Prolog:
Dulu, aku selalu menganggapnya pria biasa miskin, sederhana, bahkan sedikit pemalu. Setelah putus, aku melanjutkan hidup, menganggapnya hanya bagian dari masa lalu. Tapi lima tahun kemudian, aku bertemu dengannya lagi di sebuah acara gala mewah, mengenakan jas rapi dan memimpin perusahaan besar. Ternyata, mantan pacarku yang dulu pura-pura miskin, kini adalah CEO dari perusahaan teknologi ternama. Semua yang aku tahu tentang dia ternyata hanya kebohongan. Dan kini, dia kembali, membawa rahasia besar yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 Bagian 20 Hendrik Menggoda Nadia
Hendrik menghela napas panjang. “Reza itu pintar, Nadia. Dia bisa membaca orang, tahu bagaimana cara membuat mereka percaya padanya. Itu sebabnya dia sukses, bahkan di dunia yang kotor sekalipun. Tapi kecerdasannya itu juga yang membuat dia berbahaya.”
Nadia memiringkan kepalanya, bingung. “Berbahaya? Dalam hal apa?”
“Dalam hal dia tahu kapan harus mengambil risiko, kapan harus memanipulasi keadaan, dan kapan harus menghilang,” jawab Hendrik sambil menyesap minumannya. “Reza nggak hanya menjalankan bisnis ilegal biasa. Dia punya jaringan yang besar, termasuk beberapa orang yang sangat berpengaruh. Orang-orang yang kau nggak ingin berurusan dengan mereka.”
Nadia menggigit bibirnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. “Kenapa dia tidak pernah memberitahuku tentang ini? Kalau dia benar-benar mencintaiku, kenapa dia menyembunyikan semuanya?”
Hendrik tersenyum tipis, penuh arti. “Karena kau adalah titik lemahnya, Nadia. Reza tahu, jika orang-orang tahu tentangmu, kau akan jadi target. Dia ingin melindungimu, walaupun itu berarti dia harus meninggalkanmu.”
Nadia meminum lebih banyak alkoholnya, mencoba memproses semua ini. Kepalanya mulai terasa sedikit ringan, tetapi pikirannya tetap dipenuhi pertanyaan. “Jadi, dia meninggalkanku bukan karena dia tidak peduli, tapi karena dia peduli?”
“Kurang lebih begitu,” jawab Hendrik sambil mengangkat bahu. “Tapi jangan salah paham. Itu tidak membuat tindakannya benar. Dia masih memilih jalan yang salah. Dan jalan itu tidak akan pernah berakhir baik, Nadia.”
“Tapi kenapa dia kembali sekarang?” Nadia menatap Hendrik dengan penuh kebingungan. “Kenapa dia muncul lagi dalam hidupku setelah semua yang dia lakukan?”
Hendrik terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Mungkin dia ingin memperbaiki semuanya. Atau mungkin dia butuh sesuatu darimu. Aku nggak tahu pasti. Tapi satu hal yang aku tahu, Nadia kau harus berhati-hati. Reza itu pandai memainkan peran, dan kau harus siap untuk menghadapi segala kemungkinan.”
Nadia menatap gelasnya, jari-jarinya gemetar. Ia menyesap lagi alkoholnya, mencoba menenangkan dirinya. “Jadi, kau menyarankan aku untuk menjauhinya?”
Hendrik tersenyum tipis. “Aku tidak bisa memberitahumu apa yang harus kau lakukan. Itu keputusanmu. Tapi aku hanya ingin kau tahu apa yang kau hadapi. Dunia Reza bukanlah dunia yang mudah dimengerti atau diterima.”
Nadia mengangguk perlahan, pikirannya dipenuhi oleh semua informasi yang baru saja ia dengar. Hendrik memandangnya sekali lagi sebelum mengakhiri percakapannya. “Kalau kau butuh bantuan, Nadia, kau tahu harus menghubungi siapa.”
Dengan itu, Hendrik menyesap minuman terakhirnya dan bersandar di kursinya, memberikan Nadia waktu untuk merenung. Sementara itu, musik dari lantai utama terus berdentum, tetapi Nadia merasa seolah dunia di sekitarnya menjadi hening, hanya menyisakan pikirannya yang berputar-putar.
Hendrik menatap Nadia dengan senyuman tipis di wajahnya, matanya terlihat lebih fokus, jelas terpesona oleh kecantikan dan pesona wanita itu. Setelah sejenak diam, dia bersandar ke arah Nadia, suaranya lebih lembut namun penuh maksud.
“Kau tahu, Nadia,” ucapnya, sambil memutar gelas di tangannya. “Aku jarang bertemu wanita secantik dan sehebat dirimu. Pintar, elegan, dan jelas punya keberanian. Jarang ada yang seperti itu di tempat ini.”
Nadia mendongak, tatapannya tetap dingin meski wajahnya tersenyum sopan. “Terima kasih, Hendrik. Tapi aku rasa kita di sini untuk membahas Reza, bukan aku.”
Hendrik terkekeh pelan, mengabaikan nada tegas Nadia. “Mungkin, tapi itu tidak mengubah kenyataan bahwa kau membuat malam ini jauh lebih menarik. Aku jadi penasaran, apa lagi yang membuat Reza begitu tergila-gila padamu?”
