Namaku Delisa, tapi orang-orang menyebutku dengan sebutan pelakor hanya karena aku berpacaran dengan seseorang yang aku sama sekali tidak tahu bahwa orang itu telah mempunyai pacar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Sepulang dari rumah Azka, Delisa merasa pikirannya kacau. Hubungan "pacaran" yang baru dijalani dengan Azka memang sedikit membantunya dari sorotan teman-teman yang terus menuduhnya merebut Galih dari Ajeng. Namun, di sisi lain, Delisa mulai merasakan keanehan dalam hatinya, seolah Azka benar-benar mengharapkan lebih dari sekadar hubungan palsu ini.
Keesokan harinya, di sekolah, Delisa langsung dihampiri Caca yang tak sabar ingin mendengar cerita dari pertemuan Delisa dengan keluarga Azka. "Gimana tadi malam? Emangnya orang tua Azka sebaik itu ke lo?" tanya Caca penasaran sambil menahan senyum.
Delisa tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, mereka benar-benar baik banget, Ca. Rasanya kayak pulang ke rumah sendiri. Tante selalu bikin gue nyaman."
"Seru banget dong!" Caca merespon antusias. "Eh tapi, Sa, jangan-jangan si Azka malah suka beneran sama lo, ya? Gue bisa lihat kok dari cara dia ngelihat lo kemarin di kantin."
Delisa menghela napas sambil berpikir. Sebenarnya, ada perasaan canggung di hatinya. Setiap kali dia bersama Azka, ia merasa nyaman, tapi ia juga tak ingin perasaannya terjebak dalam situasi rumit. "Ca, gue takut ini hanya akan menambah masalah. Kalau seandainya Azka beneran suka, gue khawatir hubungan pura-pura ini malah berakhir menyakitkan," ucapnya jujur.
"Ya ampun, Sa. Hidup lo tuh ya penuh drama, kayak sinetron!" canda Caca. Tapi sebelum Delisa bisa membalas, tiba-tiba terdengar suara riuh di luar kelas.
Seorang teman sekelas masuk tergopoh-gopoh dan mengatakan bahwa Ajeng sedang marah besar. "Sa, Ajeng kayaknya cari lo deh. Dia lagi ngomel-ngomel di depan kelas."
Mendengar itu, Delisa menghela napas panjang. Sepertinya masalah dengan Ajeng belum berakhir, meskipun Galih sudah menyudahi hubungannya. "Ca, gue keluar dulu, ya. Takutnya kalau nggak ditanggapi, malah makin panjang urusannya," kata Delisa pelan.
Di lorong depan kelas, Delisa melihat Ajeng berdiri bersama dua temannya. Wajahnya merah padam, dan matanya menatap tajam ke arah Delisa.
"Delisa!" seru Ajeng lantang. "Udah puas lo sekarang? Galih dan aku udah putus, terus sekarang lo malah pacaran sama Azka?" ucapnya dengan nada sarkastik.
Delisa menelan ludah, berusaha tenang menghadapi situasi ini. "Kak Ajeng, dengerin aku dulu. Aku sama sekali nggak bermaksud merebut Kak Galih dari kamu. Aku bahkan nggak ada niat buat pacaran sama dia. Kalau pun sekarang aku dekat sama Azka, itu bukan urusan Kakak."
Ajeng mendengus, lalu melipat tangan di dadanya. "Kamu tuh memang pintar beralasan, ya. Kemarin Galih, sekarang Azka. Siapa lagi yang bakal kamu rebut?" Tuduhan ini membuat beberapa siswa di sekitar mereka mulai berbisik-bisik, semakin memanaskan situasi.
Delisa mencoba bersabar. "Kak Ajeng, aku nggak pernah berniat untuk menyakiti kamu atau merebut siapapun dari kamu. Kamu sendiri tahu, Kak Galih yang mendekati aku duluan. Aku cuma jadi korban dalam semua ini."
Namun, ucapan Delisa justru membuat Ajeng semakin tersinggung. "Korban? Kamu masih bisa bilang kamu korban? Kamu nggak tahu gimana sakitnya kehilangan orang yang udah lama bersama kita, kan? Kamu pikir itu mudah?"
Mendengar nada putus asa dalam suara Ajeng, Delisa terdiam sejenak. Sebenarnya, ia bisa merasakan ketulusan di balik kemarahan Ajeng, yang mungkin merasa sangat terluka. Di balik kesombongan dan kekasarannya, Ajeng hanya seorang gadis yang kehilangan pacar yang ia cintai.
