Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 01 - Awal
Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"What? Pembantu?"
Mata indah wanita cantik itu membulat sempurna tatkala membaca naskah yang baru dia terima. Sekali lagi, dengan penuh ketelitian dia membaca ulang barangkali ada kesalahan.
"Sebentar, ini serius aku jadi pembantu, Dit?"
"Iya, Pak Vano sudah konfirmasi masalah pergantian pemain ... kamu belum baca pemberitahuan beliau di grup tadi malam?"
"Hah? Group? Group apa?"
"Group chat, Ra, seluruh pemain dan crew ada di sana."
Tak ubahnya orang bodoh yang tersesat di keramaian, Haura terus dibuat bingung tatkala mendengar penuturan Andita - sahabat sekaligus rekan kerjanya.
Nyatanya benar, popularitas seseorang tidak menjamin dia dihargai. Sebaliknya, seseorang yang memiliki kekuasaan cenderung berbuat seenak hati tanpa memikirkan perasaan orang.
Ya, begitulah kesimpulan yang diambil oleh Haura Qotrunnada - aktris cantik dengan sejuta pesona yang tengah naik dan terkenal di berbagai kalangan masyarakat.
Belum lama terjun di industri perfilman, Haura sudah mendapat pengalaman tak mengenakan yang membuatnya merasa direndahkan.
Bagaimana tidak? Di project terbaru yang begitu dia impikan ini, Haura justru dipertemukan dengan sutradara tak berperasaan yang mengganti perannya sesuka hati, Ervano Lakeswara.
Mendengar namanya saja sudah mual, ditambah lagi jika membayangkan wajah datar Ervano yang bicara tanpa ekspresi itu. Haura yang tadinya hanya kesal perkara perannya sebagai nona diubah menjadi pembantu tanpa persetujuan seketika merambah ke personal saking kesalnya.
"Dit, kalau boleh tahu apa alasan kenapa peranku sampai diganti?" tanya Haura mencoba bersikap tenang walau jiwanya sudah terbakar sejak awal.
Mendengar pertanyaan Haura, Andita hanya mengedikan bahu sembari menggeleng pelan. "Kurang tahu, beliau tidak menyertakan alasannya kebetulan."
Sungguh Haura bingung apa yang menjadi alasan Ervano mengganti perannya sesuka hati. Jika memang karena jam terbang yang belum seberapa dibandingkan aktris lain, seharusnya dari awal dia tidak ditunjuk sebagai pemeran utama.
Anehnya, setelah semua dipersiapkan dengan begitu matang dan proses syuting hampir berlangsung Haura justru mendapati perubahan besar.
Dia yang awalnya menjadi pemeran utama, seketika diganti menjadi figuran biasa. Bukan sebagai sahabat atau teman dekat pemeran utama, melainkan pembantu bisu yang muncul hanya sesekali.
"Jadi pembantu bisu yang benar saja? Dia sedang menyepelekanku atau bagaimana?" tanya Haura seolah butuh jawaban dari Andita, sahabatnya.
"Ehm, tentang ini kenapa tidak kamu tanyakan sendiri saja, Ra? Barangkali dapat jawaban, iya, 'kan?"
"Temui dia?"
"Iya, kebetulan tadi ada di sekitar sini. Itu satu-satunya jalan ... karena seperti yang kita tahu, peran Pak Ervano memang sebesar itu."
Saran dari Andita tidak hanya lewat di telinga Haura. Dia mempertimbangkannya dan bergegas untuk menemui pria itu.
Ervano Lakeswara, sutradara yang memang terkenal di industri perfilman. Tidak hanya dikenal dengan ketampanan bak dewa dan karya yang luar biasa, tetapi juga sepak terjangnya sebagai sutradara kelas atas dan ditakuti banyak orang.
Usianya belum begitu tua, malah termasuk muda untuk kategori sutradara dengan pengalaman sehebat itu, 31 tahun.
Namun, hari ini Haura justru merasa tengah berhadapan dengan pria kolot nan menyebalkan dan tidak bisa diajak bekerja sama.
Langkahnya semakin cepat, Andita bilang pria itu ada di sini dan Haura tidak memiliki keinginan untuk mengejarnya lebih jauh.
Beberapa menit sejak memutuskan untuk menemui Ervano, Haura kini melihatnya tengah menuju area parkir. Sontak dia berlari secepat kilat tanpa peduli dengan pandangan orang-orang di sekitarnya.
.
.
"Pak Vano tunggu!!"
Hampir terlambat, satu detik lagi saja kemungkinan besar Haura gagal karena saat ini pria itu hampir saja menutup pintu mobilnya.
"Iya, ada apa?" tanyanya segera turun sembari menatap datar Haura.
Sama sekali tidak ada keramahan di sana. Salah-satu ciri khas Ervano dan sudah ramai diperbincangkan, untuk yang satu ini Haura tidak kaget lagi.
