar menghadapi ketakutan itu tanpa mundur.”
Kael mengangkat dagu Ayla, membuatnya menatap matanya yang penuh keteguhan. “Kita bisa melewati ini, Ayla. Percayalah pada dirimu sendiri seperti aku percaya padamu.”
Dengan hati yang masih berdetak kencang, Ayla mengangguk, kali ini dengan tekad yang lebih kuat. Pelatihan hari ini akan menjadi lebih dari sekadar latihan; itu akan menjadi pertempuran melawan bayang-bayang yang mengintai dalam dirinya.
Saat latihan berlanjut, Ayla merasakan kekuatan dalam dirinya mulai merespons dengan lebih jelas. Cahaya lembut muncul di ujung jemarinya, menandakan kontrol yang lebih baik. Namun, bayangan Noir tidak sepenuhnya hilang—mereka bersembunyi, menunggu saat yang tepat untuk kembali. Sebuah perasaan dingin menyelinap ke hatinya, mengingatkannya bahwa ancaman sebenarnya masih di luar sana, siap menerkam.
“Ayla,” Kael berbisik di sela-sela latihan, “kita tidak hanya melatih kekuatanmu untuk bertahan, tapi untuk menang. Ingat itu.”
Setelah sesi latihan berakhir, Kael dan Ayla duduk di balkon istana yang menghadap ke hutan luas. Sinar matahari sore menerpa wajah mereka, menghangatkan suasana. Ayla menatap ke kejauhan, menikmati momen tenang di sela-sela hari yang penuh ketegangan.
“Aku tahu ini sulit bagimu,” ujar Kael pelan, memecah keheningan. Ia menoleh dan menemukan Ayla menatapnya dengan mata yang bersinar, penuh rasa terima kasih.
“Aku tidak bisa melakukannya tanpa dukunganmu,” jawab Ayla, suaranya lembut namun penuh perasaan.
Kael tersenyum dan menyentuh tangannya, jemarinya melingkupi jari-jari Ayla dengan lembut. “Aku janji, aku akan selalu ada untukmu, apapun yang terjadi.”
Sentuhan itu membangkitkan perasaan yang menghangatkan hati Ayla. Dunia di sekitar mereka seolah menghilang sejenak, hanya menyisakan dua hati yang saling menguatkan. Detak jantungnya yang tadinya dipenuhi rasa takut kini berubah menjadi ketenangan yang tak bisa dijelaskan.
“Kael,” bisik Ayla, nyaris tak terdengar, “aku percaya padamu.”
Kael menatapnya sejenak, lalu membalas, “Dan aku padamu, Ayla.”
Mereka duduk di sana, menikmati keheningan yang dipenuhi rasa saling percaya, sementara bayangan ancaman yang mengintai seolah menahan napas, menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Kael mendekatkan wajahnya ke Ayla, senyumnya meneduhkan hati. “Meski dunia ini dipenuhi ancaman, kita memiliki sesuatu yang lebih kuat dari ketakutan.”
“Apa itu?” tanya Ayla, suara bergetar halus.
“Harapan,” jawab Kael sambil menyapu rambut Ayla yang jatuh di pipinya. “Dan perasaan ini.”
Ayla tersenyum kecil, dan dalam keheningan, mereka merasa hubungan mereka semakin dalam, seolah menemukan makna baru di tengah kegelapan yang terus mengintai. Sebuah kekuatan yang tak terlihat mengalir di antara mereka, mempersatukan jiwa mereka dalam tekad yang sama.
Mereka tahu bahwa perjuangan masih panjang, namun untuk saat ini, mereka membiarkan diri terlarut dalam momen yang berharga itu, mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi apa pun yang akan datang.