Mandalika, gadis Indonesia dari keluarga berkecukupan, mengalami trauma masa kecil setelah diculik gurunya. Akibat dari penculikan tersebut, Ia dikurung selama bertahun-tahun lamanya. Tepat saat usianya memasuki 23 tahun, Mandalika dibebaskan, namun perilakunya membuat Kedua orangtuanya mengirim paksa putri tunggalnya ke Korea Selatan.
Di sana, Mandalika menjadi bintang kampus dan menarik perhatian Kim Gyumin. Bertemu dengan perundung berhati dingin bernama Park Ji Young, mahasiswi angkuh, mengancam Ia dengan bukti kejam, memaksa Mandalika meninggalkan Korea dengan rasa trauma yang membekas.
Sebelum kepergiannya, Mandalika mendapat dukungan dari Hwang In Yeop, pekerja di Apartemen tempatnya tinggal. Perasaan Kim Gyumin terungkap dan melalui malam terakhir mereka bersama.
Sekembalinya ke Indonesia, Mandalika memulai hubungan dengan Zoo Doohyun setelah tiga tahun berlalu. Dan kembali ke Korea menghadapi cinta segi empat yang rumit dengan Kim Gyumin, Zoo Doohyun, serta Hwang In Yeop
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lalarahman23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3: Para pria aneh.
Dengan enggan, aku mengikuti Pria ini, masih tidak yakin akan niatnya.
Restoran kampus ramai dengan mahasiswa yang sibuk mengobrol dan makan. Aku duduk berhadapan langsung dengan Pria tidak jelas ini, masih merasa bingung dan waspada.
"Kenapa membawaku kemari? Pak Kim ingin bicara denganku!" tanyaku, menatapnya tajam.
Gyumin menghela napas panjang, lalu menatapku serius. "Lain kali, jangan dekati orang itu lagi jika tidak ingin terjadi hal buruk padamu."
"Ada apa dengan Pak Kim?" tanyaku, merasa khawatir, alisku terangkat dan sedikit meragukannya.
Gyumin menatap meja sejenak sebelum menjawab. "Ada banyak rumor tentang Pak Kim. Pak tua itu tidak segan-segan untuk melecehkan mahasiswi di universitas ini. Aku membawamu kemari karena takut terjadi hal buruk padamu."
Aku terdiam, mencerna Perkataannya. Suara percakapan di sekitar kami terdengar samar, hanya menjadi latar belakang yang tak berarti.
"Sebaiknya kau bersamaku, mungkin aku bisa menjauhkanmu dari hal-hal yang tidak kau inginkan," saran Gyumin dengan menaikkan alisnya, mencoba terlihat santai.
Manda mengalihkan pandangan dari Pria di hadapannya.
"Berteman dengan berandal sepertimu? Maaf, aku tak berminat," jawabku, menahan tawa sinis.
Gyumin menertawakan jawaban Manda. "Maaf, tapi aku tidak seperti yang kau pikirkan," ujarnya, masih tersenyum.
"Aku pergi," kataku, berbalik meninggalkannya. Namun, Gyumin menarik tangan Manda.
"Namaku Gyumin. Temui aku saat berada dalam kesulitan, aku pasti akan membantumu," katanya tegas, menatapku dengan senyum tampannya.
Aku melihat wajah tengilnya yang membuatku ingin sekali melayangkan sebuah tamparan. "Aku tidak perlu memberitahu namaku lagi 'kan? Jadi, lepaskan tanganku!" tegas aku.
Gyumin melepaskan tangan Manda. "Mengapa kau terburu-buru? Ingin pergi bersamaku?" tanyanya lagi, dengan nada menggoda.
"Tidak!" Mataku menatap tajam ke arahnya, namun Pria ini hanya tersenyum, membuatku sedikit tidak enak dan menenangkan diri.
"Emm... terima kasih atas bantuanmu hari ini... tapi, untuk pergi bersamamu aku tidak berminat," jawabku. Merasa jantung Gyumin berdetak lebih kencang, mendengar ucapan terima kasih dari Manda.
"Berhati-hatilah dan jangan sampai lengah lagi. Jika seseorang mengganggumu, beritahu aku," ujarnya, memetikkan jari ke arah wajahku.
Aku berpikir sejenak. 'Dia terlihat seperti ketua di kampus ini, mungkin aku bisa memanfaatkannya,' pikirku.
"Berikan nomor teleponmu, aku ingin menyimpannya untuk berjaga-jaga," kataku sembari menyodorkan ponselku. Gyumin tersenyum bahagia saat mendengar aku meminta nomor ponselnya.
...Mini Market....
