Cecil dan Kevin sepasang kekasih. Hubungan mereka terkendala restu dari mamanya Cecil. Namun, karena rasa cintanya yang begitu besar, Cecil pun berani menantang orang tuanya.
Padahal, tanpa Cecil sadari, dia hanya dimanfaatkan Kevin. Gadis itu sampai rela menjual barang-barang berharga miliknya dan bahkan meminjam uang demi menuruti permintaan sang kekasih.
Apakah hubungan yang toxic ini akan bertahan? Sadarkah Cecil jika dia hanya dimanfaatkan Kevin?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Puluh Tiga
Cecil duduk di dapur dengan tatapan kosong, memandangi keadaan di sekelilingnya. Pagi itu, sinar matahari menuangkan cahaya lembutnya ke dalam rumah, menerangi setiap sudut yang sebelumnya selalu hangat. Namun, hangat itu kini terasa dingin akibat pertengkaran yang terjadi semalam. Masih teringat tentang penyebab pertengkaran mereka hanya karena masa lalu sang suami.
“Kenapa bisa begini?” Cecil bergumam pada dirinya sendiri sambil mengaduk adonan pancake di mangkuk. Meskipun hatinya masih beku, dia tahu tradisi sarapan adalah hal pertama yang harus dia lakukan. Sarapan bagi Cecil dan Athalla bukan sekadar soal makanan; itu adalah sebuah ritual yang mempererat hubungan mereka. Sesuatu yang meski terbuat dari bahan yang sederhana, tetapi selalu membawa kehangatan, bahkan di saat-saat terburuk.
Cecil menyusun pancake yang sudah matang di atas piring, menuangkan sedikit sirup maple di atasnya, dan meletakkan beberapa potong buah-buahan segar di sampingnya. Aroma wangi menyebar ke seluruh dapur, tetapi kali ini tidak ada senyuman yang menyertai aroma itu. Dia merasa seolah sedang membuat makanan untuk orang asing, bukan untuk suaminya yang biasanya bersemangat menyambut sarapannya.
Mendengar langkah kaki, Cecil mendongak. Athalla muncul di ambang pintu dapur, rambutnya acak-acakan dan matanya tampak lelah. Dia mengenakan kaus santai yang biasa, sama seperti setiap pagi, tetapi hari ini rasanya sangat berbeda. Bak seorang pejuang yang baru kembali dari medan perang, dia tampak ragu-ragu.
“Hai, Selamat Pagi, Cecil,” sapa Athalla pelan, mencoba meraih suasana dengan nada lembut.
“Pagi ...,” jawab Cecil singkat tanpa menatap.
Athalla melangkah lebih dekat, dan aroma kafein dari cangkir kopi yang dia pegang tercium tajam saat dia mendekat. Cecil kembali fokus pada pancake yang ada di hadapannya, menyibukkan diri dengan pernik-pernik di meja makan, meskipun hatinya berbicara sebaliknya.
“Wow, ada pancake,” komentar Athalla tiba-tiba, mencoba menangkap perhatian Cecil. "Pasti ini sangat enak. Apa kamu yang telah membuatnya, Sayang?" tanya Athalla. Walau dia tahu pasti jika itu buatan istrinya, tapi tetap bertanya untuk mencairkan suasana.
Athalla sadar betul jika perdebatan mereka kemarin adalah salahnya. Cecil tak seharusnya dilibatkan dalam hal ini. Tapi sebenar bukan hanya trauma karena ditinggalkan Mita saja yang dia harus lawan, tapi juga karena ditinggal papanya karena wanita lian. Dia merasa takut ditinggalkan.
“Ya, aku yang membuatnya,” potong Cecil, sedikit tersentak.
Athalla mengangguk, ada keraguan yang jelas tergambar di wajahnya, tapi dia mengambil kursi dan duduk. Suasana yang seharusnya hangat kini penuh dengan keheningan yang membekukan. Cecil memperhatikan Athalla mengambil sepotong pancake dan mengunyahnya dalam diam. Dia ingin berucap sesuatu, tetapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, terdengar detak jam dinding yang seolah menambah berat suasana. Athalla berusaha keras menekan semua perasaan yang menggelora dalam dirinya. Dia tidak ingin emosinya mendominasi pagi ini, tetapi lehernya terasa kaku, dan suasana hatinya seolah mendorongnya untuk berbicara.
“Lalu, bagaimana kuliahmu?” tanya Athalla berusaha menjalin obrolan meski suara itu terdengar hampa.
“Biasa saja. Ada tugas yang harus diselesaikan, jadi tidak ada yang baru.” Cecil menjawab dengan nada datar.
Athalla mengangguk, kembali terbenam dalam pikirannya. Ingatan tentang pertengkaran semalam tiba-tiba kembali muncul. Dia merasa menyesal karena kembali membentak istrinya.
“Aku tidak ingin membahas yang kemarin,” ujar Cecil tiba-tiba, memecah keheningan.
“Aku juga tidak, tapi—” Ucapan Athalla terhenti. Tenggorokannya terasa kering. Tak tahu bicara apa. Rasa bersalah begitu menghantui dirinya.
