Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tangis Perempuan
Suara tangis perempuan bergema memecah kesunyian. Semilir angin meniup tengkuk Andre, membuatnya bergidik memegangi bagian belakang leher dengan bulu-bulu halus yang berdiri. Andre sedikit melompat ke belakang Tabah. Menutupi tubuhnya di balik badan tambun polisi yang dipanggilnya Pak Dhe itu.
"Suara manusia apa demit Pak Dhe?" tanya Andre masih memegangi tengkuknya.
"Kamu itu kan yang pakek kalung akik. Bukannya kamu percaya batu itu bisa menangkal hal buruk. Kenapa malah terlihat paling takut sih?" gerutu Tabah. Sebenarnya Tabah sama takutnya dengan Andre. Tapi sebagai orang yang lebih tua dia tidak mau terlihat memalukan.
Hanya Wariman yang tampak tenang. Matanya menatap tajam pada bangunan villa. Suara tangisan menghilang, tak lagi terdengar.
"Pak Man, gimana nih?" tanya Andre setengah berbisik.
"Ya kita periksa lah. Tujuan kita datang kemari kan memang untuk memeriksa villa ini," jawab Wariman penuh keyakinan. Andre menelan ludah. Belum sempat dia membuka mulut, Wariman sudah mengayun langkah.
"Aku tak nunggu di mobil ya Pak Dhe," ucap Andre. Namun tangannya digandeng dan ditarik oleh Tabah. Mereka menyusul Wariman.
"Halah. Pegang akikmu, kita masuk ke dalam," sahut Tabah sok berani.
Tiga petugas kepolisian itu berjalan mengendap-endap menyusuri teras depan villa. Beberapa bagian lantainya tampak retak. Meski kotor, Andre dapat menerka jika lantai villa itu berharga mahal. Marmer putih yang mungkin saja mengkilap cerah jika dirawat dan dipoles.
Di hadapan Andre terdapat pintu dari kayu jati yang ambruk. Membuat villa itu terbuka, menganga. Namun bagian dalam tak terlihat saking gelapnya. Beberapa bagian kaca jendela tampak pecah. Seperti bekas dilempari bebatuan.
"Kenapa villa nya rusak begini sih?" tanya Andre berbisik.
"Ya kan lama nggak dihuni," sahut Tabah ketus.
Wariman diam saja. Matanya nyalang memandangi bangunan villa. Tabah menyadari keanehan gelagat Wariman.
"Ada apa Pak Man? Ikut-ikutan kayak Andre kehilangan nyali?" tanya Tabah mengejek.
Sudut bibir Wariman tampak mengulas senyum sebentar. Laki-laki sepuh itu menghela napas, kemudian kembali mengayun langkah.
"Mau kemana Pak Man?" sergah Andre.
Wariman hanya menggeleng pelan, tampak enggan menanggapi pertanyaan Andre. Pada akhirnya Wariman melangkah masuk ke dalam bangunan villa terlebih dahulu. Disusul oleh Tabah. Dan terakhir Andre yang kali ini menggenggam erat liontin akiknya.
Bagian dalam villa beraroma lumut yang langu. Dinding dengan cat warna krem penuh dengan lumut dan beberapa bagian mengelupas cukup parah. Di bagian tengah terdapat kursi sofa besar yang diselimuti plastik agar terhindar dari debu. Sementara di sudut ruangan terdapat meja yang digunakan untuk meletakkan mesin ketik lawas dan perangkat telpon. Semua benda itu penuh dengan debu tebal dan hitam. Malah lebih mirip jelaga bekas pembakaran dibandingkan debu.
Andre menghidupkan senter. Dia berdiri mengamati telpon yang tergeletak di atas meja. Tabah mengusap-usap sofa, mengira-ngira berapa harga benda yang terlihat kuno tapi mewah tersebut. Sementara Wariman hanya berdiri mematung memandangi lukisan besar perempuan berpakaian pengantin jawa yang terletak tepat di bagian tengah dinding ruangan.
"Apa mungkin telpon ini yang digunakan untuk menghubungi kantor?" tanya Andre. Suaranya terdengar bergema meski dia berucap lirih.
"Bodho. Mana mungkin bisa digunakan? Lagipula jika benda itu baru dipakai seharusnya tidak ada debu dan jaring laba-laba yang menempel. Bukankah sudah jelas, telpon itu tidak pernah disentuh bahkan mungkin selama bertahun-tahun," sergah Tabah. Andre manggut-manggut. Bagaimanapun Tabah lebih senior dari Andre, tentu sudah sarat akan pengalaman.
