Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat ternyaman
"Sabar ya, Za... Semoga lu bisa sukses dan membuat Ibu bangga." Khaifa mengusap punggung Zanya yang terisak setelah menceritakan bahwa paman dan neneknya selama ini membuatnya harus membayar hutang yang sebenarnya hutang pamannya.
"Pantesan aja, Fa, Ibu sakit sampe kurus kering, ternyata keluarganya toxic!" Zanya masih terisak.
Khaifa adalah teman sekolah Zanya semasa SMA, mereka melanjutkan persahabatan mereka walau berbeda fakultas saat kuliah. Khaifa masuk fakultas kedokteran, sementara Zanya mengambil jurusan teknik informatika. Mereka sudah seperti saudara, Zanya pun sudah akrab dengan keluarga Khaifa.
Bersahabat dengan Khaifa membuat Zanya seperti memiliki kakak, adik, dan juga orangtua. Kedua orangtua Khaifa kerap memberinya petuah-petuah serta nasehat yang membangun. Zanya semangat mengejar karirnya pun karena dukungan dari keluarga ini.
Pintu kamar dibuka dari luar secara tiba-tiba, muncullah Yoza, adik khaifa yang masih SMA.
"Kebiasaan! Ketok dulu kalo mau masuk! Gimana kalau Cece lagi ganti baju? Dasar mesum!" teriak Khaifa sambil melempar boneka.
"Eh, ada kak Zanya, hehehe... Maaf, Yoza Lupa, Ce...!" Jawab Yoza sambil memungut boneka yang Khaifa lempar. "Ce, besok ajarin nyetir ya!" pinta Yoza.
"Gak bisa! Cece mau bantuin Zanya pindahan." Jawab Khaifa.
Yoza menatap Zanya. "Pindah kemana, Kak?" Tanyanya.
"Ke tempat tinggal yang baru, Kakak dapet tempat tinggal dari kantor." Jawab Zanya.
"Di mana tuh?" Tanya Yoza sambil melihat-lihat isi meja rias Khaifa.
"Di Great Building." Jawab Zanya.
Yoza menoleh dan terbelalak."Wow! Keren! Yoza ikut ya, Kak!" Pinta Yoza dengan mata berbinar.
"Gak boleh! Tempat tinggal Zanya itu ekslusif, nanti lu berisik, akhirnya Zanya di usir." Jawab Khaifa ketus.
"ih,Yoza kan minta ikut sama Kak Zanya. Boleh ya, Kak... Please...!" Pinta Yoza penuh harap.
"Iya, boleh kok. Nanti Yoza bantu angkut barang ya." Ujar Zanya.
Zanya tak tega menolaknya, Yoza termasuk remaja yang baik, ia selalu hormat kepada yang lebih tua. Zanya sudah mengenalnya sejak ia kecil, dan Zanya menganggapnya seperti adik kandung.
"Tuh kan, boleh! Weee...!" Yoza menjulurkan lidah kepada Khaifa.
"Ayo! Kita makan bareng." Bu Alya, Mama Khaifa muncul di pintu.
"Zanya, Ayo!" Khaifa mengajak Zanya.
"Ayo, Za! Kita makan bareng biar rame, mumpung ada papa juga!" Timpal Bu Alya. Papa Khaifa adalah seorang dokter, sehingga jarang di rumah, waktunya lebih banyak dihabiskan di klinik miliknya. Dan kini Khaifa pun praktek di klinik milik papanya itu.
Mereka pun berjalan ke ruang makan, dan langsung menuju meja makan yang sudah penuh dengan hidangan makan malam.
"Mama masak rendang? Asyiiik!" Seru Yoza.
"Cuci tangan dulu sana!" titah Bu Alya sambil mengambilkan nasi untuk Pak Wahyu, suaminya.
