Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Sejak saat itu, Siera memutuskan untuk berhenti mencoba. Ia sadar, semua usahanya selama ini tidak membuahkan hasil. Jika Arka benar-benar menginginkan jarak, maka ia akan menghormati keinginannya, meskipun hatinya hancur.
Dia mungkin sudah lama menunggu waktu ini. Mungkin aku yang terlalu keras kepala untuk menyadari kalau dia sebenarnya ingin pertemanan kami berjarak seperti ini, pikir Siera.
Hari-hari Siera kini diisi dengan kesunyian. Ia mencoba mengalihkan pikirannya ke hal-hal lain, seperti mengerjakan tugas sekolah, menggambar, melukis, membaca novel, atau sekadar menatap langit sore dari balkon kamarnya. Namun, bayangan Arka selalu muncul, mengisi setiap sudut pikirannya yang kosong.
Di sekolah, Siera berusaha bersikap biasa. Ia tertawa bersama Cindy, mengerjakan tugas kelompok, dan menjawab pertanyaan guru dengan suara yang terdengar ceria. Tapi di balik semua itu, ada perasaan yang ia simpan rapat-rapat. Kehilangan itu tetap ada, bersembunyi di balik senyumnya.
Arka di sisi lain juga merasa lega sekaligus hampa. Ia melihat bagaimana Siera berhenti mendekatinya, berhenti berusaha memperbaiki pertemanan mereka. Di satu sisi, itu yang ia inginkan, agar Siera belajar mandiri, agar mereka berdua bisa berjalan di jalan masing-masing. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia gantikan dengan apa pun.
Namun, baik Siera maupun Arka, keduanya tidak menyadari satu hal, jarak yang mereka biarkan tumbuh ini semakin sulit untuk dijembatani. Dan di dalam hati mereka, ada kerinduan yang mereka coba abaikan, tetapi tidak pernah benar-benar bisa hilang.
Siang itu, saat jam istirahat Siera duduk di bangku panjang yang menghadap lapangan basket sekolah. Matanya tak lepas dari sosok Arka, yang sedang asyik bermain bersama teman-temannya. Ia melihat sosok itu berlari, tertawa, dan bercanda seolah-olah tidak ada yang berubah. Namun, bagi Siera, semuanya terasa berbeda.
Dulu, momen seperti ini adalah saat-saat yang ia tunggu. Siera selalu hadir di sisi lapangan, membawakan sebotol air dingin untuk Arka setelah pertandingan. Dan Arka, tanpa peduli siapa pun yang menawarkan, selalu memilih air yang dibawa Siera. Namun sekarang, ada Kyla yang berdiri di tepi lapangan. Gadis itu tersenyum lebar saat memberikan air kepada Arka, yang menerimanya tanpa ragu.
Siera menghela napas panjang. Perasaan yang bercampur antara rindu, kecewa, dan marah memenuhi hatinya.
“Kok sekarang jaraknya makin jauh, pengen Arka yang dulu lagi,” gumam Siera pelan yang masih bisa di dengar oleh Cindy di sebelahnya.
“Samperin aja, Sie,” suara Cindy memecah lamunannya. Cindy, teman sebangkunya yang selalu penuh perhatian, menyenggol bahunya pelan.
“Disamperin pun dia nggak mau, Cin. Udah ada orang lain juga di sana,” jawab Siera sambil menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Cindy mengerutkan kening. “Si Arka juga ditanya, dianya diem aja nggak mau ngomong. Kalian sebenarnya kenapa sih?” tanyanya penasaran.
Siera terdiam sejenak, lalu mengangkat bahunya. “Lagi sibuk masing-masing aja sih, Cin. Toh kita beberapa bulan lagi Ujian Nasional, kan? Bakalan sibuk persiapan buat ujian dan daftar kuliah juga,” jawabnya dengan nada yang berusaha terdengar santai.
Cindy mengangguk pelan. “Iya juga sih, emang udah waktunya sibuk,” gumamnya, meskipun ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar kesibukan di antara mereka.
Dalam hati, Siera bersyukur bahwa tidak ada satu pun teman mereka yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara dirinya dan Arka. Pertengkaran mereka terjadi beberapa minggu lalu, di dekat sekolah, saat kondisi sudah sepi. Siera sengaja menunggu Arka di tempat yang agak jauh dari gerbang utama untuk menghindari perhatian orang lain.
