Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.
Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.
Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.
Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.
Bagaimana Lail menghadapi semua itu?
"Menyesal? Aku gak yakin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH.04 - Hukuman dari Guru Sejarah
“Ning, boleh pinjem buku sejarah kamu, gak?” Lail mendekati meja Bening, ia ingin meminjam buku sejarah untuk menyelesaikan catatan yang belum ditulis. Hari ini di tiga jam terakhir ada mata pelajaran sejarah dan catatannya harus dikumpulkan.
Bening mengangguk. Dia mengambil buku sejarah dari dalam tasnya kemudian menyerahkannya pada Lail. Lail berjalan kembali ke tempat duduknya. Dia menengok ke samping kiri, Azara belum datang. Azara memang murid teladan (telat datang, pulang duluan).
“Nulis apa, La?” Nylam menghampiri meja Lail sambil menunggu gimnya mulai.
“Sejarah, kamu udah?”
“Belum. Entar istirahat aja, aku liat punya kamu.”
“Yeah.”
Nylam kembali ke tempat duduknya. Lail meneruskan menulis catatan sejarahnya. Ternyata guru jam pertama tidak masuk, tapi beliau memberikan soal untuk dikerjakan, kalau sudah dikumpulkan di meja guru. Dengan ini Lail bisa menyelesaikan catatan sejarahnya lebih cepat.
“Liat donk!”
Belum selesai dengan catatannya, Azara malah datang dan merecoki Lail. Lail tak menggubris Azara sedikitpun. Sebab kalau diladeni, justru catatannya takkan pernah selesai. Azara mengerucutkan bibirnya kala melihat Lail yang tetap diam. Dia tak terganggu sama sekali dengan tindak tanduk Azara.
“Nanti kita jajan apa?” tanya Azara yang sudah menarik kursinya mendekat pada meja Lail.
“Hari ini aku gak jajan.” Lail menjawab singkat.
“Gak kangen Mang Pundi?”
“Masih ada minggu depan.”
“Yee, nanti Mang Pundi galau mikirin Neng Lail.”
Godaan Azara ditelan bulat-bulat kembali olehnya setelah melihat Lail yang melotot. Tatapan Lail yang ganas seakan bisa memangsanya, seperti para kanibal.
“Biasa aja donk!”
Bel istirahat berbunyi, Azara memutuskan ke kantin bersama Bening. Lail tak ke kantin, karena ini hari Jumat. Dia harus pergi ke Ruang BK. Semoga saja kasus tak bertambah banyak dalam beberapa hari ke belakang.
“Udah selesai, La?” tanya Nylam.
“Udah, nih.” Lail segera menyerahkan buku sejarahnya pada Nylam.
“Mau ke mana?” Nylam bertanya lagi saat matanya mengikuti sosok Lail yang bergerak berlawanan arah dari kantin.
“Ruang BK.”
“Ouh...” Nylam mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Beberapa detik kemudian dia terdiam, sampai menyadari apa yang baru saja Lail katakan. “EH? RUANG BK?!”
...****...
Saat Lail hendak mengetuk pintu, rupanya pintu terbuka bersamaan dengan seseorang keluar dari Ruang BK. Dialah Giselle, teman sekelas Lail yang mendapat kertas bimbingan selama sebulan ke depan. Dia punya alasan untuk mendatangi Ruang BK. Tidak seperti Lail yang luntang-lantung setelah membereskan beberapa dokumen dan menaruhnya di rak.
“Lo ngapain di sini?” Giselle bertanya lebih dulu sebelum Lail sempat membuka mulutnya.
“Aku cuma beres-beres Ruang BK doank, kayak biasa.”
“Kayak biasa?” beo Giselle.
“Lail?”
Bu Dea dari dalam ruangan memanggil Lail. Giselle menggeser dirinya dan memberi Lail jalan masuk. Giselle pergi dengan meninggalkan perasaan janggal. Matanya terus melekat pada punggung Lail yang memasuki ruangan sampai pintu tertutup.
“Kasus bolos ya, Bu?” tanya Lail berbasa-basi. Tangannya menggapai kenop laci dan membukanya. Ia mulai mengorganisir setiap dokumen satu persatu.
Bu Dea tertawa kecil mendengar pertanyaan Lail, “Kalau hanya bolos, dia hanya bimbingan seminggu, bukan sebulan.”
Lail tertegun, tapi dia tak bertanya lebih lanjut. Pertama, karena Bu Dea jelas takkan menjawabnya. Kedua, Lail tidak seharusnya peduli pada suatu urusan yang tidak bersangkutan dengannya. Tidak ikut campur selama tidak disenggol adalah motto hidup yang dia pegang selama tiga tahun terakhir.