Zanya sudah dianggap keluarga oleh orangtua Khaifa. Saat Ibu Zanya sakit kanker, Mama khaifa rajin mengirim makanan sehat khusus untuk Ibu Zanya. Sampai sekarang pun, setiap kali berkunjung kemari, Zanya akan dibekali makanan untuk Zanya bawa pulang ke kost nya.
"Ma, Semenjak nikah, Kak Kania jarang datang kesini ya?" Tanya Zanya.
"Gitu lah kalo udah nikah, Za. Gak bisa lagi leluasa datang ke rumah orangtua tanpa seizin suami. Kita sebagai keluarga juga gak boleh menuntut dia untuk terus-terusan kemari, karena dia juga udah punya keluarga sendiri." Jawab Bu Alya.
"Mama, rendangnya asin!" Celetuk Khaifa.
"Tinggal dibanyakin aja nasinya, Fa! Enak tau." Ujar Zanya.
"Cece, Contoh tu Zanya, itu namanya selalu bersyukur. Makanan asin juga dinikmati." Ujar Pak Wahyu.
"Saranghae Zanya!" Ujar Bu Alya sambil membuat tanda hati dengan kedua tangannya.
"Saranghae Mama!" Balas Zanya sambil tertawa.
Zanya menikmati masakan rumahan itu dengan gembira. Walaupun anak-anak Bu Alya sering mengatakan masakan mama mereka terlalu asin atau terlalu manis, namun inilah masakan ternikmat bagi Zanya. Dulu ia tidak pernah bisa makan dengan leluasa saat tinggal di rumah neneknya, jangankan makan rendang, ayam atau makanan mahal lainnya, makan telur ceplok saja, ia sudah mendapat lirikan sinis dari sang bibi. Namun, setiap kali Zanya berkunjung ke rumah Khaifa, Bu Alya selalu memberinya makanan untuk dibawa pulang, dan Zanya makan diam-diam di kamarnya. Itulah sebabnya masakan Bu Alya menjadi makanan favoritnya, karena ia seperti mendapat hiburan dari masakan Bu Alya di tengah-tengah hidupnya yang berat.
"Besok kalau mau pulang, Zanya bungkus rendangnya ya!" titah Bu Alya.
"oh iya Ma, besok dia pindah ke apartemen loh!" Khaifa memberi tahu mamanya.
"Apartemen mana? Punya siapa?" Tanya Bu Alya.
"Fasilitas kantor, Ma." Jawab Zanya.
"Waah... Hebat banget kantornya, ngasih fasilitas tempat tinggal juga." Ujar Pak Wahyu.
"Alhamdulillah, Pa." Jawab Zanya.
"Ingat ya, Za. Jaga diri baik-baik di mana pun kita berada." Pak Wahyu menasehati.
"Iya, Pa, siap!" Jawab Zanya.
"Besok Yoza dan Cece ikut ke apartemennya Kak Zanya, Pa." Ujar Yoza bangga.
"Bagus! Yoza kan cowok, kamu jagain mereka, gantiin Papa." Ujar Pak Wahyu.
"Siap, Komandan!" Yoza mengangkat tangannya ke kepala, seolah benar-benar memberi hormat kepada komandan.
***
"Keren banget view nya kak!" Seru Yoza girang.
"Wah, harus selfie dulu nih!" Ujarnya sambil mengeluarkan ponselnya dan mulai mengambil gambar dirinya dengan pemandangan di jendela ruang tengah tempat tinggal Zanya.
"Kan, norak kan...!" Ujar Khaifa.
"Ce, fotoin, Ce!" Yoza menyerahkan ponselnya kepada Khaifa, dan mulai berpose.
Dengan terpaksa Khaifa memotret adiknya itu beberapa kali. "Udah ah! Ih ribet Lu!" Gerutunya ketika Yoza memprotes hasil potretannya.
Zanya membuka pintu kamar, dan memasukkan koper serta barang lainnya. Yoza tiba-tiba berlari masuk dan langsung menghempaskan tubuhnya di kasur.