Delisa menghela napas, mencoba menenangkan dirinya. "Ajeng, aku minta maaf kalau kamu merasa tersakiti karena aku. Aku nggak pernah bermaksud menyakiti siapa pun. Aku harap kamu bisa berhenti melihat aku sebagai musuh."
Ajeng mendengus tak percaya. "Jangan sok baik, deh. Kamu tahu, semua orang tahu kalau kamu itu hanya seorang perebut!"
Tak tahan lagi, Delisa pun akhirnya memutuskan untuk pergi dari sana. Langkahnya cepat, tak peduli lagi dengan tatapan dan bisik-bisik di sekitarnya. Saat dia melangkah, Azka tiba-tiba datang menghampirinya, wajahnya serius. "Sa, lo nggak apa-apa?"
Delisa mengangguk, namun air mata mulai mengalir di pipinya. "Azka, gue capek. Gue capek jadi bahan cemoohan, capek jadi target kebencian mereka."
Azka menghela napas dan mengusap punggung Delisa pelan. "Lo tahu, kan, gue selalu ada di sini buat lo, Sa. Kalau ada yang nge-bully lo lagi, aku nggak akan tinggal diam."
Setelah menguatkan diri, Delisa kembali ke kelas dan duduk di bangkunya sambil menenangkan diri. Caca langsung menghampiri dan merangkulnya, memberikan dukungan tanpa banyak bicara.
...****************...
Delisa yang sudah cukup lelah dengan semua drama, memutuskan untuk tidak memedulikan apa kata orang lagi. Pikirnya, selama ia tahu kebenaran dan tidak menyakiti siapa pun, maka ia tak perlu mendengarkan omongan orang lain.
Namun, permasalahan belum selesai. Pagi itu, setelah bel masuk berbunyi, seorang guru, Pak Arifin, masuk ke dalam kelas dan membawa kabar mengejutkan. "Anak-anak, saya minta kalian untuk menjaga perilaku. Belakangan ini, saya mendengar banyak cerita tentang bullying di sekolah ini. Saya peringatkan, bullying tidak akan ditolerir, dan akan ada sanksi tegas bagi pelaku."
Mata Pak Arifin tampak serius menatap setiap siswa di kelas. Delisa bisa merasakan beberapa tatapan siswa mengarah padanya, namun ia berusaha tetap tenang. Ternyata, kasusnya dengan Ajeng telah sampai ke telinga para guru.
Saat istirahat, Delisa merasa sedikit lega karena Pak Arifin setidaknya menyoroti masalah bullying. Namun, situasi semakin tegang ketika Ajeng dan Galih dipanggil ke ruang guru. Kabar ini menyebar cepat di kalangan siswa. Banyak yang bertanya-tanya apa yang terjadi, namun tak seorang pun tahu pasti.
Beberapa saat kemudian, Ajeng keluar dari ruang guru dengan wajah tegang. Dia berjalan cepat tanpa bicara dengan siapa pun. Di sisi lain, Delisa merasa sedikit lega. Mungkin dengan ini, Ajeng akan mulai berhenti mengganggunya.
Setelah pulang sekolah, Delisa mendapat pesan dari Azka yang mengajaknya bertemu di taman dekat sekolah. Saat bertemu, Azka tampak khawatir. "Sa, lo nggak apa-apa kan setelah semua yang terjadi tadi di sekolah?"
Delisa tersenyum kecil. "Iya, gue baik-baik aja. Tapi gue beneran capek, Ka. Rasanya kayak semua mata tertuju padaku."
Azka mengangguk sambil memegang tangan Delisa erat. "Lo tahu, kan, aku selalu ada buat lo? Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue."
Delisa merasa lega dengan kehadiran Azka. Dia akhirnya bisa merasa tenang meski dikelilingi masalah. "Makasih ya, Ka. Lo selalu ada buat gue. Gue nggak tahu apa yang akan gue lakukan kalau lo nggak ada."
Azka tersenyum lembut. "Gue akan selalu ada di sini buat lo, Sa."
Hari itu berakhir dengan perasaan yang lebih ringan untuk Delisa. Meskipun masih ada banyak masalah yang harus dihadapi, ia merasa lebih kuat karena memiliki seseorang seperti Azka yang selalu mendukungnya. Kini, Delisa bertekad untuk menjalani harinya tanpa mempedulikan komentar negatif dari orang-orang di sekitarnya.