Setelah seharian penuh di kampus, aku merasa lapar dan lelah. Aku memutuskan untuk mampir ke mini market terdekat untuk membeli beberapa makanan. Pintu otomatis mini market terbuka saat aku melangkah masuk, dan udara dingin dari pendingin ruangan menyambutku.
"Sepertinya aku harus membeli stok makanan lebih banyak," gumamku pada diri sendiri, mengambil Troli belanjaan.
Aku berjalan menyusuri lorong-lorong, memilih berbagai makanan ringan dan bahan makanan. Tanganku terulur untuk mengambil sekotak sereal ketika seorang Pria berdiri di sebelahku.
"Maaf, kau mau ambil sereal yang mana?" tanya Pria itu dengan tersenyum ramah.
"Oh, yang ini," jawabku sambil menunjuk kotak sereal favoritku.
Dia mengangguk dan mengambil kotak yang sama. "Ini juga favoritku. Sepertinya, kita punya selera yang sama."
Aku tersenyum sopan, tetapi segera kembali fokus pada belanjaanku. Aku melanjutkan perjalanan ke bagian susu dan produk segar.
"Mungkin aku harus ambil susu coklat juga," pikirku keras-keras.
Seorang ibu yang sedang mengambil yogurt di sebelahku tersenyum. "Susu coklat memang pilihan yang bagus. Anak-anak saya suka sekali."
Aku membalas senyumannya. "Iya, susu coklat memang enak, dan lumayan untuk menambah energi."
Setelah mengambil beberapa karton susu, aku menuju ke bagian roti. Di sana, seorang gadis kecil menarik-narik lengan bajuku.
"Kak, bisa bantuin aku ambil roti di rak atas? Aku tidak bisa menjangkaunya," pintanya dengan mata bulat memohon.
"Tentu," jawabku, mengambil roti yang dia inginkan dan memberikannya.
"Terima kasih, Kak!" ucapnya dengan tersenyum lebar dan berlari kembali ke arah Ibunya.
Aku melanjutkan belanjaanku, memasukkan beberapa bungkus mi instan dan camilan ke dalam keranjang. Saat aku sampai di bagian buah-buahan, aku berpapasan dengan seorang pria muda yang sedang memilih apel.
"Apel merah atau hijau yang lebih manis, ya?" Gumamnya sembari mengangkat dua buah apel di tangannya.
"Apel merah biasanya lebih manis, tapi aku lebih suka yang hijau karena rasanya lebih segar," jawabku saat memasukkan beberapa apel hijau di Troli belanjaan.
"Ah, terima kasih atas sarannya. Aku akan coba yang hijau kali ini," katanya, menaruh apel merah kembali dan mengambil beberapa apel hijau.
Akhirnya, aku menuju kasir dengan Troli yang cukup penuh. Saat aku menunggu di antrian, aku mendengar suara kasir menyapa pelanggan di depan.
"Hallo, selamat sore...," sapa kasir dengan ramah.
Aku menghela napas lega saat giliranku tiba. "Selamat sore, saya mau bayar ini semua," kataku sambil menaruh barang-barang di atas meja kasir.
Kasir itu mulai memindai barang-barangku satu per satu. "Banyak juga belanjaannya. Untuk persiapan apa nih?" tanyanya sambil tersenyum.
"Hanya untuk persediaan. Kadang suka malas keluar lagi kalau sudah di rumah," jawabku dengan jujur.
"Ah, saya mengerti. Apalagi kalau sudah capek habis kuliah, pasti maunya langsung istirahat," balasnya dengan pengertian.
Aku mengangguk. "Betul sekali. Terima kasih, ya."
"Saya ingin menanyakan sesuatu," sapa kasir saat melihatku dari atas sampai bawah.
'Tidak sopan,' pikirku. "Maaf, saya sedang terburu-buru," jawabku, menghindari pandangannya.
Dengan kurang ajar, kasir itu tiba-tiba menyentuh tanganku yang berada di atas meja kasir.
Seketika, aku terkejut dan dengan segera menarik tanganku. "Anda jangan kurang ajar!" bentakku, menatap pria itu dengan tajam.
Seorang pria berjalan menghampiriku dari arah belakang.
"Apa yang kau lakukan?! Kenapa kau mengganggunya?!" tanya pria itu kepada kasir.
"Memangnya kau siapa? Pergilah!" usir kasir itu, lalu kembali menggoda dengan kedipan matanya.
"Cobalah sekali lagi Anda mengganggunya, aku akan melaporkan Anda!" ancam Pria itu.
"Selesaikan secepatnya!" bentakku, merasa tak nyaman saat melihat Pria itu menyeringai.
Setelah semuanya selesai, aku berusaha meninggalkan tempat itu, dan tanpa sengaja aku terserempet sepeda motor hingga terjatuh, membuat lututku mengeluarkan darah. Aku reflek memegang lututku yang terluka.