"Karena pertanyaanmu barusan aku juga jadi tersadar. Jejak kaki di lantai." Tabah mengarahkan senter pada lantai di sekitarnya. Andre ikut memperhatikan.
"Kenapa Pak Dhe?" tanya Andre tak mengerti.
"Hanya ada jejak kaki kita di atas lantai berdebu ini. Padahal tadi terdengar jelas suara tangis perempuan. Kalau benar tangisan itu dari bagian dalam villa, berarti perempuan itu tidak masuk melalui pintu depan," jelas Tabah.
"Atau jangan-jangan kaki perempuan itu tidak napak lantai Pak Dhe. Perempuan itu melayang," sahut Andre melotot. Lehernya terasa membesar. Bulu-bulu halus di tengkuk berdiri tegak.
"Congormu!" bentak Tabah.
Tiba-tiba kembali terdengar suara tangis yang bergema. Tangis pilu dengan tarikan napas yang berat. Andre kembali melompat ke belakang Tabah. Wariman menoleh meletakkan telunjuk di depan bibir. Untuk beberapa saat semua orang terdiam mendengarkan dengan seksama.
Keringat dingin mengalir di pelipis Andre. Bagian ketiaknya pun terasa basah. Jelas ketakutan membuat kelenjar keringatnya bekerja berlebih meski tengah berada di wilayah dengan udara yang sejuk.
"Suara itu memantul, bergema dan bergaung karena bangunan yang luas," bisik Tabah menelan ludah.
"Ada beberapa ruangan dan kamar di villa ini. Sulit memastikan darimana asal suara jika tidak memeriksanya satu persatu," sambung Wariman.
Suara tangis lenyap. Suasana kembali hening dan senyap. Guntur di luar beberapa kali masih terdengar.
"Sebaiknya kita berpencar," usul Wariman.
"Ngawur Pak Man! Ogah!" sergah Andre menolak usul Wariman.
"Lebih cepat lebih baik. Kita harus segera kembali ke kantor sebelum hujan turun. Kalau sampai keduluan datangnya hujan, aku tidak bisa menjamin kita bisa kembali ke kantor. Kamu sudah lihat sendiri kan bagaimana terjalnya jalanan ke tempat ini? Salah sedikit saja, pick up bisa tergelincir." Wariman melotot ke arah Andre. Polisi tua itu jarang terlihat kesal ataupun marah. Namun kali ini sepertinya dia kehilangan kesabarannya.
"Begini saja, kita kan bertiga. Dan aku setuju dengan usulan Pak Wariman," sambung Tabah berusaha menengahi. Andre menggeleng pelan.
"Dua lawan satu Ndre. Keputusan terbanyak harus dipatuhi," lanjut Tabah memberi penekanan pada ucapannya.
"Tapi Pak Dhe, gimana kalau suara itu makhluk jadi-jadian? Kita bisa mati konyol disini," bantah Andre.
"Gunakan logikamu! Kita berpencar dan segera memeriksa seluruh ruangan. Kalau ada yang menemukan sesuatu segera berteriak," perintah Tabah.
"Aku setuju. Aku ke ruangan sebelah kiri. Kita harus cepat, sebelum hujan turun," sambung Wariman melangkah pergi. Tubuh polisi tua itu dalam sekejap hilang di balik pekatnya kegelapan. Tabah hendak melangkah, tapi lengannya ditarik Andre.
"Setelah hari ini aku bersumpah akan mengajukan mutasi Pak Dhe!" ancam Andre. Tabah mengibaskan tangan, melepaskan cengkeraman Andre.
"Sudah berulang kali kamu mengatakannya Ndre. Dari kemarin-kemarin kamu juga ngomong begitu. Mengeluh lingkungan kerjamu terlalu berisik soal dirimu yang belum juga menikah. Lalu di saat seperti ini kamu mengungkitnya lagi. Sejujurnya kukatakan ya Ndre, kamu pengecut. Dan sifat pengecut itu juga lah yang membuat kamu tidak berani mengambil langkah untuk menikah," gerutu Tabah dengan wajah datar.
Tabah melangkah pergi mengambil jalur ke kanan. Andre masih berdiam di tempatnya berdiri.
"Dasar om-om sialan. Aku tahu mereka juga sama takutnya denganku. Tapi berusaha sok berani di depan junior sepertiku," gumam Andre menggerutu sendirian.
Andre menarik napas dalam-dalam. Dia menoleh keluar, melihat langit hitam yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkan ribuan kubik air hujan. Pada akhirnya dia menyalakan senternya dan melangkah masuk dalam kegelapan.