Nadia mengerutkan alisnya sedikit, merasa suasana mulai bergeser ke arah yang tidak nyaman. Dia menegakkan tubuhnya, memberi jarak lebih jauh dari Hendrik. “Aku rasa ini bukan topik yang perlu kita bahas, Hendrik. Aku di sini untuk mencari jawaban, bukan mendengar rayuan.”
Hendrik mengangkat tangannya, pura-pura menyerah, meski senyum nakalnya masih tergantung di wajahnya. “Santai, Nadia. Aku hanya bercanda. Tapi kalau kau berubah pikiran, aku selalu ada di sini untuk mendengarkan.”
Nadia menarik napas dalam-dalam, mengendalikan dirinya agar tetap tenang. “Aku hargai informasi yang kau berikan, Hendrik. Tapi kalau tidak ada yang penting lagi, aku rasa aku harus pergi.”
Saat hendak beranjak pergi Nadia mulai merasakan pusing yang datang akibat alkohol yang diminumnya. Kepalanya terasa berat, dan dunia seakan mulai berputar pelan. Hendrik, yang duduk di dekatnya, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Tatapan pria itu penuh intensitas, bercampur dengan senyuman tipis yang sulit diartikan.
“Nadia, kau terlihat sangat menawan malam ini,” ucap Hendrik, suaranya tenang namun sarat dengan nada menggoda.
Nadia tersenyum kecil, berusaha menjaga kesadaran meski efek alkohol mulai menguasainya. "Terima kasih, Hendrik," jawabnya dengan suara pelan. "Tapi aku di sini bukan untuk itu. Aku hanya ingin tahu lebih banyak tentang Reza."
Hendrik menyesap minumannya sambil memandang Nadia dengan tatapan penuh arti. "Reza itu pria yang rumit, Nad. Tidak mudah untuk memahami keputusannya. Tapi, kau tahu, terkadang orang seperti dia terjebak dalam dunia yang tidak bisa mereka kendalikan."
Nadia mengangguk pelan, merasa kata-kata Hendrik benar. Namun, seiring percakapan berlanjut, dia mulai merasa Hendrik semakin mendekatinya. Suasana mulai berubah. Hendrik menyentuh tangannya dengan lembut.
“Lihatlah dirimu,” bisik Hendrik, “Cantik, pintar, penuh pesona. Kau pantas mendapatkan lebih dari sekadar pria yang terus-menerus menyembunyikan rahasia darimu.”
Nadia menatap Hendrik, berusaha menjaga jarak meski kepalanya semakin berat. “Hendrik,” katanya dengan suara yang berusaha tegas, “Aku menghargai bantuanmu, tapi aku rasa sudah cukup untuk malam ini.”
Hendrik tersenyum, lalu melepaskan sentuhannya. “Tentu saja, Nadia. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku di sini jika kau butuh sesuatu.”
Nadia memutuskan untuk segera mengakhiri pertemuan itu. Dia tahu bahwa suasana mulai tidak nyaman, dan dia tidak ingin berada di situ lebih lama. Dengan usaha keras, dia berdiri dan menatap Hendrik dengan tatapan serius. "Terima kasih atas informasinya, Hendrik. Aku akan memikirkan semuanya."
Hendrik berdiri juga, memberikan anggukan kecil. "Kapan pun kau butuh sesuatu, kau tahu di mana mencariku."
Ketika Nadia beranjak dari kursinya, Hendrik tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Gerakan itu cepat dan mengejutkan, membuat Nadia sedikit tersentak. Dengan tatapan yang sulit dibaca, Hendrik menariknya lebih dekat.
“Nadia,” ucap Hendrik dengan suara rendah dan intens, “Aku rasa kita belum selesai bicara.”
Nadia, meski masih setengah mabuk, mencoba menarik tangannya kembali. “Hendrik, aku harus pergi. Terima kasih atas waktumu,” katanya dengan suara tegas, meski kepalanya berdenyut.
Namun, Hendrik tidak melepaskannya. Sebaliknya, dia memiringkan wajahnya lebih dekat ke arah Nadia, seolah mencoba mencium bibirnya. “Kau tidak perlu terburu-buru. Malam ini masih panjang,” bisiknya sambil tersenyum tipis.
Detik itu, sesuatu dalam diri Nadia terpicu. Meski pikirannya masih sedikit kabur karena alkohol, dia tahu betul bahwa ini melewati batas. Dengan cepat, dia memalingkan wajahnya dan mendorong Hendrik menjauh dengan tangan bebasnya.
“Hendrik, cukup!” seru Nadia dengan nada tajam.
Hendrik terdiam sejenak, terkejut oleh reaksi Nadia. Dia kemudian tertawa kecil, mengangkat kedua tangannya seolah meminta maaf. “Tenang, aku hanya bercanda, Nadia. Tidak perlu serius.”
Nadia tidak tertawa. Dia memandang Hendrik dengan sorot mata dingin, mencoba menahan emosi yang bercampur antara marah dan kecewa. “Jika kau benar-benar menghargai aku, jangan pernah mencoba melakukan itu lagi.”
Hendrik hanya menghela napas panjang, memandang Nadia yang semakin menjauh. Tatapannya kembali dingin dan misterius, menyimpan sesuatu yang tidak mudah ditebak.
Setelah berhasil mencapai Parkiran Nadia menuju mobilnya,
“Dunia ini jauh lebih berbahaya dari yang aku bayangkan,” gumamnya pelan sambil mencoba menenangkan diri. Nadia tahu, untuk menghadapi kebenaran, dia harus lebih kuat dari sebelumnya.