"Argh!" rintihku, kesakitan.
Pria tadi, yang ternyata bernama In Woo, berlari menghampiri Manda dan duduk di hadapannya. "Lututmu berdarah... Ayo, aku obati dulu!" ajaknya, berusaha membantuku berdiri.
"Perih sekali," keluhku, memegangi lutut yang masih berdarah.
Pengendara motor, Nam Gil, membuka helm dan turun dari motornya. "Kau! Ada apa lagi denganmu? Kenapa berlarian di tengah jalan? Itu sangat berbahaya!" Tanyanya, dengan nada khawatir.
"Aku akan membawamu ke rumah sakit," lanjut Nam Gil, mengulurkan tangannya.
"Tidak!" tolakku. Mencoba melepaskan tangan In Woo yang membantu Manda berdiri.
"Awh!" rintihku dan hampir terjatuh lagi. Namun, In Woo dengan segera memegang kedua tangan Manda, membuat jarak wajah kami begitu dekat.
Nam Gil menatap mereka berdua dengan kening berkerut. "Kenapa kau harus memeluknya!" bentak Nam Gil, kesal.
"Tolong bawa aku ke apartemen," pinta Manda pada Pria bermotor ini setelah sadar dari tatapan In woo.
Nam Gil mengulurkan tangannya ke arah Manda. Namun In Woo segera menepis tangan Nam Gil dan mengulurkan tangannya.
"Kau bisa bersamaku! Aku akan mengantarmu," ucap In Woo tegas.
Nam Gil menggeser tangan In Woo. "Tidak, aku yang membuatnya seperti ini... jadi, biarkan aku yang mengurus dia!" tegas Nam Gil.
In Woo menatap Nam gil dengan tajam. "Apa kau tidak merasa bersalah dengan membawanya menaiki motor sialanmu itu?! Pergilah!" usir In Woo, kesal.
Aku menatap mereka dengan kesal. "Kalian niat bantuin aku nggak, sih? Aku kapan pulangnya kalau kalian seperti ini! Menyebalkan sekali!"
"Akan lebih baik jika kau menggunakan mobil dan bukan motor," ujar In Woo, masih menatap Nam Gil dengan kesal.
"Kau akan tiba lebih cepat jika menggunakan sepeda motor!" sanggah Nam Gil, mengulurkan tangannya kembali.
Aku menghela napas mendengar perdebatan mereka. "Tinggalkan aku!" teriakku, membuat mereka terkejut dan beralih menatapku.
"Hey, kau!" bentak In Woo, menunjuk ke arah Nam Gil.
"Apa?! Kau mau adu jotos?" tanya Nam Gil dengan sombong.
"Cukup! Kalian berdua bisa berhenti nggak, sih?" Aku benar-benar marah melihat kelakuan mereka.
Nam Gil dan In Woo pun seketika terdiam.
"Jika lukamu tidak kunjung membaik, tolong hubungi aku," ujar Nam Gil, memberi kartu namanya.
Aku pun menerimanya untuk mempersingkat drama ini.
In Woo mengulurkan tangannya. "Ayo, aku akan mengantarmu pulang." ujarnya.
Nam Gil menuntun Manda menuju sebuah mobil yang terparkir. "Berhati-hatilah," ujarnya.
Aku mengangguk untuk menghormati orang yang lebih tua.
Beberapa saat kemudian, mereka pun tiba di sebuah Apartemen. In Woo membukakan pintu mobil untuk Manda. "Kau membutuhkan bantuan?"
Aku keluar dari mobilnya dan berjalan tertatih menahan rasa sakit. "Tidak, dan terima kasih atas tumpangannya," sahutku, lalu melangkah pergi membawa barang belanjaan.
"Tunggu!" panggil In Woo dari arah belakang.
Aku menoleh dan melihat dia mengejarku. "Apa lagi? Aku sudah capek banget hari ini... tolong tinggalkan aku sendiri," pintaku, menahan rasa kesal.
Pria ini menatapku dengan cemas. "Eh, anu... bisakah kau memberitahuku namamu?" tanya In woo, gugup.
"Tapi aku tidak bisa," jawabku dengan wajah datar, lalu berbalik meninggalkannya.
Aku mengobati luka di lututku, lalu membereskan barang belanjaan ke dalam lemari es dan lemari penyimpanan.
Hingga satu jam kemudian.
"Capek banget," gumamku, menutup kedua mata sembari bersandar di atas sofa yang empuk.
Beberapa menit kemudian, bel pintu Apartemen Manda berbunyi.
Seketika, aku membuka kedua mataku. "Ada apa lagi, sih?!" gumamku, kesal, dan bangun dari sofa. Lalu, berjalan ke arah pintu untuk membukanya.
...To be continued....