"Boleh minta waktunya seben_"
"Langsung saja, apa yang ingin kamu bicarakan?"
Haura mengerjap pelan, seumur hidup baru kali ini dia dihadapkan dengan laki-laki asing yang sama sekali tidak menghargainya. Bahkan, bicaranya belum selesai saja sudah dipotong.
"Jadi begini, soal peran saya yang diganti sebagai pembantu bisu ... apa Bapak tidak berniat menjelaskan alasannya apa?" tanya Haura langsung pada intinya sebagaimana yang Ervano minta.
Tak segera menjawab, Ervano lagi-lagi melayangkan tatapan tak terbaca khasnya. "Kamu masih bertanya tentang hal itu?"
"Tentu, saya juga butuh penjelasan atas keputusan yang Bapak ambil secara sepihak."
"Ah, rupanya kamu tidak bisa menggunakan otakmu untuk berpikir ya?"
"Maksudnya?" Haura bertanya sembari memicingkan mata karena memang bingung sebenarnya.
"Ck ... kelakuan aktris zaman sekarang," gumam Ervano begitu pelan, tapi masih bisa didengar Haura. "Jadi begini, saya tidak akan mengambil tindakan jika tidak ada alasan."
"Iya, dan sekarang saya ingin tahu apa alasannya?"
Pria itu sontak tersenyum, bukan senyum teduh, melainkan meremehkan Haura. "Singkat saja, kamu tidak pantas untuk berperan sebagai Nabila di series ini, titik."
Deg
Hati Haura memanas dan perih dalam satu waktu, tak ubahnya bak disayat sembilu perihnya begitu amat nyata, sungguh.
Sebenarnya Haura sadar betul, dia belum begitu berpengalaman dan masih banyak aktris lain yang lebih pantas. Namun, cara Ervano ini teramat menyakitkan baginya.
"Masih belum paham juga?"
"Paham, tapi ... kenapa harus diganti pembantu yang bisu?"
"Ah itu? Bukankah akan lebih mudah bagimu? Kebetulan saya paling malas dengan aktris rada pikun yang hampir setiap waktu lupa dialog," pungkas Ervano sebelum kemudian menutup pintu mobil sekuat tenaga dan berlalu.
Meninggalkan Haura yang kini mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengeraskan rahangnya. Dengan dada naik turun, Haura berusaha mengatur napas agar emosinya tidak meledak-ledak di sini.
Dalam keadaan emosi, Andita menghampiri dan mencoba menenangkan hati Haura.
"Gimana? Sudah selesai bicaranya?"
"Sudah," jawab Haura tanpa menatap Andita yang ada di sampingnya.
"Terus gimana?"
"Zonk!!" kesal Haura tak terbendung pada akhirnya. Tidak lagi dia mampu bersikap anggun, kali ini kepala Haura seolah akan pecah jika tidak meluapkan emosinya.
"Kamu tahu? Dia bukan hanya merendahkanku, tapi juga berusaha membuat mentalku hancur dengan kata-kata kasarnya, Andita!!"
"Kasar? Kasar gimana?"
"Aku malas menjelaskan, sekarang katakan dengan cara apa agar aku bisa membalaskan dendamku padanya," ucap Haura meluap-luap dan masih dengan dada yang kembang kempis lantaran murka dibuatnya.
Andita mulai berpikir, sementara Haura cukup sabar menunggu saran sahabat dekatnya itu. "Ehm gini, kalau balas dendam yang gimana-gimana sepertinya tidak akan bisa ... kalau sekadar memberikan pelajaran agar Pak Vano tersiksa, aku ada ide, Ra."
"Hem, apa itu?"
"Nanti malam kan kita ada agenda makan malam bersama seluruh crew dan juga Pak Vano ikut."
"Hem, lalu?"
Tidak hanya sekadar bicara, Andita juga mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang merupakan solusi atas permasalahan Haura. "Ini."
"Apa? Racun?" tanya Haura mendadak ngeri-ngeri sedap tatkala menerka botol kecil tanpa merk yang terlihat mencurigakan itu.
"Bukan, ini obat pencahar."
"Kok polosan gini?"
"Ini adalah produk yang sebenarnya ilegal, Ra, tapi manjur banget!! Cukup tetesin dikit ke minumannya, dijamin Pak Ervano tersiksa semalaman."
"Wah, keren ... kalau banyak berarti makin manjur?"
"Jangan kebanyakan juga, secukupnya saja dan kamu lihat sendiri hasilnya gimana," ucap Andita meyakinkan Haura yang kini berbinar seketika.
Rasanya tidak sabar menunggu malam berganti, malam ini dia akan melihat bagaimana Ervano tersiksa karena mulut kurang ajarnya.
"Baiklah, rasakan pembalasanku nanti malam, Ervano Lakeswara."
.
.
- To Be Continued -
dan Sukses selalu thor....