Seira, 25 tahun, istri dari seorang saudagar beras harus menerima kenyataan pahit. Dikhianati suami disaat ia membawa kabar baik tentang kehamilannya. Zafran, sang suami berselingkuh dengan temannya yang ia beri pekerjaan sebagai sekretaris di gudang beras milik mereka.
Bagaimana Seira mampu menghadapi semua ujian itu? Akankah dia bertahan, ataukah memilih pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
"Woy, tunggu! Itu koper nggak kamu bawa! Mau aku buang, hah!" teriak Lita sambil menendang koper milik Seira hingga jatuh dari teras.
Namun, bukannya berhenti, mereka terus melanjutkan langkah. Mang Udin tergopoh-gopoh hendak mengambilnya, tapi ucapan Seira menghentikan.
"Nggak usah, Mang. Itu bukan punya aku, semua itu dibeli pake uang Mas Zafran. Biarin aja, aku nggak mau ambil."
Bagai gemuruh guntur yang memekakkan telinga, kalimat sarkas Seira amat menohok hati Zafran. Akan tetapi, tidak bagi Ibu dan Lita. Perempuan itu tahu, semua pakaian milik Seira dibelinya dari butik ternama. Hatinya riang gembira, ia mengulum senyum menahan kegembiraan yang luar biasa membuncah.
"Sei-"
Panggilan Zafran berikut langkahnya terhenti seketika saat cekalan sang Ibu mendarat di tangannya.
"Udah biarin aja. Lagian dia bener, kok. Ini semua dibeli pake uang kamu, bukan uang dia," sergah wanita tua itu tanpa peduli.
"Tapi, Bu, setidaknya dia punya pakaian ganti. Aku juga ikhlas, kok, beli semua ini buat dia," sahut Zafran terang-terangan mengatakan kepeduliannya pada mantan istri.
"Udahlah. Peduli amat, sih, kamu." Ibu menatap kelompok Seira seraya kembali berkata, "hei, kalian berdua, awas datang lagi ke rumah ini dan minta pekerjaan. Kalian nggak diterima selamanya di rumah ini, dasar orang-orang miskin nggak tahu diri!"
Meski telinga mendengar, langkah Seira tak surut. Ia tertatih terus melaju meninggalkan rumah yang selama lima tahun ini ia huni dengan penuh kebahagiaan. Begitu pula dengan Bi Sari dan Mang Udin, mereka tidak peduli sama sekali.
Mang Udin berbalik, tak lagi menunduk di hadapan mereka. Ia berkata dengan lantang, "Saya nggak akan kembali lagi ke sini. Saya muak berkerja pada orang-orang yang nggak punya hati seperti kalian. Emang kami ini orang miskin, tapi kami nggak pernah ngerendahin diri sendiri kayak kalian. Orang-orang yang nggak punya malu."
Dia berbalik dan kembali melanjutkan langkah bersama Seira dan Bi Sari. Hati Zafran tercubit, dia tahu apa maksud dari ucapan laki-laki tua itu. Namun, berbeda dengan Ibu, wanita angkuh itu justru mendengus dan mengumpat kesal. Pun dengan Lita yang sebenarnya tidak peduli pada penilaian orang lain.
Perasaan cemas seketika menghampiri Zafran ketika Seira tiba-tiba berhenti sambil memegangi perut. Ingin dia berlari dan membantunya, tapi cengkeraman Ibu di tangan benar-benar tidak memberi izin selangkah pun.
Ia menoleh, sorot mata wanita yang tak lagi muda itu mengancam. Berikut rahang yang mengetat, jelas itu sebuah larangan untuknya beranjak. Zafran menoleh kembali menatap Seira yang masih terbungkuk di dekat gerbang.
"Non nggak apa-apa?" tanya Bi Sari cemas. Ia melirik ke belakang, dan melihat betapa Zafran masih peduli pada majikannya.
Seira menggeleng, digigitnya bibir kuat-kuat menahan nyeri yang kian menyengat. Ia menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, mengurai rasa sakit yang menusuk-nusuk. Sakit lahir juga batin.
"Beneran Non nggak apa-apa?" Mang Udin ikut merasa cemas. Ia memutuskan untuk berhenti menjadi supir di rumah Zafran dan mencari pekerjaan lainnya, atau kembali ke kampung halaman berternak dan bertani.
"Nggak apa-apa, aku masih kuat. Insya Allah," sahutnya lirih.
Ia menegakkan tubuh, kembali mengayun langkah dipapah Bi Sari. Berjalan tertatih sesekali akan berhenti menarik napas. Air tak lagi jatuh dari matanya, itu tangisnya yang pertama sekaligus terakhir ia lakukan. Setelah ini, tak akan pernah ada lagi air mata yang terbuang sia-sia.
