Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Meninggalkan Basecamp
Di halaman belakang pondok, Wira berdiri dengan serius, kedua kakinya mantap menjejak tanah. Ia memusatkan pandangan ke depan sambil merentangkan kedua telapak tangannya. Energi tubuhnya terasa bergerak, seperti gelombang lembut yang mengalir dari perut ke tangan.
"Ka... Me... Ha... Me... HAAAAA!" Wira berteriak sekuat tenaga, mencoba meniru pose ikonik dari serial kartun yang baru saja ia tonton.
Kwok! Kwok! Kwok!
Burung-burung yang tengah bertengger di pepohonan berhamburan, terganggu oleh suara teriakan Wira yang begitu keras. Namun, di depannya, tidak ada apa-apa. Tidak ada sinar laser. Tidak ada ledakan. Hanya Wira yang berdiri mematung dengan ekspresi canggung.
Setelah beberapa detik tanpa hasil, Wira perlahan menurunkan tangan dan menutupi wajahnya dengan rasa malu. "Apa yang aku lakukan?" gumamnya sambil menggelengkan kepala.
Ia menendang pelan tumpukan daun di dekatnya, merasa sedikit bodoh. "Hanya karena aku merasa ada energi di tubuhku, aku langsung berpikir bisa melemparkan laser seperti di kartun. Ini konyol."
Pikiran Wira kembali pada sarapan tadi pagi. Televisi tua yang berada di dapur kebetulan menayangkan serial animasi lama tentang seorang manusia kura-kura bijak yang mengajarkan murid-muridnya cara menggunakan energi ki.
"Inti kekuatan ada di dalam tubuhmu," suara manusia kura-kura dalam film itu kembali terngiang di kepalanya. "Bayangkan energimu mengalir seperti sungai, mengumpulkan kekuatan di satu titik, dan lepaskan dengan fokus penuh."
Terinspirasi oleh penjelasan itu, Wira memutuskan untuk mencoba sendiri. Namun, hasilnya justru membuatnya ingin mengubur diri dalam tanah karena malu.
Namun, ia tidak menyerah begitu saja. "Oke, meskipun aku gagal memancarkan laser, tapi aku belajar cara merasakan energi itu." Ia menggulung lengan bajunya, bersiap kembali melakukan latihan.
***
Kali ini, Wira duduk bersila di tengah arena berlatih, memejamkan mata, memfokuskan seluruh panca indra pada tubuhnya.
Ia mengingat sensasi panas yang sebelumnya ketika memukul batang kayu hingga hancur. Ia mencoba memvisualisasikan energi itu, membayangkannya mengalir seperti arus sungai yang lembut.
Wira merasakan keadaan menjadi sunyi, seakan waktu telah berhenti. Ia pun dapat mendengar aliran darahnya, detak jantung, dan kobaran energi dalam dirinya. Wira tersenyum setelah berhasil merasakan energi Ki dalam tubuhnya.
Tubuhnya mulai terasa hangat. "Hah," ia menghela napas panjang, lalu perlahan membuka mata. Setelah memastikan jika tubuhnya memang memiliki energi Ki, Wira bisa melangkah ke tahap berikutnya.
Ia berdiri dengan penuh percaya diri, mengepalkan tangan kanannya. "Jika tidak bisa laser, mungkin cukup dengan kekuatan penghancur kecil," gumamnya sambil menatap sebuah batu besar di depannya.
Ia memusatkan energinya ke tangan kanan, mengingat kembali sensasi arus tadi. Dengan satu tarikan napas, Wira memukul batu itu.
BOOM!
Batu tersebut pecah berkeping-keping, serpihannya berhamburan ke segala arah. Mata Wira melebar saat ia melihat tangannya yang masih terasa hangat. "Wow... jadi energi ini benar-benar nyata."
Setelah beberapa percobaan, Wira mulai memahami bahwa mengolah energi ki tidak semudah yang terlihat di layar kaca. Ia menyadari bahwa memusatkan energi butuh ketenangan pikiran dan kontrol penuh atas tubuhnya.
"Sepertinya aku harus mulai dengan sesuatu yang lebih sederhana. Laser mungkin masih jauh," gumamnya sambil melirik ke arah tunggul pohon yang masih tertanam.
Ia mencoba mengalirkan energinya lagi, kali ini lebih hati-hati. Dengan satu gerakan sederhana, ia meninju tunggul itu. Hasilnya, tunggul yang tadinya tampak kokoh terbelah rapi menjadi dua bagian.
"Yah, setidaknya aku sudah berada di jalur yang benar," kata Wira sambil tersenyum puas.
Sambil meminum air di teras pondoknya, Wira merenungkan pengalamannya hari ini. "Jika setiap makhluk di hutan ini menjadi lebih kuat, aku tidak boleh tertinggal," ucapnya pada diri sendiri.
Kinta dan Sumba, yang baru saja kembali dari bermain di hutan, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Sumba mendekati batu besar yang pecah, sementara Kinta mendengus kecil, seolah mencium bau yang menyengat.
Kinta menyalak, "Bos, kau bau!,"
Sumba mendengus, “Bos, kau bertambah kuat!,”
Wira tertawa kecil. "Ya, aku baru selesai latihan." Balasnya santai. Tapi tiba-tiba dia merasa heran, kenapa hari ini dia merasa bisa memahami perkataan peliharaannya?.