Lail fokus menaruh setiap dokumen ke rak. Tanpa sengaja dia membaca nama-nama yang tertulis di lembar paling depan, serta identitas lengkapnya sebagai pelajar. Dilihat dari tahun lahirnya, rata-rata dokumen kasus ini adalah milik kakak kelasnya yang saat ini berada di tahun kedua.
‘Marina Lestari : 1-7’
“Nama ini... gak asing... oh–!” Lail bergumam pada dirinya sendiri.
“Lail, Ibu ke kantor dulu. Kuncinya taruh di Guru Piket, seperti biasa.”
“Iya, Bu.”
Bu Dea pergi meninggalkan Lail sendirian di Ruang BK. Entahlah, pecaya berlebihan pada seseorang itu merugikan diri sendiri. Seharusnya Bu Dea tidak membuat Lail bergerak bebas di Ruang BK, di mana ruangan legendaris ini menyimpan aib dari para siswi sejak tahun pertama sekolah ini berdiri. Bagaimana jika Lail memutuskan comel dan menyebarkan setiap kasus? Nah, itu akhir kehidupan sekolahnya.
Tapi kali ini Lail penasaran dengan kasus yang pernah menimpa Marina Lestari tahun lalu. Ya, Marina Lestari jelas adalah siswi tahun kedua sekarang, karena ini data tahun lalu, dan tidak ada siswi bernama Marina Lestari di kelas 1-7 yang sekarang.
Marina Lestari adalah kakak kelas yang mencari gara-gara dengan Isvara tempo hari. Lail tahu dari tag nama yang menempel di atas saku bajunya, semua siswi memilikinya. Lail juga sadar sejak awal kalau Marina adalah kakak kelas yang bermasalah.
Dari caranya menyelesaikan konflik saja sudah jelas terlihat. Dia menumpahkan kuah bakso pada Isvara. Dia dendam pada Isvara karena sesuatu dan memutuskan membalasnya dengan mempermalukan Isvara. Marina suka diperhatikan, dikagumi dan ditakuti. Dia mencintai dirinya yang menjadi pusat perhatian.
“Kalau bukan mommy issues, pasti daddy issues.” Lagi-lagi Lail berbicara pada dirinya sendiri.
Lail memandangi sekitarnya, memastikan tidak ada orang yang memperhatikannya. Kemudian diam-diam dia membalik lembar pertama dokumen.
‘Butuh perhatian lebih dari orang tua’, ‘ayah dan ibunya adalah workaholic’, ‘putus dari pacar karena ada orang ketiga’. Tiga hal itu yang Lail tangkap dan simpan di benaknya. Tiga poin penting. Sudah Lail duga, ternyata Marina punya masalah keluarga yang serius. Ditambah Marina putus dengan mantan sebelumnya karena ada orang lain di antara mereka.
Lail menutup kembali dokumen. Dia menghembuskan napasnya dengan kasar. Ini adalah curhatan Marina, bukan kasus lain yang Lail harapkan. Dan Lail terlalu pintar untuk teka-teki murahan ini, dia langsung bisa menebak siapa orang ketiga yang Marina maksud.
Inilah kenapa melihat dari perspektif orang lain itu penting.
Lail mengeluh dalam hatinya, dia tak bisa menemukan apa pun. Yang Lail temukan hanyalah kenyataan kalau kesehatan mental Marina terguncang. Dia hanya bisa bergantung pada teman-temannya yang toxic.
Lail berjalan lunglai mendekati meja, baru saja dia mau merunduk untuk mengambil dokumen lain dari laci. Matanya menangkap sesuatu yang sangat menarik. Kasus yang menimpa Giselle. Lail iseng membuka dokumen itu dan...
Bam!
Lail menutup kembali dokumen itu secepat kilat. Sudah cukup dia membereskan dokumen hari ini. Pikirannya sudah melayang ke mana-mana.
Sekarang dia mengerti susahnya menjadi Guru BK. Ketika kita tahu sisi lain dari murid tapi dituntut untuk bersikap padanya seolah kita tak pernah tahu sisi lain itu setelah memijakkan kaki ke luar Ruang BK.
...****...
Guru sejarah memasuki kelas setelah lima menit bel berbunyi. Pikiran Lail masih mengapung di awang-awang, dia terlalu banyak tahu, dan itu tak baik untuk pikirannya sendiri. Rasa penasaran adalah hal paling berbahaya di dunia ini.