***
Masa-masa akhir SMA adalah waktu yang penuh tekanan bagi semua orang, termasuk Siera dan Arka. Ujian nasional semakin dekat, formulir pendaftaran universitas harus segera diisi, dan hari-hari mereka dipenuhi dengan les tambahan, try-out, dan proyek akhir. Namun, di balik semua kesibukan itu, ada sesuatu yang perlahan berubah.
Hubungan yang dulu terasa begitu erat kini mulai terasa renggang. Mereka tidak lagi saling menunggu di depan gerbang sekolah atau berbagi cerita kecil selama perjalanan pulang. Bahkan obrolan ringan di bangku taman sekolah pun mulai jarang terjadi.
Siera merasakannya, tetapi ia tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan tentang hal itu. Di satu sisi, ia tahu Arka sibuk dan fokus pada dirinya sendiri. Di sisi lain, ada perasaan hampa yang terus menghantuinya setiap kali ia menyadari bahwa Arka tidak lagi mencari dirinya untuk berbagi cerita atau sekadar bertanya kabar.
Siera memberanikan diri untuk mengirimkan pesan pada Arka, meski hatinya ragu. Ia benar-benar tak tahan dengan jarak yang tercipta di antara mereka saat ini, yang semakin terasa begitu luas dan tak terjembatani.
"Arka, sibuk nggak?" tulisnya, jempolnya terhenti sejenak sebelum menekan tombol kirim.
Beberapa detik kemudian, balasan datang.
"Sibuk, Sie," balas Arka.
Singkat. Padat. Sibuk. Gumam sierra.
Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Siera menatap layar ponselnya dengan ekspresi tak percaya. Pesan terakhir dari Arka membuat hatinya mencelos.
"Kalau nggak ada yang penting, nggak usah chat gue dulu."
Kalimat itu terasa seperti tamparan. Arka yang ia kenal dulu, sahabat yang selalu menjadi tempatnya berbagi, kini berubah menjadi seseorang yang asing. Ia menekan tombol balas, tetapi jari-jarinya berhenti di atas layar.
Ini penting, Ka. Penting banget malah. Kita temenan udah dari lama, terus sekarang berjarak gini. Gue harus gimana? pikir Siera. Tapi kata-kata itu hanya berputar di kepalanya, tanpa sampai ke Arka.
***
Setelah menyelesaikan akhir masa SMA-nya, Siera memutuskan untuk keluar bersama Cindy. Mereka berdua sepakat untuk sekadar melepas penat setelah menjalani serangkaian ujian yang melelahkan. Seharusnya, dia bersama Arka, tapi kini itu hanya angan yang sulit terwujud.
Hari itu terasa begitu biasa di pagi harinya, namun berubah menjadi luar biasa menyakitkan di siangnya. Siera baru saja membeli beberapa alat lukis baru yang akan dia gunakan selama liburan. Setelahnya, ia memutuskan untuk pergi ke kafe tempat ia dan Cindy berjanji untuk bertemu.
Namun saat bertemu, berita yang datang dari Cindy membuat dunianya terasa runtuh seketika.
“Lo tau, Sie?” kata Cindy dengan nada santai.
“Arka tadi pagi udah berangkat ke luar kota buat persiapan kuliah,” lanjutnya.
Kalimat itu menghantam Siera seperti petir di siang bolong. Ia menatap Cindy dengan mata membulat, sulit percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Berangkat? Maksud lo... hari ini?” tanyanya dengan suara gemetar.
Cindy mengangguk. “Iya, tadi gue lihat dia sama keluarganya di bandara, pas gue nganterin kakak gue. Kok lo nggak ikut nganterin dia?”
Siera tidak menjawab. Ia hanya terdiam, membiarkan kata-kata Cindy menggema di pikirannya.
Arka pergi. Tanpa memberi tahu. Tanpa pamit.
Dengan tangan gemetar, Siera merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya. Ia membuka pesan terakhir dari Arka, pesan yang sangat menyakitkan saat itu. Setelahnya tidak ada lagi percakapan diantara mereka. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan berangkat secepat ini.
Napasnya terasa sesak. Siera mulai mengetik dengan cepat di ponselnya.
“Arka, lo bener-bener jahat! Gue benci lo yang kayak gini!”
walah sipa yah...