***
Wira mengeluarkan sebuah gerobak dari gudangnya yang sudah lama tidak digunakan. Gerobak kayu sederhana itu, meski tampak tua, masih kokoh dan dapat menampung perlengkapan yang dibutuhkan untuk perjalanan ke tambang.
Melihat gerobak tersebut, Sumba melompat-lompat kegirangan. Suara ringkikannya memenuhi udara, seperti seorang anak kecil yang tahu dirinya akan diajak bermain. "Hei, pelan-pelan, Sumba!" seru Wira sambil tersenyum, memasang tali kekang pada kuda itu.
Namun, di sisi lain, sorot mata merah menyala Kinta, justru terlihat murung. Ekornya yang biasanya bergerak penuh semangat kini melorot, sementara telinganya terkulai lesu. Tatapan tajamnya seolah berkata, ‘Bos, jangan bilang kita akan bermalam di luar lagi?’
Wira menatap Kinta dan tersenyum kecil. "Ya, persediaan batu bara kita hampir habis. Kita harus ke tambang untuk mengisi ulang," ujarnya sambil mengusap kepala anjing itu.
Meski Kinta tidak suka ide pergi ke tambang, ia tahu perjalanan ini penting bagi kehidupan Wira.
Goa tambang yang gelap dan sempit mengingatkannya pada gorong-gorong tempat ia hidup sebelum bertemu Wira. Tempat yang dingin, lembab, dan penuh kenangan buruk. Namun, sebagai teman yang setia, Kinta tidak akan meninggalkan tuannya.
Wira memeriksa perlengkapannya dengan teliti. Dia memasukkan beberapa kantong bekal makanan kering, perlengkapan pertambangan seperti pahat, palu, dan lentera bertenaga uap ke dalam gerobak. Tidak lupa, ia mempersenjatai diri dengan berbagai senjata seperti kapak, golok hingga senapan.
"Kinta, ayo bantu bawa ini," perintah Wira sambil menunjuk sebuah gulungan tikar yang merupakan tenda portabel.
Kinta mengangkat gulungan itu dengan gigi tajamnya, meletakkannya di gerobak tanpa banyak protes. Sementara Sumba berdiri tenang, siap menerima beban gerobak di punggungnya.
Setelah semua barang terikat rapi, Wira menepuk leher Sumba. "Baik, waktunya berangkat."
***
Perjalanan dimulai saat matahari tepat di atas kepala . Wira duduk di kursi kusir, tangan kirinya memegang kendali Sumba, sementara tangan kanannya sesekali mengusap kepala Kinta yang duduk di sampingnya. Angin dingin dari dataran tinggi menyentuh wajah mereka, membawa aroma dedaunan basah dan tanah hutan.
Sumba melangkah ringan, menarik gerobak dengan riang gembira. Setelah mengalami peningkatan kekuatan, beban gerobak yang berat tampak tidak berarti baginya. Sesekali ia mengibaskan ekornya, menunjukkan kegembiraannya.
Namun, suasana berbeda terlihat pada Kinta. Mata merahnya yang selalu waspada mengamati setiap sudut hutan di sekeliling mereka. Sesekali, ia melompat turun dari gerobak, memburu hewan liar di sekitar jalan. Kini, setelah menjadi zombie, Kinta memiliki selera makan yang tak biasa.
Anjing itu sekarang sangat menikmati memangsa hewan hidup, terutama otak mereka.
"Sumba, pelan sedikit. Jangan terlalu cepat," ujar Wira mengingatkan Sumba yang terlalu senang. Ia tidak ingin gerobak terguncang dan merusak barang-barang di dalamnya.
Di tengah perjalanan, Wira melihat sesuatu di kejauhan sekelompok burung gagak terbang rendah di atas hutan. Burung-burung itu biasanya menjadi pertanda buruk.
"Kinta, kau merasakan sesuatu?" tanya Wira, suaranya serius.
Kinta yang sejak tadi menikmati otak kelinci, mulai mengendus-endus udara, lalu menggeram pelan. Itu cukup menjadi jawaban bagi Wira. Ada sesuatu yang tidak beres di depan sana.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah tikungan yang dikelilingi pepohonan lebat. Jalanan yang mereka lalui berubah menjadi lebih terjal, dengan batu-batu besar yang berserakan di sana-sini. Tiba-tiba, Sumba berhenti, mengangkat kepalanya dengan gelisah.
"Hei, ada apa?" tanya Wira, menepuk leher kuda itu.
GRRROOOAAARRR!
Suara gemuruh keras terdengar dari dalam hutan. Seekor makhluk besar muncul dari balik pepohonan, “Anomali,” gumam Wira saat melihat beruang setinggi tiga meter yang seluruh kulitnya dilapisi tanah layaknya baju zirah.
Kinta menggonggong keras ke arah makhluk itu seakan memberikan peringatan. Sumba tetap tenang, seakan ukuran monster itu sama sekali tidak membuatnya takut.
"Wah, kalian berdua sudah tumbuh menjadi anak-anak yang pemberani," Wira merasa bangga setelah melihat keberanian Kinta dan ketenangan Sumba.
mohon berikan dukungannya