Zafran masih berdiri di teras menatap gerbang yang baru saja menelan sosok wanita yang amat ia cintai. Tidak! Itu dulu, sebelum kehadiran Lita juga bayi yang sedang dikandungnya.
Sei kelihatan sakit, apa dia bener-bener sakit?
Hati Zafran bergumam pedih, kedua wanita itu telah meninggalkannya sendirian di teras. Berjalan mondar-mandir, menimbang keinginan untuk mengantar ke mana dia pergi. Atau dia sewakan saja kontrakan, untuk tempat tinggalnya sementara.
Gegas Zafran berlari setelah mengambil keputusan. Tak tega juga hatinya saat membayangkan Seira harus terlunta di jalanan dalam keadaan tak sehat, apalagi langit mendung seperti akan turun hujan. Setidaknya, dia masih punya hati dengan memberikan tempat tinggal untuk mantan istrinya itu.
Zafran memasuki mobil, menjalankannya dengan segera menyusul Seira dan dua orang pekerja yang setia bersamanya. Mobil mundur sebelum berbalik dan melaju meninggalkan halaman.
Lita yang mendengar gegas keluar dan berteriak kencang, "Mas Zafran! Mau ke mana kamu? Awas aja kalo kamu sampe datengin dia! Aku nggak terima!"
Mungkin sudah putus urat ******** wanita itu. Dia masih terus berteriak-teriak dengan lantang, memanggil Zafran yang tak mendengar. Mobil hitam itu terus maju dan menghilang dibalik gerbang tinggi rumahnya.
"Seira!" Dia memanggil nama wanita itu dengan lirih.
Pandangannya mengedar kian kemari mencari-cari sosoknya di sekitar jalan komplek perumahan. Tak ada siapapun, hanya desiran angin yang sesekali menerbangkan daun-daun kering yang berjatuhan di atas tanah.
"Kenapa mereka cepet banget ngilangnya?" gumamnya tak henti menoleh ke kanan dan kiri.
Mobil terus melaju ke depan tanpa berniat memutar arah kembali.
"Mungkin mereka udah keluar komplek, aku nggak boleh nyerah. Aku harus mastiin Sei baik-baik aja," katanya.
Ke mana Seira? Mereka pergi tidak membawa serta mobil Zafran, jangankan mobil, pakaian saja enggan ia bawa. Lalu, kenapa cepat sekali menghilang. Zafran menepi, ia turun dari mobil dan menghampiri tetangga yang sedang duduk-duduk di pos ronda.
"Maaf, Ibu-ibu tadi liat istri saya nggak?" Bertanya dengan raut panik di wajahnya.
"Bu Sei, ya?" Zafran mengangguk cepat. Siapa yang tak kenal Seira, istri seorang saudagar beras di komplek tersebut yang terkenal dengan kebaikan hatinya.
"Maaf, Pak. Kami nggak liat Bu Sei lewat, udah dari tadi juga nggak ada siapa-siapa yang lewat. Paling-paling mobil sama motor aja," jawab salah satu dari kelompok wanita di sana.
Zafran termangu, berpikir jika Seira memang telah keluar dari gerbang. Kelompok wanita itu pastilah melihatnya karena posisi mereka duduk berada tak jauh dari gerbang komplek.
Ia berbalik setelah mengucapkan terima kasih. Melanjutkan pencariannya di sekitar jalanan komplek hingga keluar. Adzan Maghrib berkumandang, pertanda malam sebentar lagi datang. Gerimis mulai turun teratur, lama kelamaan semakin deras.
Zafran masih di dalam mobilnya, tak menyerah mencari keberadaan Seira. Di tengah hujan deras seperti ini, ditambah kondisinya yang tak sehat semakin membuat Zafran panik dan gelisah.
"Ya Allah, gimana kalo Sei sampe kenapa-napa? Aku berdosa banget sama orang tuanya," gumamnya seraya melipat bibir dengan kuat.
Teringat akan janjinya pada mendiang orang tua Seira, Zafran berdecak berulangkali. Merutuki kebodohannya yang dengan mudah mengusir mantan istrinya itu. Hasutan sang Ibu juga Lita berhasil membuatnya menjadi laki-laki tak berhati.
"Bodoh! Bodoh!"
Mobil berhenti di lampu merah, Zafran membenturkan kepalanya pada kemudi berulang-ulang. Ia mendongak, menatap jalanan yang lengang. Tiba-tiba matanya membelalak.
Dia memekik lirih, "Seira!"