Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Cekcok
Lina berdiri di depan pintu dengan kedua tangannya yang bersedekap. Ia memandangi mobil Audy merah milik suaminya yang baru kembali masuk halaman rumah. Rudi baru pulang siang ini sehingga membuat Lina kesal.
"Halo, Sayang ... Aku pulang ...." dengan raut wajah yang ceria, Rudi keluar dari mobil menenteng sebuah paperbag coklat menghampiri Lina.
Lina yang kesal justru berbalik masuk rumah. Rudi terkejut karena sang istri tidak biasanya kesal karena ia telah membawa hadiah meskipun telat pulang. Ia membuntuti istrinya masuk ke dalam kamar.
"Sayang, aku minta maaf karena kemarin tidak pulang. Aku benar-benar tidak menyangka akan ada pertemuan mendadak di luar kota," ucap Rudi dengan raut wajah memelas.
Ia berlutut di hadapan istrinya yang tengah terduduk di tepi ranjang. Sepertinya istrinya sedang sangat marah sampai tak mau memandanginya.
"Sayang, aku minta maaf," bujuk Rudi sekali lagi.
"Percuma ... Percuma kamu minta maaf berkali-kali. Pada akhirnya juga akan terulang lagi," ucap Lina penuh kekecewaan. Meskipun demikian, ia berusaha menahan emosi agar tutur katanya tidak meledak-ledak.
Rudi meraih tangan Lina dan menciumnya dengan lembut. "Sayang, aku bekerja keras seperti ini supaya kehidupan kita mapan. Gajinya juga lumayan, kita bisa menabung untuk masa depan."
Lina menitihkan air mata. Selalu uang dan uang yang dipentingkan. Rudi seakan tidak peenah peduli dengan bagaimana dirinya menahan rasa kesepian saat ditinggal sendiri. Lina selalu diliputi kecemasan menunggu suaminya pulang. Ia juga kerap ketakutan jika ada orang jahat yang datang ke rumahnya saat ia sendirian.
"Lina ...." panggil Rudi.
Ia bangkit dan duduk di samping Lina yang tengah menangis. Ia usah air mata yang membasahi wajah cantik wanita itu. Ia membawa sang istri ke dalam dekapannya.
"Aku benar-benar minta maaf, Lina. Aku sering mengecewakanmu. Tapi, asal kamu tahu, aku bekerja keras seperti ini demi kamu." Rudi terus berusaha agar Lina bisa memahami posisinya yang sulit. Sebagai kepala keluarga, ia berkewajiban untuk mencari nafkah.
"Oh, iya. Tadi aku sudah mentransfer 50 juta ke nomor rekeningmu. Ini, aku juga membelikan tas waktu mampir di mall."
Rudi menyodorkan paperbag yang sedari tadi dibawanya. Ia ambil kotak di dalamnya. Ia buka kotak tersebut, di dalamnya terdapat sebuah tas yang tampak mewah berwarna merah muda. Tas itu berasal dari brand ternama yang harganya berkisar puluhan juta.
Meskipun tidak bisa mengobati rasa kecewanya, namun Lina tetap terkesima dengan tas yang suami belikan untuknya. Tas itu sudah lama ia idam-idamkan.
"Sayang, aku minta maaf, ya!" ucap Rudi sekali lagi sembari memeluk sang istri. Ia merasa emosi istrinya sudah lebih stabil.
"Aku kan sudah bilang minta maafnya tidak berguna," jawab Lina yang masih memiliki rasa kesal.
"Jangan begitu ... Kasihan sekali suamimu ini," Rudi merajuk.
"Bagaimana kalau aku kembali ke kota Y?" tanya Lina.
Rudi terdiam mendengar permintaan istrinya yang tiba-tiba. "Kenapa?" tanyanya heran.
"Tidak ada gunanya juga aku di sini. Kamu sama saja seperti sebelumnya masih jarang pulang. Setidaknya kalau aku di Kota Y, aku punya banyak teman yang bisa diajak jalan-jalan," jawab Lina.
"Kamu kan bisa cari teman di sini," usul Rudi. Mereka baru saja sehari pindahan tapi istrinya sudah minta pulang. Itu hal yang tidak mungkin dituruti karena dia sudah dipindahkan ke kantor cabang di sana.
"Aku kan tidak membatasimu berkegiatan apapun di luar. Kamu mau ikut komunitas yoga seperti dulu, atau ikut fitnes? Olahraga pacuan kuda? Memanah? Les memasak? Kamu boleh melakukan apa saja, Sayang. Aku akan membiayainya," bujuk Rudi.
"Kalau begitu, aku mau pindah rumah ke apartemen atau perumahan yang dekat dengan kantormu!" pinta Lina.
Rudi tampak menelan ludah mendengar permintaan Lina. "Sayang, harga sewa hunian di kota ini lumayan mahal. Apalagi kalau kamu minta tepat di pusat kota. Beruntung kita bisa menempati perumahan ini secara gratis. Bahkan dalam waktu dua tahun, rumah ini akan menjadi milik kita. Harga perumahan di sini di atas 500 juta, Sayang. Rumah kita saja mungkin hampir satu milyar."
"Kalau kamu lembur lagi, tidak pulang, aku bagaimana? Masa harus sendirian terus di rumah. Kamu kan tahu di sekitar sini tidak ada penghuni. Lama-lama aku bisa mati berdiri!" keluh Lina.
Rudi menyunggingkan senyum. Ia mengusap kepala Lina. "Kamu kan sudah tahu sendiri kalau pengamanan di perumahan ini tidak diragukan lagi. Tidak ada sembarangan orang yang bisa keluar masuk. Jadi, kecil kemungkinan ada pencuri."
"Kalau yang datang hantu bagaimana?" ujar Lina.
Rudi tertawa. "Itu paling hanya halusinasimu saja. Makanya jangan kebanyakan nonton horor!" omelnya.
"Aku tidak suka horor ... Tapi kalau sendirian kan jadi takut," keluh Lina.
"Ya ... Kamu kan bisa minta bantuan tetangga. Dara dan Trian kelihatannya orang baik. Pasti tidak akan keberatan kalau kamu minta tolong," kata Rudi.
Lina menghela napas. Percuma saja bicara dengan suaminya. Rudi tidak akan peka dan tidak mengerti apa yang sangat diharapkannya.
"Bagaimana kalau kita cari pembantu?" tanya Rudi.
"Aku kurang nyaman dengan orang asing. Bukannya kamu juga tidak suka ada orang asing yang tidak serumah?" Lina balik bertanya.
Selama ini memang mereka hanya hidup berdua supaya tidak ada yang mengganggu. Mereka bahkan tidak mau hidup bersama orang tua atau mertua. Selain untuk menghindari cekcok, juga untuk bisa leluasa melakukan apa saja di rumah.
"Yah, aku sih sebenarnya tidak suka ada pembantu. Tapi, kalau kamu mau, aku akan mengalah supaya tidak kesepian."
"Sudahlah! Aku juga tidak suka ada orang asing di dalam rumah," ujar Lina. Ia akan mengabaikan perdebatan mereka.