"Woooo...! Kasurnya empuk banget! Pasti mahal nih!" Seru remaja itu.
Khaifa langsung menarik baju adiknya. "Ini kamar cewek, keluar gak!"
"Sebentar aja loh, Ce! Pelit banget sih!" Protes Yoza.
Zanya hanya tertawa melihat kelakuan kakak beradik itu, dalam hatinya ia sangat iri kepada mereka. Walau sering adu mulut dan berdebat, tapi mereka saling menyayangi, saling menjaga, dan selalu berbagi suka dan duka. Sedangkan dirinya? Ia selalu kesepian, tidak punya tempat pulang, tidak punya tempat ternyaman. Jika tidak bersahabat dengan Khaifa, mungkin Zanya sudah menyerah pada hidupnya.
***
Waktu menunjukkan pukul 23:00, Zanya baru selesai menyusun semua barangnya. Ia sangat semangat melakukannya hingga lupa waktu. Zanya meregangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal. Tiba-tiba Zanya merasa perut bagian bawahnya terasa sangat sakit, ini pasti karena ia makan makanan pedas bersama Yoza dan Khaifa tadi sore. Zanya meringis sambil memegang perutnya, lalu ia berlari ke kamar mandi.
Setelah buang air beberapa kali, Zanya masih merasa perutnya sakit. Ia pun meraih ponselnya, menekan nomor Khaifa dan menekan tombol panggil.
"Assalamualaikum?" Khaifa mengucap salam dari seberang telepon.
"Wa'alaikumsalam..." Jawab Zanya lemah.
"Za, lu kenapa?" Tanya Khaifa khawatir.
"Fa, gue diare...! Kayaknya gara-gara seblak tadi sore..." Jawab Zanya.
"Gue kesana sekarang ya!" Ujar Khaifa.
"Gak perlu, Fa. Udah tengah malem. Gue cuma mau minta saran obat apa yang harus gue minum." Ujar Zanya. Selain tidak mau membahayakan sahabatnya, Zanya pun belum mendapat izin membawa orang lain menginap di wisma.
"Oke! Keluhannya apa aja? Jelasin detail ya!" Titah Khaifa.
Di dalam kotak obatnya, Zanya memiliki obat-obatan yang lengkap. Khaifa selalu memberinya secara gratis jika Zanya sakit. Karena itu, setiap sakit, Zanya hanya perlu menelepon untuk meminta saran obat yang harus ia minum.
"Periksa dulu, tanggal expired nya masih lama gak? Kalau udah expired, buang aja, nanti gue anterin yang baru." Ujar Khaifa setelah ia memberitahu Zanya obat apa yang harus diminum.
"Masih lama kok..." Jawab Zanya.
"Oke, cepat minum obatnya, jangan lupa minum air putih yang banyak, biar gak dehidrasi." Titah Khaifa.
"Siap, Dok!" Zanya berkelakar sambil menahan sakit di perutnya.
"Lagi sakit, sempat-sempatnya bercanda!" Gerutu Khaifa.
"Inget ya, kabar-kabarin gue! Jangan sampai lu kehabisan cairan!" Titah Khaifa lagi.
"Oke! Gue mau minum obat, minum air, terus istirahat." Ujar Zanya.
Telepon pun berakhir setelah Zanya berhasil meyakinkan Khaifa bahwa ia sudah baik-baik saja. Ia memang sudah tidak lagi buang air, tinggal rasa sakitnya saja, itu pun mulai berangsur hilang. Zanya pun tertidur pada pukul 01:30.
Dengan malas Zanya membuka matanya yang masih terasa berat, ia meraih ponselnya dan menyalakannya, dilihatnya jam di ponselnya menunjukkan pukul 07:45. Zanya tersentak, ia terlambat! Hari Sabtu kemarin Dwi berkata, ia harus sudah tiba di kantor CEO pukul 07:30, karena hari senin Pak Marlon datang ke kantor lebih pagi dari biasanya.