“Kumpulkan buku catatan kalian!”
Daripada bangun dan mengumpulkan bukunya sendiri. Dia meminta Nylam yang sebelumnya meminjam bukunya untuk dikumpulkan bersamaan. Terlihat ada dua siswi yang tidak mengumpulkan buku. Keduanya adalah anggota pasukan oranye. Si gemoy nomor 1 dan 2. Setelah diperiksa dan dinilai, buku catatan dikembalikan.
“Untuk yang tidak mengumpulkan, hanya Amanda dan Shakila. Hukuman bagi yang tidak mengumpulkan adalah berlari keliling lapangan voli selama lima kali.”
Semua yang ada di kelas terkejut, tak terkecuali Amanda dan Shakila sebagai dua orang yang terkena hukuman, hanya mereka berdua. Mereka tak bisa protes. Sambil diawasi guru, mereka berdua turun ke lapangan voli dan mulai berlari. Jika ada yang memotong lajur, maka hitungan akan ditambah.
Semuanya masih baik-baik saja di awal, meski Lail bisa menangkap raut wajah keduanya yang protes. Karena kelas berada di lantai dua, sang guru mengawasi dari atas sambil menghitung putaran. Sebenarnya yang berada di kelas tidak bisa melihat ke bawah dengan jelas, tapi beberapa dari mereka mendapatkan ide untuk naik ke atas kursi atau meja.
“Mereka keliatan udah capek banget.” Celetuk Azara, kemudian dia turun dan duduk di depan Lail.
“Yeah, sekali lihat aja orang-orang bakal tau kalau mereka jarang olahraga.”
Azara mengangguk setuju. Memang sebenarnya rata-rata orang Indonesia jarang berolahraga. Jangankan olahraga, berjalan satu hari 1 km saja mereka malas. Tak heran jika jalan raya jauh lebih ramai daripada trotoar.
“Haish, aku kebelet.”
Melihat Lail yang hendak pergi ke toilet, Isvara pun mau ikut dengannya karena dia juga sudah menahan diri sejak bel masuk tadi. Lail dan Isvara izin pada guru sejarah untuk ke toilet sebentar, beliau pun mengizinkannya.
Isvara buru-buru menuruni tangga, Lail persis mengikuti di belakangnya. Toilet ada di bawah, jadi mereka berdua bisa sekalian memeriksa keadaan Amanda dan Shakila yang tampaknya mulai roboh. Orang yang tidak terbiasa berlari akan cenderung lebih cepat kehabisan zat air dalam tubuhnya, akibatnya mereka akan terkena dehidrasi. Bibir yang mengering dan wajah yang memucat adalah tanda jelas kalau mereka tak bisa bertahan lebih lama lagi.
Lail yang masuk toilet lebih dulu, barulah Isvara. Yah, Lail selalu mengeluhkan masalah ini. Masa sekolah besar ini hanya mempunyai empat toilet. Dan masing-masing toilet berada di empat gedung yang berbeda, alhasil mereka harus mengantre untuk menunggu giliran. Parahnya, kadang aroma toilet tidak mengenakkan, seolah-olah tak pernah ada yang membersihkannya. Tukang bersih-bersih di sekolah hanya menyapu sampah saja, mereka tak peduli dengan kebersihan toilet. Apalagi ada saja oknum yang tidak membersihkan toilet setelah mereka pakai. Itu kasus terburuk.
Saat Lail menunggu Isvara yang ada di dalam toilet, hukuman Amanda dan Shakila pun telah selesai. Amanda yang duluan naik tangga, baru diikuti Shakila. Namun hal tak mengenakkan pun terjadi. Shakila jatuh terduduk di anak tangga. Dia mulai menangis dengan suara serak karena kehabisan cairan. Napasnya sesak seolah ada yang menghalangi tenggorokannya mengirim oksigen menuju paru-paru.
Seorang guru yang melewati mereka nampak panik mendengar jeritan histeris Shakila. Beliau memanggil UKS dan meminta mereka membawakan tandu. Kejadiannya cepat sekali.
Isvara keluar dari toilet dengan gelisah karena teriakan Shakila. “Kenapa dia?” tanyanya penasaran.
“Nanti aku kasih tau di kelas.”
Karena tangga yang mereka gunakan untuk turun tadi dipenuhi banyak orang. Lail menarik Isvara untuk naik ke kelas menggunakan tangga di gedung lain. Otomatis jarak yang ditempuh semakin jauh. Isvara menaiki tangga dengan napas tersendat-sendat karena jumlah anak tangga yang lebih banyak dari tangga di gedung kelas mereka.
