"Kamu mau kan, San? Tolong, berikan keturunan untuk Niklas. Kami butuh bantuanmu," pesan Elma padaku.
Meski Elma telah merenggut kebahagiaanku, tetapi aku selalu kembali untuk memenuhi keinginannya. Aku hanyalah alat. Aku dimanfaatkan dan hidup sebagai bayang-bayang Elma. Bahkan ketika ini tentang pria yang sangat dicintainya; pernikahan dan keturunan yang tidak akan pernah mereka miliki. Sebab Elma gagal, sebab Elma dibenci keluarga Niklas—sang suami.
Aku mungkin memenangkan perhatian keluarga Niklas, tetapi tidak dengan hati lelaki itu.
"Setelah anak itu lahir, mari kita bercerai," ujar Niklas di malam kematian Elma.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimmysan_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Menikah, Vin.
Tubuhku terasa lelah saat terbangun pagi ini. Bukan hanya tubuh, tetapi mataku ikut perih karena menangis semalaman. Entah berapa lama aku menangis, tetapi aku yakin itu cukup lama. Sehingga mataku terasa sakit.
Aku bangkit dari tempat, mengamati keadaan sekitar dan sepi. Ya, hanya aku sendiri yang ada di sini. Memang siapa lagi yang mau aku harapkan? Niklas? Oh, tidak. Aku bahkan tidak melihatnya lagi setelah percintaan kami semalam.
Bukankah sepasang-suami istri akan merasa bahagia keesokan paginya setelah melewati malam pertama mereka? Lantas mengapa aku tidak? Justru semakin diingat, perasaanku kian terasa sakit.
"Sudahlah, San. Malam gila itu sudah lewat," ucapku seraya beranjak dari kasur.
Kedua mataku terpaku pada bercak merah yang menempel di seperi. Ya, Tuhan! Semalam itu benar-benar nyata. Aku kehilangan keperawananku setelah disetubuhi lelaki yang pernah sangat aku cintai. Harusnya aku senang, 'kan? Namun, perasaanku mendadak nyeri.
"San, lupakan!" Aku membentak diriku sendiri.
Sekarang jika ayah dan keluarga Niklas, tentu saja Niklas juga, menginginkan aku menjadi alat yang pantas dipermainkan, biar aku ikuti saja kemauannya. Mungkin jalan hidupku memang sudah begini? Hanya hidup dalam bayang-bayang Elma dan menjadi bonekanya.
Setelah selesai mandi dan berpakaian, aku turun ke lantai utama. Walaupun sudah menikah, aku tetap harus bekerja. Tak ada pembicaraan manis seperti perjalanan bulan madu karena memang pernikahan aku dan Niklas tak sebahagia itu.
Ingatkan aku bahwa aku hanya dimanfaatkan saja. Bahwa mereka hanya menginginkan rahimku, bukan diriku sepenuhnya.
"Niklas belum bangun?" tanyaku pada seorang wanita paruh baya yang aku ketahui bernama Bu Hesti—pembantu di rumah Elma dan Niklas.
"Pak Niklas sudah berangkat subuh tadi, Non."
"Oh iya? Dia nggak sarapan, Bi?"
Bu Hesti menggeleng. "Sejak satu minggu yang lalu, Pak Niklas selalu berangkat lebih awal. Katanya sarapan nanti saja. Pasti masih sedih, Non, jadi teringat Bu Elma setiap duduk di meja makan."
Aku tersenyum tipis menanggapi ucapan Bu Hesti. Walaupun aku tahu ucapannya itu pasti benar. Orang mana yang bisa ikhlas dengan cepat atas kematian seorang yang sangat dicintainya?
Dalam kasusku ini, mungkin ada dua alasan mengapa Niklas tidak mau duduk di ruang makan. Pertama, merasa sedih karena momen dengan Elma pasti masih ads. Kedua, karena tidak mau berlama-lama denganku. Ya, aku yakin dua hal itu pemicunya.
"Non Tsania duduk, ya. Biar saya siapkan sarapan," kata Bu Hesti sesaat setelah aku melamun selama sekian detik.
"Panggil Tsania aja, Bu. Terima kasih, ya, tapi saya sarapan di sekolah saja."
"Saya nggak enak kalau panggil nama saja. Kan sekarang Non Tsania sudah jadi istri Pak Niklas."
Kata 'istri' yang terlontar dari bibir Bu Hesti membuat hatiku sedikit nyeri. Istri siri lebih tepatnya. Aku mengulas senyum setipis serat kain. "Baiklah, terserah Bu Hesti saja. Saya pamit dulu kalau begitu."
"Hati-hati, Non." Bu Hesti berpesan sebelum aku keluar dari rumah.
Aku akan bersyukur jika hidupku tidak akan banyak berubah karena menikah dengan Niklas. Syukur-syukur aku bisa menjalani kegiatanku seperti biasa. Walaupun aku yakin—dengan sikap Niklas yang sekarang—pasti akan ada kesulitan sedikit demi sedikit.
