Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Dalam Kegelapan *3
Amara meletakkan tasnya dengan perlahan di meja, dan berjalan menuju ruang tengah. Di sana, Bima duduk di sofa, tampak tenggelam dalam pekerjaan di laptopnya. Sejak pagi, ia hanya melihat suaminya dalam kebisuan, merasa jarak di antara mereka semakin lebar.
“Bima…” suara Amara terdengar pelan, hampir ragu-ragu.
Bima mengangkat wajahnya, menatap Amara dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kamu pulang lebih cepat hari ini.” Suaranya datar, tanpa semangat yang biasa ia tunjukkan.
Amara merasakan ketegangan yang menjalar di tubuhnya. Ia bisa merasakan bahwa ini adalah saat yang tepat, meskipun hatinya berdebar-debar dan pikirannya berkecamuk. “Bima, kita perlu bicara.”
Bima mengerutkan kening, meletakkan laptopnya ke samping dan menyandarkan tubuhnya di sofa. “Tentang apa?”
Amara menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Aku merasa ada yang berbeda antara kita. Aku tidak tahu mulai dari mana, tapi aku merasa seperti kita semakin jauh.”
Bima terdiam sejenak, seolah mencari-cari apa yang harus dikatakan. Amara bisa merasakan ketegangan itu—Bima jelas tidak siap untuk menghadapi percakapan ini. Akhirnya, Bima berbicara dengan suara yang lebih lembut, meskipun ada nada yang sedikit tertekan. “Aku juga merasa itu. Tapi, Mara, ini bukan tentang kamu atau aku. Ada banyak hal yang sedang aku pikirkan.”
Amara terdiam, memandangi suaminya yang tampak berbeda. Ada sesuatu dalam tatapannya yang tidak bisa ia baca. “Apa maksudmu, Bima?” tanyanya pelan, hampir seperti sebuah bisikan. “Apa yang sebenarnya sedang kamu pikirkan?”
Bima menghela napas, seolah merasa beban berat ada di pundaknya. “Aku hanya... aku hanya merasa terjebak, Amara. Terjebak dalam rutinitas yang semakin lama semakin mengikis apa yang dulu kita miliki. Aku tidak ingin ini terjadi, tapi aku merasa seperti aku kehilangan arah.”
Amara merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sebelumnya, Bima selalu menjadi pilar yang kuat, pria yang selalu tampak memegang kendali atas segala hal. Kini, ia berbicara dengan kebingungan dan kesedihan yang Amara belum pernah lihat sebelumnya.
“Aku tidak mengerti, Bima. Kenapa kamu tidak memberitahuku lebih awal?” Amara hampir menangis, suaranya tercekat. “Kenapa kamu membiarkan semuanya berjalan seperti ini, tanpa memberitahuku apa yang sebenarnya kamu rasakan?”
Bima menundukkan kepala, tidak bisa menatap mata Amara. “Aku takut, Mara. Aku takut kalau aku bilang, itu akan membuat segalanya lebih buruk.”
Amara merasa ada hal yang tak terungkapkan dalam kata-kata Bima. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebingungannya. “Lebih buruk seperti apa, Bima? Apa kamu sedang berpikir untuk pergi dari aku?”
Bima terdiam lama, dan Amara bisa merasakan bagaimana kata-kata itu tergantung di udara, tak terucapkan. “Aku tidak tahu, Amara. Aku tidak tahu.” jawabnya akhirnya, suaranya penuh dengan keraguan.
Amara merasa seperti tubuhnya melayang, hatinya terasa sakit sekali. Bima tidak tahu? Jadi, apa yang selama ini mereka jalani? Apa artinya semua kenangan indah mereka bersama jika pada akhirnya Bima bahkan tidak tahu apa yang ia inginkan?
“Apa ada seseorang lain, Bima?” tanya Amara dengan suara bergetar, meskipun ia sudah menahan diri sekuat mungkin.
Bima terkejut mendengar pertanyaan itu. “Tidak, Mara. Tidak ada orang lain. Aku hanya...” ia berhenti sejenak, seolah tidak tahu harus melanjutkan dengan apa. “Aku hanya merasa kebingungan.”
Amara merasa dadanya sesak. Kebingungan. Itu adalah alasan yang ia dengar. Lalu bagaimana dengan perasaan mereka? Bagaimana dengan janji-janji yang pernah mereka buat? Bagaimana dengan cinta yang pernah mereka rasakan?
“Kita sudah terlalu lama bersama untuk seperti ini, Bima. Kita sudah berjuang melewati begitu banyak hal bersama. Kenapa sekarang kita harus terjebak dalam kebingungan ini?” Amara hampir menangis. “Aku tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian, Bima.”
Bima terdiam, tampak benar-benar hilang dalam pikirannya. Ada sesuatu yang tertahan di dalam dirinya, dan Amara merasa itu adalah alasan yang jauh lebih besar dari sekadar kebingungan.
Akhirnya, Bima berdiri dan berjalan ke jendela, menatap keluar dengan ekspresi kosong. “Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan aku, Amara. Aku merasa seperti semuanya berubah, dan aku... aku tidak bisa menghadapinya sendirian.”
Amara merasa seolah dunia runtuh di sekelilingnya. Bima tidak bisa menghadapinya sendirian? Lalu, dia berharap Amara bisa seperti apa? Mereka sudah bertahun-tahun bersama, namun kini Bima mengatakannya dengan begitu lemah.
Dengan langkah terseok, Amara mendekat, berdiri di belakangnya, mencoba untuk mencari pegangan dalam lautan kebingungannya sendiri. “Kamu tidak sendirian, Bima. Aku di sini, kita bisa melaluinya bersama. Tapi kamu harus jujur pada aku, kamu harus memberitahuku apa yang sebenarnya terjadi.”
Bima terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbalik, dan menatap Amara dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Aku... aku tidak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu, Amara. Aku ingin kita bisa, tapi aku juga takut.”
Amara merasa seperti ada lubang besar dalam hatinya, dan sepertinya tidak ada yang bisa mengisinya. Cinta mereka, yang dulu begitu kuat, kini terasa seperti bayangan yang memudar. Dan, dalam hati Amara, ia tahu ada lebih banyak hal yang tidak diungkapkan, hal-hal yang Bima takutkan, dan hal-hal yang belum ia pahami.
Namun, satu hal yang pasti: Amara tidak bisa terus menunggu. Ia harus membuat keputusan.