Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERSIAPAN UJIAN
Hari itu, suasana di sekolah terasa agak berbeda. Semua orang terlihat lebih tegang dan fokus, karena ujian akhir semester sudah di depan mata. Dari pagi sampai sore, semua orang asyik mempersiapkan diri, saling berbagi catatan, dan mendiskusikan soal-soal yang kemungkinan keluar. Di tengah-tengah semua keramaian itu, aku harus tetap menjaga semangat meskipun hati ini masih terikat pada Bima.
Setiap kali mendengar suara bel berbunyi, rasanya kayak ada gelombang semangat baru yang menghampiri. “Oke, Megha! Ini saatnya buat fokus!” bisikku dalam hati. Tapi ya gitu deh, ketika aku melihat Bima di kelas, semua konsentrasi itu langsung melayang. Dia lagi-lagi duduk dengan buku di depan mata, fokus ke apa yang lagi dia baca. Kenapa sih dia selalu terlihat kayak orang yang serius banget? Kayaknya sih, kalau bisa, dia bakal melupakan semua hal tentang ujian demi bisa menghayal di dunianya sendiri.
Pelajaran hari itu berlangsung seperti biasa, tetapi setiap kali mata kami bertemu, hatiku berdegup kencang. Setelah pelajaran berakhir, aku dan Rina berencana untuk belajar bareng. “Meg, kita belajar yuk! Nggak mau kan, nilai kamu jelek?” Rina mengingatkan, sambil mengedipkan matanya. Dia selalu berusaha membuatku lebih bersemangat, dan aku benar-benar berterima kasih untuk itu.
“Bisa, bisa! Tapi kita cari tempat yang nyaman, ya,” jawabku sambil tersenyum. “Jangan di kantin, deh. Suasana di sana terlalu ramai!”
Setelah sepakat, kami memutuskan untuk belajar di taman sekolah. Tempatnya tenang, dan bisa bikin kami lebih fokus. Saat kami duduk, aku melihat Bima yang baru keluar dari kelas dan melangkah menuju taman. “Eh, Rina, itu Bima!” kataku, berusaha menyembunyikan rasa gugup. “Gimana kalau kita ngajak dia belajar bareng?”
Rina langsung menatapku, seolah-olah dia baru saja melihat hantu. “Are you serious? Dia mau ya? Tapi ya, kalau mau ngajak, mending langsung aja. Jangan setengah-setengah!” Rina berkata sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Oke, kita coba aja! Semoga dia mau,” jawabku dengan percaya diri yang dibuat-buat. Sementara itu, Bima sudah berada di dekat kami. Dia melihat ke arah kami dengan tatapan yang entah kenapa terasa dingin. “Bima!” panggilku, berusaha untuk tetap terlihat santai.
Dia menoleh, “Iya, ada apa?” suaranya tetap datar, tapi aku mencoba mengabaikan perasaan cemas yang menggerogoti hatiku.
“Gimana kalau kita belajar bareng? Rina sama aku udah siap nih, bisa lebih seru kalau ada kamu juga,” tawariku dengan penuh harapan.
Bima terdiam sejenak, tampak berpikir. “Gue lagi ada rencana sih,” katanya, tapi ada sedikit nada ragu di suaranya. Ya ampun, ada harapan nih, pikirku.
“Ayo dong! Kita butuh kamu, Bima! Lagi pula, ujian ini penting,” desakku dengan nada ceria. Rina langsung ikut menimpali. “Iya, Bima. Lagian kita semua butuh bantuan dari kamu. Kita yakin kamu pasti bisa!”
Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, Bima akhirnya mengangguk pelan. “Oke deh, gue ikut.” Hatiku melompat kegirangan! Akhirnya, dia mau! Kami pun mencari tempat yang lebih nyaman untuk belajar.
Setelah menemukan tempat yang pas, kami semua duduk melingkar. Rina dan aku sudah menyiapkan catatan, dan Bima langsung membuka buku pelajaran matematika yang menjadi fokus kami hari itu. “Oke, kita mulai dari soal yang paling sulit. Jadi, siapa yang mau menjelaskan duluan?” tanyaku, berusaha untuk mencairkan suasana.
Sebelum ada yang menjawab, Bima sudah mengambil alih pembicaraan. “Gue bisa mulai. Kita lihat soal nomor satu,” ujarnya dengan nada percaya diri. Aku mendengarkan, dan untuk pertama kalinya, aku merasa bangga ada di dekatnya. Ternyata, dia bukan hanya pinter, tetapi juga bisa menjelaskan dengan cara yang bikin gampang dimengerti.
Kami belajar hingga sore, dan saat jam menunjukkan pukul lima, aku merasa waktu berlalu begitu cepat. “Gila, kita udah belajar hampir tiga jam, ya!” Rina berkomentar sambil mengusap peluh di dahi. “Tapi, ini beneran asyik! Terima kasih, Bima!” sambungnya.