“Tunggu, La!”
Lail menunggu Isvara sambil melihat ke bawah. Shakila dibawa oleh beberapa anggota UKS. Wajahnya merah, keringat deras mengucur melalui dahinya, napasnya tak beraturan. Dia tampak kesakitan.
Saat sampai di kelas, ternyata Amanda sudah ada di sana. Dia mulai menyebarkan cerita tentang apa yang terjadi di bawah –guru sejarah turun untuk memeriksa Shakila. Amanda menyalahkan guru sejarah karena sudah membuat mereka berdua berlari keliling lapangan.
“Emang anj*ng! Mana tuh guru gak ngerasa bersalah lagi. Kalau aja dia gak ngasih hukuman kayak begitu, gak bakal kejadian kayak gini. Jadi pelajaran buat dia!” sinis Amanda. Dia menjelek-jelekkan guru sejarah itu seenak jidat.
Lail tahu apa yang dilakukan guru itu salah, tapi yang Lail herankan adalah apakah otak udang yang satu ini tidak sadar kalau semuanya bermula dari mereka berdua yang tidak mengerjakan catatan minggu kemarin. Sikapnya yang selalu meremehkan guru itu membuat Lail tak suka padanya, sejak awal.
Lail berjalan melewatinya sambil berkata dengan sinis, “Makanya kalau ada tugas itu kerjain.”
“Biarin sih, hidup mah masing-masing aja, gak usah ikut campur!” Jawabnya menantang balik.
Lail tertawa dalam hatinya, ini adalah catatan khusus. Orang seperti Amanda adalah tipe yang paling susah untuk diberitahu. Sebab dia merasa superior dari orang-orang di sekitarnya. Ketua Kelas macam apa yang dihukum karena tidak menulis catatan? Lucu sekali.
Atmosfer kelas semakin memburuk saat Shakila kembali bersama dengan guru sejarah. Shakila masih menangis tersedu-sedu. Sang guru duduk di meja dengan ekspresi kosong. Entahlah, Lail tak bisa melihat penyesalan di mata sang guru. Seakan kejadian barusan tak lebih dari iklan yang mengganggu.
“Ibu minta maaf dengan apa yang terjadi barusan. Ibu tidak tahu kalau nak Shakila punya asma.” Sesal sang guru, tapi nada suaranya tetap datar.
Tak lama, pelajaran selesai lebih cepat karena kejadian itu. Seisi kelas yang sepi berubah menjadi ramai, banyak siswi menghampiri Shakila. Sedangkan Amanda yang duduk di sebelah Shakila asyik bermain ponsel. Lail tahu, itu seperti pengalihan dari rasa malu yang dia dapatkan karena dihukum. Itu reaksi alamiah manusia untuk mengalihkan perhatian orang- orang darinya.
Tetapi, suasana kelas yang membaik kembali memburuk. Amanda menangis sesenggukan. Welda dan Isvara yang paling cepat mendekatinya. Welda memeluk Amanda, upaya menenangkan temannya.
“Lo kenapa nangis?” tanya Welda, terselip rasa khawatir di suaranya.
“Teteh gue bikin SW bapak gue. Gue kangen bapak...!” ucapnya sambil menangis. Air matanya membasahi seragam Welda.
Isvara mengelus-ngelus pundaknya. Kini semua orang memusatkan pandangan mereka pada Amanda yang menangis. Bagaimana tidak? Anak ini sejak awal masuk sekolah selalu tampak sok, kuat, dan berani meladeni siapa saja yang mengganggunya. Tapi lihatlah dia sekarang? Menangis seperti bayi.
Lail tak berkomentar banyak. Dia memilih membereskan bukunya karena sebentar lagi waktu pulang.
Orang yang lagi emosi jauh lebih gampang buat nangis daripada ketawa.
Bel pulang berbunyi. Welda dan pasukan oranye lainnya menenangkan Shakila dan Amanda. Beberapa yang lain hanya melengos tak paham apa yang terjadi. Lail mendadak sakit kepala, terlalu banyak yang terjadi hari ini.
“Ayo, La!” ajak Nylam, mereka harus segera ke ruang ekskul. “Ya—”
Kalimat Lail terpotong saat mendapati sosok Bening mengapit tangannya.
“Kamu juga ikut, Ning?” tanya Nylam. Bening mengangguk.
Lail punya lebih banyak teman mulai hari ini.
TBC