Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Chakra dan Joshua mengerjapkan mata, menatap sekitarnya yang dikelilingi pepohonan dengan linglung. Mereka mencoba memahami apa yang terjadi, terutama setelah melihat sebuah mobil terbakar tak jauh dari tempat mereka berada.
Apakah mereka sudah mati?
Hal terakhir yang mereka ingat adalah saat mobil meluncur menuju dasar jurang, tubuh mereka terlempar keluar dari kaca depan mobil yang pecah akibat terkena tembakan, karena mereka tidak mengenakan sabuk pengaman. Suara benturan dan ledakan yang memekakkan telinga menjadi memori terakhir sebelum semuanya menjadi gelap.
"Kalian masih hidup," celetuk suara bocah perempuan yang terdengar akrab di pendengaran mereka akhir-akhir ini.
Keduanya menoleh, mencari asal suara itu. Terlihat siluet seorang gadis kecil duduk di atas bebatuan tak jauh dari mereka.
"Reina?" Panggil Chakra memastikan. Pria itu mencoba berdiri, namun kembali terjatuh akibat kakinya yang terkilir.
"Tetap di sana, Paman," ujar Reina sambil melangkah mendekat. Dia menatap Chakra yang meringis kesakitan.
"Om, apa kau punya penerangan?" tanya Reina kepada Joshua, yang masih tampak terpaku dalam kebingungannya.
"Ah? Oh, sebentar," Joshua tersadar dari lamunannya. Ia merogoh tas ransel yang dibawanya, lalu menyerahkan sebuah senter kecil kepada Reina.
'Klik.'
Reina menyalakan senter itu, lalu menyorotkan cahayanya ke wajah dua pria yang masih terlihat syok. Senyum iseng mulai terbentuk di wajahnya.
"Sepertinya kalian benar-benar sudah mati. Tubuh kalian penuh darah," ujarnya dengan nada mengejek.
"Kau masih sempat-sempatnya bercanda di saat seperti ini, bocah nakal!" Geram Chakra, kesal dengan komentar Reina.
"Oh~ Kalau kalian masih hidup, kenapa terlihat seperti orang kebingungan?" Reina mendekati mereka, memeriksa tubuh mereka satu per satu. Syukurlah, hanya luka kecil akibat pecahan kaca, tanpa luka serius yang membahayakan nyawa.
Reina menyorotkan cahaya senter ke arah Joshua yang masih diam terpaku, sibuk dengan pikirannya sendiri. Gadis itu lalu menekan luka di lengan Joshua, membuat pria itu tersentak.
"Om, apa Om mau balas dendam?" tanya Reina tiba-tiba, suaranya tenang namun tajam.
Joshua menatap gadis kecil itu, terkejut dengan keseriusan di matanya. Ia memang merasakan kekecewaan dan amarah mendidih dalam dirinya, tetapi ia berusaha menahan diri. Bagaimana mungkin ia meluapkan emosi kepada seorang anak kecil yang bahkan belum mengerti penuh situasi ini?
Namun, Joshua tak bisa mengabaikan keanehan. Kenapa Reina—seorang gadis kecil—tidak menunjukkan ketakutan atau merengek seperti anak-anak pada umumnya? Justru, gadis itu terlihat tenang, seolah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
"Nak, sebaiknya kau diam saja," gumam Joshua akhirnya, suaranya penuh kekesalan yang tertahan.
Reina menatap Joshua sebentar, lalu beralih pada Chakra yang juga memasang raut lelah. Namun, senyum tipis tak kunjung hilang dari wajah gadis itu. Entah kenapa, dia tampak seolah sudah memiliki rencana lain dalam pikirannya.
Reina menyeringai, apalagi saat gadis kecil itu mendengar berbagai umpatan dan makian dalam kepala Joshua yang jelas ditujukan pada orang-orang yang berniat mencelakai mereka.
"Sial! Mereka tidak hanya memblacklist kami, mereka juga ingin membunuh kami? Apakah ini memang sengaja direncanakan? Aku bahkan tidak punya izin resmi untuk membuka praktek! Mereka benar-benar keterlaluan! Aku tidak percaya mereka bisa bertindak sejauh ini!"
Gadis kecil itu hanya mendengarkan dalam diam sambil menggeledah tas yang berada di belakang dua pria yang sibuk dengan pikiran masing-masing. Chakra, yang menyadari kegiatan Reina, hanya mengawasinya sebentar. Rasa nyeri di wajahnya akibat luka membuatnya malas untuk menegur.
Reina menemukan sebuah pisau lipat, entah milik siapa, yang terselip di antara tumpukan pakaian. Dia mengambilnya sambil menyeringai kecil. Setelah itu, dia menutup kembali tas tersebut dan memilih duduk di sebelah Chakra sambil menatap langit yang berhiaskan bintang-bintang dan bulan separuh. Pendar cahaya bulan memberikan penerangan yang lembut, meski tak seterang bulan purnama.
