Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07 - Malu Semalu-Malunya.
"Dasar bo-doh!! Harusnya kamu bangun, Net, bangun!!"
Jika di luar Faaz sampai istighfar akibat kelakuannya, di sisi lain Ganeeta tengah mengutuk diri sendiri karena mengira mimpi buruknya benar-benar terjadi.
Sembari menikmati guyuran air di atas kepala, Ganeeta menangis sedih dan membersihkan tubuhnya dengan kasar seakan-akan tak terima.
Efek buruk sangka dan terlalu lelah membuat otak Ganeeta agaknya tak beres. Berawal dari mimpi aneh dimana Faaz menuntut haknya secara paksa dan menyaksikan noda da-rah di celana sewaktu terjaga membuat Ganeeta lagi dan lagi kehilangan akal sehatnya.
Tanpa bertanya dia melayangkan fitnah kejam kepada sang suami yang sama sekali tidak bersalah. Benar kata orang, dalam keadaan panik manusia kerap kali tidak dapat berpikir jernih dan menarik kesimpulan tanpa mencaritahu keberadaannya lebih dulu.
Cukup lama Ganeeta menghabiskan waktu di kamar mandi, hingga ketukan pintu terdengar baru dia tergerak untuk mengakhiri ritualnya.
Itu pun dia lakukan karena takut Faaz memaksa masuk dan kembali meng-gaulinya. Terlalu banyak membaca karya fiksi yang tidak sesuai kenyataan dan isinya ngawur juga menjadi alasan kenapa Faaz ketiban si-al pagi ini.
"Iya, sebentar!!" Sembari mengeratkan ikatan bathrobe yang melilit tubuhnya, Ganeeta berteriak dengan harapan Faaz berhenti mengetuk pintu tersebut.
Setelah dirasa aman, barulah Ganeeta memberanikan diri untuk membuka pintu.
"Are you okay?" tanya Faaz bersedekap dada seraya melayangkan tatapan terbaca ke arahnya.
Ganeeta yang belum memahami keadaan masih menatap Faaz penuh kebencian. Ekspresi pria itu seketika membuatnya kian murka dan curiga.
"Dasar licik, beraninya sama anak kecil."
"Huft, pagi-pagi sudah marah ... mending buruan pakai celana gih, khawatir netes ke lantai da-rah ha-idnya," ucap Faaz menepuk pundak Ganeeta beberapa kali sebelum kemudian masuk ke kamar mandi.
Tentu saja hal itu membuat Ganeeta seketika bergeming. Sesekali mengerjap pelan dan mencoba memahami kata demi kata yang tadi Faaz utarakan.
"Ha-id?" Ganeeta bermonolog, perlahan dia menunduk dan menyaksikan dengan mata kepalanya memang benar ada yang menetes di bawahnya.
"Eh? Kok?"
Seakan tak puas dengan bukti itu, Ganeeta menunduk dan memeriksa sendiri area sensitifnya. Benar saja, begitu sadar wajah Ganeeta seketika memerah.
Tak dapat dia bayangkan hendak bersikap bagaimana di hadapan Faaz nantinya. Hingga, begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka Ganeeta menginjak da-rah yang tadi menetes di lantai secepatnya.
"Heum? Kenapa masih di sini?" tanya Faaz mengerutkan dahi.
Berbeda dengan sebelumnya, lidah Ganeeta mendadak kelu lantaran malu, malu semalu-malunya. Otaknya juga seakan beku dan tidak bisa diajak berpikir jernih, padahal baru saja mandi dan keramas yang bersih.
"Ganeeta?"
"Ah? I-iya ... kenapa?" Dengan suara yang terdengar gemetar, Ganeeta gugup bukan main.
"Mas tanya kenapa masih di sini? Ganti bajunya kapan?"
"Ehm, nanti ... tiba-tiba banget kebelet ee', jadi sekalian saja," ucapnya beralasan.
"Ah begitu, ya sudah masuklah, Mas sudah selesai," tutur Faaz mempersilakan dan belum tergerak untuk berpindah dari posisinya.
Hal itu membuat Ganeeta terjebak dalam situasi yang rumit. Hendak mengusir pria di hadapannya itu tidak mungkin, tapi jika dia ke kamar mandi saat ini maka akan terlihat apa yang dia sembunyikan saat ini.
"Oh iya, mau shalat subuh di masjid, 'kan ya?" tanya Ganeeta antusias karena ada harapan Faaz angkat kaki dari hadapannya.
Tak sesuai harapan Ganeeta, pria itu menggeleng. "Hujan deras di luar, sepertinya subuh kali ini di rumah saja."
