Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Mata Rantai yang Pecah
Perjalanan menuju Norvalis terasa semakin berat, tidak hanya karena medan yang semakin ekstrem, tetapi juga karena beban yang semakin berat di hati setiap anggota tim. Keputusan untuk terus maju, meskipun dengan jumlah yang tersisa sedikit, bukanlah pilihan tanpa harga. Rasa sakit atas kehilangan teman-teman mereka di vila masih menggoreskan luka yang dalam, namun lebih dari itu, ada rasa takut yang menyelimuti setiap langkah mereka. Apa yang mereka hadapi lebih besar daripada sekadar pertempuran. Itu adalah perang melawan dunia yang hampir tak terkalahkan.
Di dalam kendaraan darurat yang mereka tumpangi, hanya ada keheningan yang menghantui. Mereka tahu tujuan mereka, mereka tahu apa yang harus dilakukan, tetapi setiap detik terasa seperti waktu yang melambat, memperparah ketegangan di dalam hati mereka.
“Kita hampir sampai,” kata Ardan, melirik peta di layar kendaraan. Wajahnya serius, tapi di matanya ada sesuatu yang lebih gelap, semacam kecemasan yang tidak bisa disembunyikan.
Elara menatap ke luar jendela, memperhatikan langit yang mulai berubah dari biru pekat menjadi merah darah. Semua ini terasa seperti pertanda, tetapi dia tahu, dia harus lebih kuat daripada perasaan itu. Selama mereka masih hidup, masih ada harapan.
“Tapi kita tidak bisa pergi begitu saja,” kata Mira, satu-satunya teknisi yang masih tersisa di tim. Wajahnya penuh kerutan. “Alden sudah memberi kita petunjuk tentang reaktor itu, tapi tidak ada jaminan kita bisa mengaksesnya. Bahkan jika kita berhasil mencapai pusatnya, kita belum tahu seberapa besar perlawanan yang akan kita hadapi.”
Elara menatap Mira dengan tajam. “Itulah mengapa kita butuh rencana cadangan. Jika ada cara untuk menghentikan reaktor itu dari dalam, kita harus menemukannya.”
Alden, yang duduk di sudut kendaraan dengan tangan terikat, akhirnya angkat bicara. “Cassandra mempersiapkan segalanya dengan sangat hati-hati,” katanya pelan, suara seraknya menunjukkan ketakutan yang tidak bisa disembunyikan. “Dia tahu ada yang bisa datang untuk menghancurkan rencananya. Itu sebabnya dia menciptakan beberapa lapisan pengamanan ekstra di dalam Norvalis. Salah satunya adalah kelompok elit yang terlatih untuk menghentikan siapa pun yang mencoba menyusup.”
“Elit? Seperti apa?” tanya Ardan, suara ketegangan jelas terdengar.
Alden menatap Elara dan Ardan satu per satu, matanya penuh perhitungan. “Mereka adalah kelompok paling mematikan yang pernah dibentuk Eden. Tidak hanya ahli dalam pertempuran fisik, mereka juga telah dilatih untuk memanipulasi medan psikologis. Mereka tahu cara menghancurkan lawan dengan lebih dari sekadar kekuatan fisik.”
Elara menelan ludahnya. Ini bukan hanya sekadar pertempuran dengan pasukan biasa. Jika mereka menghadapi kelompok ini, itu berarti mereka harus bertempur melawan monster yang bahkan lebih berbahaya daripada Eden sendiri.
Namun, dia tahu bahwa menyerah bukanlah pilihan. “Apa pun itu, kita harus maju. Jika mereka adalah yang terakhir, maka kita harus menandingi mereka dengan keberanian.”
---
Sekitar satu jam kemudian, mereka tiba di wilayah sekitar Norvalis, sebuah daerah pegunungan yang dipenuhi salju tebal. Keheningan yang memekakkan telinga menyelimuti mereka, hanya suara mesin kendaraan yang terdengar memecah keheningan malam. Mereka berhenti di sebuah titik yang cukup jauh dari pusat reaktor, bersembunyi di balik bebatuan besar.