"Aku lapar," gumam Reina, matanya mengawasi sekeliling, berharap ada hewan kecil seperti landak atau musang yang melintas di hadapannya.
Chakra meraih senter yang tergeletak di sebelahnya dan mulai menyoroti area sekitar. Pandangannya terhenti pada sesuatu tak jauh dari mobil yang terbakar.
"Tunggu di sini," titahnya singkat. Ia berdiri dengan susah payah dan berjalan tertatih menuju lokasi di mana belanjaannya terlihat masih utuh.
'Grasak' 'Grasak'
Reina langsung menegakkan tubuh ketika melihat semak-semak di depannya bergoyang-goyang. Dia berharap yang muncul adalah hewan kecil seperti rusa atau landak. Dengan gesit, dia mengeluarkan pisau lipat yang tadi diambil dan bersiap siaga.
'Tuing!'
Seekor babi hutan tiba-tiba melompat keluar dari semak, membuat mata Reina berbinar cerah. Doanya terkabulkan! Dalam benaknya, ia sudah membayangkan daging babi hutan panggang yang lezat, apalagi mengingat dirinya sudah lama tidak menikmati makanan semewah itu.
"Darling~ Kemarilah~! Kita bersenang-senang sebentar!" seru Reina ceria sambil berlari mengejar babi hutan yang telah menghilang di balik semak-semak.
Joshua dan Chakra serentak membelalakkan mata mereka saat melihat gadis kecil itu dengan cerobohnya berlari masuk ke dalam hutan.
"Reina!! Kembali!!" teriak Chakra panik, namun Reina sudah menghilang di antara kegelapan hutan.
✨
Chakra dan Joshua berteriak memanggil Reina sambil mengarahkan senter ke berbagai sisi hutan. Joshua merasa bersalah karena tidak mengawasi gadis kecil itu dengan benar. Seandainya saja dia tidak terlarut-larut dalam pikirannya, mungkin Reina tidak akan pergi begitu saja.
'Guuuiiiiiikkkkk!!!'
Keduanya terkejut mendengar jeritan babi yang terdengar cukup jauh dari mereka. Setelah beberapa saat mencari, mereka terhenti ketika melihat sosok seorang gadis kecil yang tampak sibuk membersihkan babi hutan dengan santai, tubuhnya sudah dipenuhi darah.
Reina menoleh ke arah keduanya yang terpaku, "Oh, kalian terlambat!" katanya dengan nada santai.
"Bagaimana bisa–" Chakra hampir tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keponakannya benar-benar membuatnya tak habis pikir.
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Joshua dengan nada dingin, berusaha menahan rasa herannya. Tidak mungkin seorang gadis kecil bisa bersikap setenang ini, apalagi saat berada dalam bahaya. Biasanya anak kecil akan ketakutan atau menangis. Joshua merasa ada yang tidak beres.
Dan yang lebih membingungkan, identitas anak itu tak pernah diketahui. Meskipun Joshua pernah memviralkan kondisinya di akun sosial media miliknya.
'Untuk seukuran anak-anak, dia punya mental yang luar biasa. Bisa dibilang, dia seperti orang dewasa yang sudah hampir mati berkali-kali. Apa sebenarnya penderitaan macam apa yang dia alami? ' pikir Joshua, dan Reina mendengarnya.
"Dia keponakanku, Josh. Dia tidak memiliki identitas karena keluarganya tidak pernah mengakuinya," Chakra akhirnya menjawab. "Dia tidak punya nama. Ibunya, saudaraku, disiksa habis-habisan. Mengurus rumah, bekerja, bahkan sering diperlakukan seperti hewan."
Joshua menatap Reina dalam diam. Seharusnya, seseorang yang mengalami penderitaan ekstrem seperti itu pasti memiliki trauma yang mendalam ketika sembuh. Ia merasa bersalah karena sempat mencurigainya.
"Paman benar. Aku tidak punya nama, kelahiranku tidak diinginkan," kata Reina dengan tatapan tenang. "Apa Om ingin membunuhku?"
Joshua terkejut mendengar pertanyaan itu. Tidak ada niat sedikit pun dalam dirinya untuk menghilangkan nyawa gadis kecil ini. Justru, ia merasa kagum dengan ketangguhannya yang bisa bertahan di tengah segala penderitaan.
Joshua terkekeh dan berjongkok di depan Reina, "Membunuhmu? Itu konyol sekali." Dia tersenyum dan menatap Reina. "Justru aku bangga padamu. Tapi ingatlah, kau masih kecil. Minta tolonglah pada orang dewasa."
Reina tersedak karena lupa jika tubuhnya masih kecil. "Aku akan mengingatnya," jawabnya, sedikit canggung.
