Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 4 Enzio Adalah Putramu
“Huft!” Kania duduk di kursi ruang rapat, matanya beralih ke layar presentasi yang sedang ditampilkan.
Ia baru beberapa hari bekerja di perusahaan ini, dan semuanya berjalan lancar hingga sekarang.
Namun, hatinya berdebar tak menentu. Ia cemas saat menyadari bahwa perusahaan ini adalah bagian dari keluarga Pratama.
Meskipun tidak ada kabar tentang Adrian sejak ia meninggalkannya, Kania tetap berharap tidak harus bertemu dengannya.
Pintu ruang rapat terbuka, dan beberapa eksekutif masuk, termasuk seseorang yang membuat detak jantung Kania nyaris berhenti.
“Adrian?” Kania berbisik, tubuhnya menegang.
Adrian memasuki ruangan dengan langkah penuh percaya diri. Tidak ada perubahan yang signifikan dari dirinya. Masih sama, dengan postur tegap, tampan dan tatapan tajam.
Ketika matanya bertemu dengan pandangan Kania, langkahnya sedikit melambat.
“Kania?” Adrian terkejut, nyaris tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kamu bekerja di sini? Sejak kapan?”
Kania berusaha menenangkan diri, menegakkan bahu dan berusaha tidak menunjukkan kegugupan.
“Ya, saya baru bergabung dengan perusahaan bapak hari ini,” jawab Kania.
Adrian menatapnya lebih lama dari yang seharusnya, lalu duduk di kursinya dengan canggung.
“Lama tidak bertemu.”
“Ya, lama sekali,” jawab Kania.
Jika Kania tahu, perusahaannya akan bekerja sama dengan salah satu anak cabang perusahaan keluarga Pratama, mungkin Kania akan memilih untuk tidak mengiyakan perintah atasanya.
Hanya saja, Kania mengingat putra kecilnya yang masih membutuhkan biaya cukup banyak.
**
Beberapa jam kemudian, Kania keluar dari gedung kantor. Ia merasakan kecemasan yang tak bisa dijelaskan.
Kania tak menyangka akan bertemu Adrian di tempat kerja barunya. Terutama karena kini ada Zio dalam hidupnya.
“Zio... apa yang akan terjadi kalau dia tahu tentangmu?” gumam Kania dalam hati, matanya menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang ramai.
“Ma!” teriak suara kecil yang sudah sangat dikenalnya.
Kania tersenyum dan berlutut, merentangkan tangan untuk menyambut putranya yang berlari mendekat.
“Maaf, Nyonya, Zio memaksa saya untuk mengantarnya kemari,” ucap Bi Inah.
“Tidak apa-apa, Bi. Terima kasih sudah mengantarnya.” Kania beralih menatap Enzio. “Bagaimana hari pertamamu di sekolah, sayang?” tanyanya.
“Seru! Kami belajar tentang planet hari ini,” jawab Enzio dengan antusias. “Mama tahu tidak kalau Jupiter adalah planet terbesar?”
Kania tertawa seraya mencium kening putranya. “Tentu saja Mama tahu. Ayo, kita pulang sekarang.”
Sebelum mereka sempat pergi, suara langkah kaki mendekat. Kania membeku saat suara yang sangat dikenalnya memanggilnya.
“Kania, tunggu!”
Kania perlahan menoleh. Adrian berdiri di sana, matanya tertuju pada Enzio yang kini menggenggam erat tangan Kania.
“Ada apa, Pak? Anda membutuhkan sesuatu?” Kania menyembunyikan Enzio dibelakangnya.
“Ini... ini putramu?” tanya Adrian dengan suara bergetar.
Kania merasakan jantungnya berdebar lebih cepat. “Bukan urusan anda. Kalau tidak ada yang ingin anda tanyakan, saya permisi.”
“Tunggu, Kania. Aku belum selesai bicara.” Adrian menahan tangan Kania.
“Lepaskan saya.” Kania mencoba melepaskan cengkraman tangan Adrian. “Anda membuat anak saya ketakutan!”
“Maafkan aku.” Adrian memandang Enzio dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Anak itu sangat mirip dengannya, dari bentuk wajah hingga warna matanya. Tidak mungkin ia tidak menyadari kemiripan itu.
“Kania... berapa umur anak ini?” Adrian menatap dengan penuh kecurigaan.
“Enzio berusia lima tahun depan.”
Adrian terdiam. Seperti tengah menghitung sesuatu dalam pikirannya. “Lima tahun? Itu berarti dia…”
“Ini juga bukan waktu yang tepat untuk membahasnya,” potong Kania tidak ingin membahas soal ini di depan Enzio. “Lagi pula, hubungan kita hanya sebatas rekan kerja. Tidak lebih dari itu.”
Namun Adrian tidak menyerah. “Kamu meninggalkanku lima tahun lalu dan sekarang ada anak yang sangat mirip denganku. Apa kamu pikir aku bodoh?”
Kania menghela napas berat, mencoba mengatur emosinya.
“Tolong. Ini bukan tempat yang tepat untuk membahas hal ini. Aku akan menjelaskan semuanya nanti.”
Adrian mendekat, pandangannya tidak beralih dari Enzio yang tampak bingung dengan percakapan mereka.
“Aku ingin tahu sekarang, Kania. Apakah dia anakku?” tanyanya dengan mata berbinar.
Kania terdiam, hatinya terasa berat. Ia tahu momen ini akan datang cepat atau lambat, tapi ia tidak menyangka akan menghadapi Adrian secepat ini.
Enzio menatap ibunya dengan bingung, lalu beralih pada Adrian. “Mama, siapa paman ini?”
Kania tersenyum lembut pada putranya, mencoba menenangkannya. “Paman ini adalah teman Mama, sayang.”
Adrian mengepalkan tangannya. “Kamu berbohong, Kania.”
Kania menarik napas dalam-dalam, lalu menunduk pada Enzio. “Sayang, Mama perlu berbicara sebentar dengannya. Bisa kamu tunggu di mobil?”
Enzio, meskipun bingung, mengangguk dan berlari menuju mobil mereka ditemani oleh Bi Inah. Setelah memastikan Enzio aman, Kania berbalik menghadap Adrian.
“Kamu ingin jawaban, bukan? Baiklah aku akan menjawabnya. Ya, Enzio adalah putramu,” kata Kania.
Adrian tercengang mendengar kenyataan itu. Meski Adrian sudah menebaknya, ia masih tak menyangka. Bagaimana bisa Enzio adalah putranya sementra malam itu mereka melakukannya hanya satu kali?