"Loh, kan ada payung."
"Oh iya? Dimana payungnya?"
"Di bawah banyak, Mas cari saja sendiri ... ada disusun di lemari dekat pintu masuk sebelah kiri," ucap Ganeeta semangat sekali menunjukkan dimana tempat penyimpanan payung dengan harapan Faaz akan beranjak segera.
"Baiklah, nanti Mas cari," timpal Faaz kemudian menjauh darinya.
Saat itulah, Ganeeta mulai mengambil tindakan dengan cara berjalan mundur untuk kembali ke kamar mandi. Tak lupa dengan menyeret kaki kirinya demi menutupi jejak, tapi tetap saja masih sedikit terlihat.
Dia berpikir, caranya berkamuflase demi menyembunyikan bukti agar tidak terlalu malu sudah begitu baik. Tak sedikitpun Ganeeta ketahui bahwa sejak tadi Faaz susah payah menahan tawa saking lucunya tingkah Ganeeta.
"Dasar, bagaimana mungkin bisa marah kalau kelakuannya begitu," gumam Faaz seraya menggelegeng pelan.
Meski dia memang agak tertekan dengan sikap Ganeeta yang kerap di luar dugaan, tapi ada saja hal unik di akhir sebagai penghapus segala lelahnya.
Sama seperti sikap Ganeeta semalam, senyuman dan ucapan terima kasih dalam keadaan terpejam membuat Faaz melupakan bibir asal ceplos Ganeeta yang menjulukinya orang-orangan sawah.
.
.
Kembali ke dalam kamar mandi, Ganeeta masih belum memiliki keberanian untuk menampakkan diri. Bahkan, sengaja dirinya menunggu azan berkumandang agar tidak lagi dipertemukan dengan sang suami.
Setelah dirasa aman, baru Ganeeta melangkah keluar dengan hati-hati. Tak ubahnya bak seorang pencuri, Ganeeta memastikan sekeliling sebelum melanjutkan misi.
"Aman, sepertinya memang sudah pergi ... dia ke masjid, 'kan?" Tak ada orang di sana, tapi Ganeeta bertanya tanpa mengharap jawaban dari pihak manapun tentu saja.
Bergegas Ganeeta mengenakan pakaian sebelum Faaz datang. Dia juga mendadak rajin dan bersiap untuk kuliah pagi ini.
Sampai-sampai, buku dan semua perlengkapan dia tata di dalam tas, padahal biasanya asal saja karena diburu waktu.
Berhubung pagi ini dia bangun lebih awal perkara salah sangka dan suudzon tingkat dewa, hidup si pemalas itu agak sedikit tertata.
"Perfect, sekarang tinggal make-up terus catok rambut," ucapnya kemudian menyibukkan diri di meja rias.
Berharap dengan cara ini, sewaktu Faaz datang rasa malunya sedikit tertutup dengan kesibukan.
Baru juga memulai, Faaz telah kembali dengan ditandai pintu yang kini dibuka pelan-pelan.
"Assalamualaikum ...."
Hanya Assalamualaikum yang Faaz ucapkan, tapi Ganeeta gugup setengah mati lantaran masih malu perkara yang tadi.
Alhasil, dia memilih untuk menjawab dalam hati dan berlagak seakan tidak mendengar karena fokus menata rambutnya.
"Assalamualaikum, Ganeeta Maheswari," ulang Faaz sekali lagi dan kali ini disertai dengan memanggil nama lengkapnya.
Tak ayal, wajah Ganeeta seketika memanas dengan jantung yang berdegup tak karu-karuan. Sadar jika kini Faaz semakin mendekat, dengan sangat terpaksa Ganeeta menjawab pada akhirnya.
"Wa-waalaikumussalam," jawab Ganeeta kemudian mengatupkan bibirnya.
"Nah gitu, kalau ada yang ucap salam harus dijawab karena dalam Islam ... hukum mengucapkan salam itu sunah sementara menjawab salam adalah wajib."
Mulai, sesuai dengan dugaan Ganeeta menjadi istri Faaz sama halnya dengan ikut kajian setiap saat.
Tanpa merespon lebih dulu, Ganeeta hanya menatap pantulan wajah tampan pria berbaju koko lengkap dengan peci dan sarungnya itu.
"Paham sampai sini?"
"Iya, Pak Ustadz, paham," sahut Ganeeta dengan nada mengejek disertai helaan napas kasar seraya membatin. "Masih pagi sudah ceramah, agak siangan dikit dipaksa berhijab kayaknya."
.
.
- To Be Continued -