Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Di dalam pesawat Riana menangis tersedu-sedu. Ia menyesal telah menebak Vano, ia telah kehilangan semuanya sekarang. Keluarga yang begitu ia dambakan. Ia tidak bodoh, ia bisa merasakan sikap ayah angkatnya yang juga semakin dingin. pria itu pasti membencinya. Hatinya begitu sedih.
"Aku menyesal, harusnya aku tidak melakukan itu pa, ma. Aku menyesal." Riana akan pergi sejauh mungkin dan mungkin tidak akan kembali. Ia akan melupakan Vano dan semua yang ada di Indonesia.
"Semoga mama dan papa selalu bahagia. Hiks, aku akan merindukan kalian."
Riana menangis sampai rasanya sulit hanya untuk bernafas, seorang pramugari memberikan sapu tangannya dan menanyakan kondisinya.
"Saya tidak apa-apa."
***
"Yuna! kau mandi apa semedi hah! aku juga mau mandi!" Hilang sudah kesabaran Vano. Sudah satu jam setengah lebih ia menunggu. Bahkan ia juga sudah selesai mengepak beberapa pakaian mereka ke dalam. koper untuk perjalanan 3 hari ke depan. Namun wanita pendek itu belum juga membersihkan diri.
Di dalam kamar mandi Yuna menggerutu kesal. Wanita itu memang terbiasa membutuhkan waktu lama membersihkan diri.
"Iya sabar dong!"
"Hei satu jam setengah Yuna! Kau tidak tau tagihan air itu mahal ya."
"Iya sabar!"
"Sabar! sabar! cepat!"
Ceklek
"Dasar perhitungan!"
Yuna menyenggol tubuh Vano sedangkan pria itu hanya menghela napas dan mandi setelahnya. Yuna mengeringkan rambutnya dengan hairdriyer kemudian lekas berpakaian. Setelah di pikir-pikir tidak ada gunanya ia sedih terus menerus, lebih baik ia gunakan waktunya untuk membalas dendam Vano. Seperti menguras uang pria itu pasti menyenangkan.
Yuna mengambil dress selutut dan memakainya. Ia juga menata rambut panjangnya yang jika biasanya di sanggul kali ini ia biarkan terurai dengan sedikit dibuat bergelombang. "Perfect."
Yuna melirik tiket honeymoon mereka, ke Hawai ys. Boleh juga ini pertama kalinya ia berpergian keluar negeri, seperti nya akan menyenangkan.
Yuna melangkah hendak menyiapkan keperluan ya namun ternyata sudah di siapkan oleh suaminya.
"Dasar caper! aku tidak tersentuh sama sekali."
Ia memilih ke dapur membuat sarapan untuknya dirinya sendiri. Yuna hanya makan selembar roti dan segelas susu, tidak terbiasa makan berat jika di pagi hari.
"Hei Yuna mana sarapanku? aku juga lapar." Vano duduk dan meminta makanan pada istrinya.
"Tidak ada." jawab Yuna singkat, jangan lupa tatapan datarnya yang begitu menyebalkan.
"Dasar kau ini, untung aku orang yang sabar dan baik hati." Vano berdiri melangkah ke dapur dan inisiatif masak. Ia terbiasa makan nasi jadi rasanya ada yang kurang kalau pagi-pagi tidak sarapan. Apalagi ibunya selalu masak sendiri selama ini.
"Apa ini, katanya wanita itu lembut seperti mama, papa seperti nya sudah tertipu. hah, tapi mau bagaimanapun kami sudah menikah. Aku harus sabar, mungkin aku akan masuk surga tanpa hisab di akhirat nanti dan mungkin Yuna memang sedang tidak ingin masak." monolog Vano sambil mencuci beras. Vano lumayan bisa memasak karena pernah tinggal sendiri saat kuliah dulu.
Yuna memperhatikan Vano dari belakang setelahnya memilih kembali ke kamar dan bermain ponsel. Misi nya adalah membuat Vano mengeluarkan sikap aslinya dan berhenti berpura-pura baik. Ia tau betul pria itu pemarah dan tidak sabaran. Tunggu saja berapa hari pria itu pasti berapa hari pria itu tahan dengan nya.
Setengah jam berkutat di dapur akhirnya nasi goreng sederhana ala Vano matang juga. Pria itu memindahkan ke piring dan melangkah menuju meja makan namun wanita itu sudah tidak ada. ia makan terlebih dulu kemudian hendak mencari istrinya.
"Yuna!"
Tidak ada jawaban, Vano melangkah ke kamar dan membawa nasi goreng lalu duduk di sebelah istrinya yang asik dengan gadget.