Bima cuma mengangguk sambil mengatur buku-bukunya. “Gue juga senang bisa bantu. Mungkin bisa jadi rutinitas baru,” ujarnya dengan senyuman kecil yang membuatku tertegun. “Eh, tunggu, dia senyum!” pikirku dalam hati. Suatu keberhasilan kecil yang bikin aku bahagia.
Setelah belajar, kami semua beranjak pulang. Di perjalanan, aku dan Rina tidak berhenti membahas tentang Bima. “Meg, kamu lihat kan? Dia jadi lebih santai dan terbuka! Ini langkah yang bagus!” Rina bersorak penuh semangat.
“Ya, semoga aja dia bakal lebih sering ikut. Aku pengen dia tahu seberapa pentingnya dia buatku,” jawabku dengan harapan yang tak pernah padam. Rina tersenyum. “Kamu udah mulai lebih berani, Meg. Lanjutkan! Jangan mundur!”
Beberapa hari ke depan, kami terus belajar bareng. Setiap kali bertemu, Bima terlihat lebih rileks dan mulai sedikit bercanda. Suatu hari, saat kami lagi serius-seriusnya belajar, Bima tiba-tiba berkata, “Gue punya ide. Gimana kalau kita bikin kuis kecil-kecilan? Siapa yang paling cepat jawab, dapat hadiah!”
“Hadiah? Apa hadiahnya?” tanyaku dengan penasaran. Rina juga terlihat antusias. “Kalau gue yang menang, aku mau dapat traktiran dari Bima!” seru Rina sambil tertawa.
Bima hanya tersenyum lebar. “Kalau gue yang menang, kalian harus nyanyiin lagu yang gue suka!” ujarnya sambil menunjukku dan Rina. “Satu, dua, tiga, mulai!” serunya.
Kami mulai dengan soal-soal yang Bima buat. Ternyata, Bima sangat kreatif dan tahu cara membuat soal yang menantang. Satu per satu, kami menjawab, dan suasana jadi semakin seru. Meskipun aku tidak menang, rasanya kami jadi semakin dekat, dan aku bisa melihat sisi lain dari Bima yang sebelumnya tidak aku lihat.
Hari ujian akhirnya tiba. Semua orang terlihat cemas, dan aku bisa merasakan tekanan di udara. “Meg, kita bisa, ya! Jangan sampai grogi!” Rina menepuk bahuku. “Ingat, kita udah belajar keras!” katanya dengan semangat.
“Ya, kita pasti bisa!” jawabku, meski hatiku masih berdebar. Begitu bel berbunyi, kami semua bergegas ke ruang ujian. Di dalam kelas, aku duduk di sebelah Bima. Rasanya campur aduk, antara senang dan takut. “Gue harap bisa melewati ujian ini tanpa masalah,” bisikku dalam hati.
Selama ujian berlangsung, aku berusaha untuk tetap fokus. Di tengah kekacauan pikiran, aku mencuri pandang ke Bima. Dia terlihat sangat serius, menulis jawaban dengan cepat. Aku merasa terinspirasi melihat ketekunannya. “Gue harus bisa seperti dia!” pikirku. Tak terasa waktu berlalu, dan bel tanda ujian selesai berbunyi.
Setelah ujian, semua orang tampak lega. Aku melirik ke arah Bima, yang sudah berdiri dan bersiap untuk pergi. “Bima! Kita udah selesai! Gimana perasaan kamu?” tanyaku.
“Gue rasa bisa, sih. Semoga hasilnya baik,” jawabnya dengan nada tenang. Rasanya ada harapan di balik kata-katanya. Semoga kali ini dia bisa melihat seberapa keras aku berusaha untuk dekat dengannya.
Setelah ujian, kami semua berencana untuk berkumpul di cafe dekat sekolah untuk merayakan. Rina dan teman-teman lain menyemangati untuk datang. “Yuk, kita merayakan keberhasilan ini! Makan enak, trus ngomongin soal-soal yang susah!” ajak Rina.
Setelah selesai, kami berangkat ke cafe. Di dalam cafe, suasana penuh tawa dan cerita seru. “Eh, Bima, ikut gabung, ya!” teriak Rina saat melihat Bima yang baru masuk.
“Gue… ya udah deh,” jawab Bima, terlihat sedikit ragu. Tapi aku senang dia mau bergabung. Kami memesan berbagai makanan, dan tidak lama kemudian, suasana semakin hangat. Tawa dan candaan menggema di seluruh ruangan.
“Gue nyesel nggak ambil foto bareng waktu ujian tadi!” Rina bercanda. “Kita harus ngadain foto reuni nanti