“Tapi kita perlu waktu untuk sendiri. Sepertinya itu yang terbaik sekarang,” Cecil memotong dengan nada tegas, menahan emosi yang nyaris meluap. Dia tahu kata-katanya terdengar keras, tetapi dia sangat membutuhkan waktu untuk menenangkan pikiran.
Athalla terdiam. Matanya memundurkan pandangan seolah mencari cara untuk memahami situasi ini. Dia menggigit bibirnya, tampak berjuang untuk memilih kata-kata yang tepat. “Cecil, maafkan aku. Aku tidak ingin kita seperti ini.”
Cecil merasakan ada kenyataan lain dalam pernyataan itu. Dia tahu Athalla tidak bermaksud menyakiti, tetapi situasi tersebut sudah membuatnya terluka. “Aku belum siap,” balas Cecil, suaranya bergetar, tapi dia berusaha bertahan untuk tidak menunjukkan kelemahan.
“Aku mengerti.” Athalla menghela napas, menundukkan kepala, dan menatap pancake yang kini tersisa hanya sedikit. “Tapi aku tidak ingin ini berlarut-larut. Kita bisa menyelesaikannya, kan?”
Cecil tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya mengangguk pelan. Tangan Athalla terulur untuk meraih tangan Cecil, tetapi Cecil menarik tangannya. “Bukan sekarang, Athalla. Tolong ... beri aku waktu untuk sendiri.”
Athalla menarik napas dalam, seolah mengumpulkan semua kekuatan yang dia miliki. “Jika kamu butuh waktu, aku akan memberikannya. Jangan pernah pergi dariku, Cecil. Ingat, aku selalu di sini untukmu.”
Cecil menatapnya, merasakan kesedihan yang mendalam. Meski menarik diri, hatinya meronta-ronta ingin mendekap Athalla. Dalam jiwanya, dia tahu bukan karena keinginan Athalla sehingga semua ini bisa terjadi. Pasti semua hanya karena rasa traumanya. Dia sebenarnya sedang sakit.
Cecil memutuskan untuk pergi ke kampus lebih awal. Dia tidak ingin membiarkan keraguan dan kesedihan menguasainya lebih jauh. “Aku harus pergi kuliah sekarang,” kata Cecil setelah seribu sepi. Dia bangkit dan mulai merapikan barang-barangnya.
“Aku akan mengantar,” tawar Athalla dengan penuh harap, tetapi Cecil menggelengkan kepala. Athalla tampak menarik napas melihat penolakan dari sang istri. Namun, dia tak ingin memaksa karena sadar jika sang istri perlu waktu sendiri, pasti dia sangat kecewa dengan sikapnya kemarin.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.” Cecil berkata dengan suara yang lebih tenang. “Kita perlu memberi diri kita waktu. Aku ingin kamu berpikir atas apa yang telah kamu katakan dan lakukan. Kamu bukan anak kecil lagi. Cobalah berpikir sebelum melakukan sesuatu.” Setelah itu, dia berjalan menuju pintu.
Athalla hanya bisa menatap Cecil pergi dengan hati yang berat. Dia menarik napas berat. Sebenarnya ini juga bukan keinginannya. Kepergian papanya dan juga Mita membuat dia trauma. Takut kehilangan orang yang dicintainya.
Di luar, Cecil menghirup udara segar dengan penuh rasa lega. Dia berusaha untuk tidak memikirkan apa yang terjadi di rumah, melainkan fokus pada harinya di kampus. Sesampainya di kampus, dia menyusuri lorong yang dipenuhi mahasiswa, berusaha menemukan tempat yang paling tenang untuk merenung.
Ingin rasanya Cecil ke rumah mertuanya dan bertanya pada Mama Tari, bagaimana hubungan suaminya dulu dengan Mita. Sejauh mana hubungan itu. Namun, dia tak mau membuat wanita kuatir. Bukankah tadi malam mereka hanya berdebat bukan adanya kekerasan fisik.
Dia juga ingin berkenalan lebih dekat dengan wanita masa lalu suaminya itu. Dengan siapa dia bertanya selain pada mertuanya, tanya Cecil dalam hatinya.
Saat Cecil sedang termenung seorang wanita muda menghampiri dirinya. Dia tersenyum.
"Boleh aku duduk di sini?" tanya wanita itu menunjuk bangku kosong di sebelah Cecil.
"Tentu saja boleh, silakan!" seru Cecil.
Gadis itu kembali tersenyum dan langsung duduk di sampingnya. Cecil cukup terkesima dengan senyum manis wanita itu.
"Kamu istrinya Athalla?" tanya wanita itu. Pertanyaannya membuat Cecil terkejut. Dari mana wanita itu tahu.
"Betul, dari mana kamu tau?" Cecil balik bertanya. Dia penasaran dari mana wanita itu tahu tentang dirinya, sedangkan mereka baru bertemu.
"Kenalkan ... namaku Mita," ucap wanita itu dengan mengulurkan tangannya.
"Mita ...?" tanya Cecil. Dia bukannya menyambut uluran tangan wanita itu, justru mengajukan pertanyaan, karena nama itu penyebab pertengkarannya tadi malam dengan sang suami.
tp gmn kl emg dh sifat dy begitu..
ya tergantung qt aja sbgai istri yg menyikapinya...
ya qt jg hrs ekstra lbh sabar mnghdapinya...