Meski kami menikah, Niklas membenciku dan aku tidak mau susah payah membuat dia menyukai aku lagi. Biarlah, aku memahami perasaan Niklas dan kebenciannya. Sebab akulah yang membuat Niklas seperti saat ini. Maksudku, membenciku.
"Tenanglah, Tsania. Semuanya akan baik-baik saja," ucapku sambil menggenggam kemudi mobil. Senyum lebar merekah di bibirku dan aku tidak mau terlalu memikirkan sikap Niklas atau hariku akan kacau.
———oOo———
Ervin datang ke sekolah hari ini. Padahal masih ada waktu setengah jam sebelum jam pulang. Dia datang saat jam istirahat anak-anak. Tentu saja Aurora senang karena omnya datang lebih awal, dia tak perlu menunggu sampai omnya datang menjemput di jam pulang.
"Bagaimana Aurora? Dia nggak merepotkan, 'kan?" tanya Ervin saat kami duduk di kursi halaman depan Taman Kanak-kanak.
Aku dan Ervin tengah menyaksikan anak-anak kecil itu bermain di halaman depan. Tentu saja mengawasinya bersama beberapa guru lain.
"Namanya juga anak kecil, Vin. Aku maklum saja."
"Tapi, Aurora beda, San. Dia anaknya agak cerewet dan kadang ucapannya seperti orang dewasa."
Senyum tipis merekah di bibirku saat melihat Aurora yang berlari saling mengejar dengan anak-anak lain. "Lihatlah, Aurora lebih ceria sekarang. Kamu pernah bilang kan kalau dia anaknya pemurung?"
"Itu dulu ketika orang tuanya pergi. Mungkin sejak sekolah di sini dan ketemu kamu, dia kembali ceria," ucap Ervin seraya memandangku dari samping.
Aku membalas tatapannya dibarengi senyuman tulus. "Dia juga berusaha, Vin."
Kami sama-sama berbagi senyum sesaat setelah perkataanku. Sampai kedua mata Ervin terarah pada jemariku. Tanpa permisi Ervin meraihnya dan mengusap cincin yang tersemat di salah satu jariku. Gerakan Ervin yang tiba-tiba tentu saja membuatku kaget.
Ervin membagi tatapan antara cincin itu dan wajahku. Sial! Aku lupa melepasnya. Namun, mau menghindar bagaimana lagi? Ervin sudah kepalang melihat cincin tersebut.
"San, ini ... apa maksudnya?" tanya Ervin.
Ervin memang bukan kekasihku, tetapi siapa pun tahu jika kami tertarik satu sama lain. Lagi pula, Ervin berkata lebih suka berkomitmen untuk sebuah pernikahan daripada berpacaran yang membuang-buang waktu. Aku membiarkan Ervin memasuki hidupku. Dia selalu bersikap baik dan penuh perhatian.
Namun, inilah yang terjadi. Aku lagi-lagi menyakiti perasaan seseorang.
"Vin, aku ...."
"Siapa orangnya, San?" Ervin memotong ucapanku.
Sekarang suara tawa anak-anak di halaman depan tak lagi menarik perhatian kami. Ervin menatapku lekat-lekat tanpa mau melepas jemariku. Aku tahu sorot matanya jelas-jelas menunjukkan kekecewaan.
"Maaf. Aku menikah, Vin."
"Ya, siapa orangnya? Kenapa, San? Kupikir kita ...." Kalimat Ervin tertahan selama sekian detik. Sepasang matanya tampak sangat terluka.
"Niklas."
"Apa? Niklas ... San, dia itu suami kakak kamu. Kenapa, San? Aku benar-benar nggak mengerti kenapa tiba-tiba seperti ini?"
Air mataku rasanya akan tumpah lagi saat menatap Ervin lebih lama. Rasa panas yang ada dalam rongga dadaku seakan menjalar ke mata. Aku bersusah payah agar tidak meneteskan air mata di depan Ervin.
Aku menunduk dalam-dalam, menjernihkan pikiran untuk menghadapi Ervin. Hal seperti ini tidak pernah aku harapkan, tetapi siapa yang akan tahu kejutan apa yang menunggu di hari selanjutnya? Inilah kejutan menyakitkan untuk aku dan Ervin.
"Elma menginginkan pernikahan di antata kami dan aku nggak punya pilihan lain, Vin. Aku ingin menolak, tapi ayahku dan keluarga Niklas ...." Aku menggeleng tidak bisa meneruskan kalimat yang tertahan di tenggorokan.
Setiap mengingat apa yang terjadi, perasaanku terasa nyeri. Wajah pucat dan kurus Elma serta jasadnya yang kaku nan dingin memenuhi isi kepalaku. Aku terlempar pada detik-detik kematian Elma—saat sekarat pun, dia tetap bisa menyakiti aku.
"San, aku kecewa," ucap Ervin dengan tegas.
"Maafkan aku, Ervin. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain."
"Sekarang jawab aku dengan jujur. Lihat aku, Tsania!" titah Ervin meminta atensiku. Kedua tangannya menggenggam erat tanganku. "San, apa kamu mencintai Niklas?"