"Buka mulutnya..."
"Tidak mau!"
"Makan dulu, kita mau perjalanan jauh."
"Tidak usah."
"Makan atau aku cium?"
"Jangan lancang yah Tuan!"
"Tuan- Tuan! aku suamimu sekarang dan jangan bicara dengan nada tinggi!" titah Vano tegas.
"Nada tinggi? sedang membicarakan diri sendiri ya tuan?" sindir Yuna pada Vano mengingat selama ini pria itu selalu saja marah-marah dan membentaknya sesuka hati.
"Ya... aku juga sedang berusaha berubah Yuna. Ayo makan dan buka mulut mu!"
"Tidak mau."
"Jadi mau pakai cara lain? oke dengan senang hati." Vano memasukan nasi goreng ke mulutnya lalu memiringkan wajahnya berusaha menjangkau bibir Yuna.
"Jangan! hih apa sih! dasar pemaksa! sini saya bisa makan sendiri!" pada akhirnya Yuna mengambil piring di tangan Vano dan memakan nasi goreng buatan suaminya itu dengan cepat.
"Begini kan mudah. Kau sengaja ya mau aku cium?"
"Apasih."
"Bilang saja tidak usah gengsi."
"Nggak ya!"
"Cih! dasar."
Vano terkekeh senang rasanya menjaili wanita pendek itu, ia memperhatikan cara Yuna makan yang sudah seperti tidak makan satu minggu.
"Enak sekali sampai berantakan begini." Vani mengambil sebutin nasi di ujung bibir Yuna membuat gadis itu mendelik.
"Vano!"
"Jangan berteriak bisa tidak sih. Aku belum budeg!"
"Saya sudah bilang anda jauh-jauh."
"Aku tidak mau Yuna. Ingat kan kita sudah menikah."
"Tapi -"
"Sudah jangan banyak protes dan makan sampai habis!" Yuma cemberut, wanita itu memasukan makanan ke mulutnya dengan brutal kali ini.
"Enak kan?"
"Enak? asin yang ada Tuan!"
"Hei mana ada." Vano tidak terima istrinya menghina hasil masakan nya.
"Saya makan karena tidak ingin mubazir. Jadi kapan kita berangkat?" lebih baik drama ini segera di selesaikan jika tidak mau semakin panjang.
"Setelah ini ayo." selesai sarapan mereka langsung bersiap-siap dan melaju menuju bandara.
Yuna duduk dengan tenang di kursinya.
"Jika butuh sesuatu bangunkan aku."
"Hm." terlalu pusing memikirkan banyak hal Vano memutuskan menutup matanya saja. Yuna meletakkan majalah di tangannya menatap pria di sampingnya tidak menyangka sama sekali ia akan menikahi Tuan muda arogan. Takdir apa ini Tuhan?"
Yuna menatap awan-awan yang menggumpal dari jendela merasa sedikit tenang lalu lama-lama kantuk datang dan ia tertidur juga.
***
"Sayang kamu nggak capek nangis terus?"
"Sedih Mas."
"Aku tau tapikan mau bagaimana lagi."
"Hiks... kenapa sih harus di luar negeri, emang di sini gak ada perusahaan bagus apa!" Wita masih merasa tidak rela harus berjauhan dengan Riana, rumahnya makin terasa sepi apalagi sejak Vano dan Vani sudah tinggal di rumah mereka masing-masing. Ia juga tidak mengerti kenapa Stevani memutuskan tinggal sendiri.
"Vani juga mas, aku kok ngerasa ada yang di sembunyikan dari aku!" memang tidak ada yang memberitahu Wita kalau dalang di balik kejadian Vano yang meniduri Yuna adalah Riana, itu permintaan Vano mengingat ibunya begitu menyanyangi gadis itu, ia tidak mau ibunya kecewa apalagi selama ini ibunya begitu bangga pada Riana sampai dulu pernah ia dan Vani cemburu karna ibu mereka yang rasa - rasanya lebih menyanyangi gadis itu di banding mereka.
"Nggak ada sayang, kamu mau mampir kemana dulu ga? mumpung di luar?" tawar Wira agar mood istrinya membaik.
"Mau pulang aja mas."
"Yakin? jarang-jarang loh kita keluar begini."
"Nggak usah."
"Udah dong sayang, masa cemberut mulu. Nanti cantiknya ilang loh."
"Apa sih mas!" Wira merangkul Wita menyandarkan kepala wanita itu pada dada nya yang bidang, sesampainya di rumah ternyata ada Vani yang asik duduk di ruang tamu.
"Ma."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...