Joshua berdiri dan memutuskan untuk mengambil alih tugas Reina. "Nah, anak manis, sebaiknya kau mandi dulu. Biar Om tampan ini yang melanjutkan. Kau terlihat seperti anak kucing yang membawa buruan untuk majikannya."
"Kenapa kalian suka menyamakan aku dengan hewan itu?" gerutu Reina, merasa risih.
Tiba-tiba, Reina memekik kaget ketika merasakan tubuhnya melayang.
"Karena kau mirip dengan makhluk itu." Chakra berkata sambil menenteng kerah belakang Reina, mengangkatnya seperti seekor kucing yang sedang digendong.
Joshua hanya bisa sweatdrop melihat cara Chakra menggendong keponakannya. "Tak bisakah kau menggendongnya dengan cara biasa?" pikir Joshua dalam hati.
"Tadi aku melihat sungai tak jauh dari sini. Sebaiknya kau bersihkan diri sejenak." Chakra berkata sambil melangkah menjauh dari tempat itu, menenteng Reina yang memandang tajam sang paman.
Chakra berhenti sejenak dan menoleh ke arah Joshua, "Ah, Joshua, kau lanjutkan saja. Sekalian buatkan api unggun."
✨
Reina menatap api unggun sambil mengembungkan pipinya dengan kesal. Bayangkan saja, sang paman tiba-tiba menceburkan dirinya ke dalam sungai. Untungnya sungai itu dangkal, hanya setinggi paha pria dewasa, dan tidak ada bebatuan tajam, sehingga dirinya tidak terluka.
'Bocah sialan! Tak bisakah kau membiarkanku berjalan dan tidak memperlakukanku seperti seekor kucing?!' teriaknya dalam hati, sambil menusuk dua boneka jerami dengan kesal.
"Setelah ini apa yang akan kita lakukan? Tak mungkin kita kembali ke kota itu," Joshua berkata sambil membalikkan daging yang dipanggang di atas api.
"Entahlah. Kurasa kita harus pergi ke kota lain," jawab Chakra sambil menatap api yang berkobar.
"Aku setuju," kata Joshua, lalu mereka melirik Reina yang kini tengah memainkan boneka jerami dengan sebelah alis terangkat, ekspresi wajahnya tampak kesal.
"Kau sudah bosan?" tanya Chakra dengan nada sedikit menggoda melihat ekspresi Reina yang menggemaskan, meskipun wajahnya terlihat marah.
Reina melirik Chakra dengan tajam. Meskipun sering disiksa di dunia iblis, tingkah Chakra masih terasa ringan dibandingkan dengan itu. Namun, ekspresi yang ditunjukkannya membuat Reina ingin melemparkan sesuatu ke wajah paman yang terbalut perban itu.
"Sudah," jawab Reina dengan bosan, lalu melemparkan dua boneka jerami itu ke dalam api unggun, menyaksikan boneka itu terbakar.
---
Keesokan harinya, keluarga Mahesa dilanda kesedihan yang mendalam. Salah satu anggota keluarga mereka ditemukan meninggal dengan cara yang sangat mengenaskan.
Angelina ditemukan tak bernyawa dalam keadaan hangus penuh luka di tempat tidurnya. Tidak ditemukan tanda-tanda kebakaran di sekitar kamar rawat wanita itu.
Allarick memeriksa CCTV dan tak menemukan kejanggalan apapun. Tidak ada orang yang memasuki kamar tersebut.
"Kenapa bisa seperti ini?" gumamnya dengan heran sambil memutar ulang rekaman CCTV yang hasilnya tetap sama.
"Lapor, Tuan. Tidak ada orang yang menghapus rekaman CCTV, dan tidak ditemukan penyusup ke ruangan itu," lapor salah satu anak buah Allarick.
Sementara di kediaman Asaga, jerit tangis histeris menggema di sana. Ibu Aldi, Lasmi, ditemukan meninggal dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya terlihat seperti mengalami patah tulang di setiap sendi, seolah-olah tubuhnya diperlakukan dengan kekuatan yang sangat kasar. Kulitnya hangus, seakan-akan telah terbakar dalam api yang tidak terlihat, meninggalkan luka bakar yang membekas di seluruh tubuhnya. Matanya terbuka lebar, menatap kosong seolah mencari sesuatu yang tak terjangkau lagi.
Aldi menatap ibunya yang terbaring tanpa nyawa dengan tatapan bingung. "Siapa yang bisa melakukan ini?" bisiknya, suara penuh kebencian namun juga ketakutan. "Kenapa... kenapa mereka membunuhnya?"
Sementara itu, Clara menangis histeris mendekatkan tubuhnya pada Lasmi, merasakan kepanikan yang semakin membesar di dalam dirinya. “Kita harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas ini. Jangan biarkan mereka begitu saja!" teriaknya dengan marah.