“Di sinilah kita berpisah,” Elara berkata pelan, melangkah keluar dari kendaraan. “Mira, kamu akan bertanggung jawab untuk mempersiapkan semua perangkat yang kita perlukan untuk menghentikan reaktor. Ardan, kamu dengan yang lainnya, ikuti aku.”
Mira mengangguk dan segera bergerak menuju peralatan mereka, sementara Elara dan sisanya bersiap untuk memasuki terowongan menuju pusat Norvalis. Ketegangan semakin terasa, namun di antara mereka ada satu tujuan yang jelas—menghancurkan Eden.
Namun, ketika mereka mulai bergerak, sebuah ledakan besar terdengar dari arah belakang mereka.
“Awas!” teriak Ardan, menarik Elara ke bawah sambil menutupinya dengan tubuhnya.
Ledakan itu datang begitu mendalam, mengguncang tanah dan langit di atas mereka. Pasukan Eden, yang sepertinya sudah tahu mereka datang, meluncurkan serangan mendalam ke arah mereka. Segera, beberapa kendaraan tempur Eden muncul dari balik bukit, menghujani tim mereka dengan peluru dan bom.
“Mereka sudah menunggu kita!” Elara berseru, berlari ke arah terowongan yang lebih dalam, sambil memerintahkan anggota tim untuk mundur.
Perang sengit pecah, dengan pasukan Eden menyerang tanpa ampun. Di balik salju yang berwarna merah oleh darah, Elara melihat beberapa anggota timnya terjatuh, dibawa oleh ledakan dan tembakan yang tak terhitung jumlahnya.
“Kita tidak bisa terus bertahan di sini!” Ardan berteriak. “Mereka akan membunuh kita satu per satu!”
Tapi Elara tahu, mereka tidak punya pilihan. “Kita harus bertahan! Satu langkah lagi, kita bisa mengakses reaktor itu!”
Namun, saat mereka berlari menuju terowongan, mereka disergap oleh kelompok elit yang disebut Alden. Mereka mengenakan pakaian hitam pekat, dan dengan gerakan terkoordinasi, mereka mulai mengepung tim Elara.
Di antara mereka, Elara mengenali wajah yang sangat familiar—seorang wanita dengan rambut merah, berpakaian perang, mata yang dingin penuh kebencian. “Cassandra mengirimkan anak-anaknya untuk mengakhiri kalian,” wanita itu berkata dengan senyum tipis.
“Kalian tidak tahu siapa yang kalian hadapi,” balas Elara, melangkah maju dengan senjata terhunus.
Namun, sebelum mereka bisa bertempur, ledakan lain terjadi di belakang mereka, mengalihkan perhatian pasukan elit. Itu adalah kesempatan mereka.
“Sekarang!” Elara berteriak, dan mereka berlari, menembus barisan musuh dan menuju ke dalam terowongan yang gelap.
---
Mereka akhirnya mencapai pusat reaktor Norvalis, sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan mesin dan perangkat teknologi canggih. Namun, rasa lega mereka hanya sesaat.
“Kalian pikir bisa menghentikan kami begitu saja?” suara Cassandra terdengar dari sistem speaker, penuh dengan kebencian yang jelas. “Terlalu terlambat.”
Elara merasakan hawa panas yang mulai mengalir di sekitarnya. Mereka berada dalam jebakan. Tanpa mereka sadari, Cassandra telah memicu protokol pertahanan terakhir—reaktor yang mulai meledak, siap untuk melepaskan ledakan besar yang bisa menghancurkan seluruh fasilitas ini dan meluluhlantakkan siapa pun yang ada di dalamnya.
“Kita harus keluar sekarang!” teriak Ardan, mengguncang Elara dari keterheningan sesaat.
Mereka berlari secepat yang mereka bisa, namun setiap jalan keluar telah dipenuhi oleh pasukan elit dan jebakan-jebakan baru. Saat mereka mencapai pintu keluar, Cassandra muncul di hadapan mereka.
“Kalian kalah,” katanya dingin, dengan senyum yang merayap di wajahnya.
Namun, sebelum Elara dan Ardan bisa bertindak, sebuah ledakan besar mengguncang fasilitas itu, memecahkan langit dan bumi. Dan dalam sekejap, dunia mereka berubah selamanya.