Anindya, seorang Ibu dengan 1 anak yang merasa sakit hati atas perlakuan suaminya, memilih untuk
bercerai dan mencari pelampiasan. Siapa sangka jika pelampiasannya berakhir dengan obsesi Andra, seorang berondong yang merupakan teman satu perusahaan mantan suaminya.
“Maukah kamu menikah denganku?” Andra.
“Lupakan saja! Aku tidak akan menikah denganmu!” Anindya.
“Jauhi Andra! Sadarlah jika kamu itu janda anak satu dan Andra 8 tahun lebih muda darimu!” Rima.
Bagaimana Anindya menghadapi obsesi Andra? Apakah Anindya akan menerima Andra pada akhirnya?
.
.
.
Note: Cerita ini diadaptasi dari kisah nyata yang disamarkan! Jika ada kesamaan nama tokoh dan cerita, semuanya murni
kebetulan. Mohon bijak dalam membaca! Terima kasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Hari Pertama Bekerja
Kegiatan Anindya setiap selesai sholat subuh adalah menyiapkan sarapan dan pakaian kerja Faris. Hanya saja ada yang bertambah pagi ini, yaitu menyiapkan pakaian kerja untuk dirinya sendiri. Berhubung hari Senin, Anindya menyiapkan seragam kerja berupa setelah kemeja panjang warna putih dan celana kain berwarna hitam.
Faris yang telah selesai mandi pun mengenakan pakaian yang telah Anindya siapkan dan segera meminum kopi, kemudian ia memulai sarapan bersama. Seperti biasa, setelah selesai permainan Faris akan kembali menjadi suaminya yang lebih banyak diam dan terkesan dingin. Anindya masih sedikit belum terbiasa dengan sikap suaminya, sehingga ia hanya bisa menyesuaikan diri sebaik mungkin.
Sebelum berangkat bekerja, Faris hanya berpesan jika ia akan pulang terlambat malam ini karena ada acara perpisahan yang diadakan di mess karyawan untuk melepas beberapa temannya yang di mutasi ke pulau Sulawesi. Anindya menganggukkan kepalanya dan bertanya apakah perlu memasak untuknya nanti.
“Tidak perlu. Setiap acara perpisahan seperti itu akan ada acara makan-makan, kamu makanlah sendiri! Jika tidak ingin memasak, kamu bisa membeli di luar.”
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan!” kata Anindya sambil mencium punggung tangan Faris.
Setelah bayangan Faris menghilang, Anindya mulai mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu dan mencuci sebelum ia mandi dan berangkat bekerja. Ketika tepat pukul 7.30, Anindya sudah mengunci pintu rumah dan mulai melajukan motornya menuju Puskesmas. Sekitar 10 menit kemudian, ia pun sampai di Puskesmas Desa Batukajang.
“Anak baru?” tanya seorang perempuan paruh baya yang datang bersamaan dengan Anindya.
“Iya, saya Anindya.” Anindya mengulurkan tangannya yang kemudian disambut oleh perempuan tersebut yang mengenalkan namanya Fitri, bidan senior di Puskesmas.
“Ayo, kamu mau ke kantor pimpinan kan?” Anindya mengangguk.
Anindya mengikuti Ibu Fitri dari belakang dan mereka pun sampai di kantor dan melakukan absen, setelah itu beliau mengantarnya sampai di depan kantor pimpinan. Ibu Fitri pun meninggalkan Anindya untuk melakukan tugasnya karena sebentar lagi sudah masuk pukul 8, poli akan segera di buka.
“Masuk!” ucap seseorang di dalam ruangan setelah Anindya mengetuk pintu.
Pimpinan pusat pun mempersilahkan Anindya untuk duduk dan memberikan beberapa arahan untuk pekerjaan Anindya. Untuk sementara Anindya akan melakukan pekerjaannya di UGD sampai ruangan khusus untuk fisioterapi selesai direnovasi.
“Selamat bergabung!” seru pimpinan sambil mengulurkan tangannya.
“Terima kasih, Pak.” Anindya menjabat tangan pimpinan dan pamit.
Sebelumnya pimpinan meminta Anindya untuk mencari seseorang bernama Devi di kantor pusat informasi guna mendapatkan informasi mengenai keseluruhan Puskesmas dan alat yang bisa Anindya gunakan untuk menunjang pekerjaannya.
“Maaf, apa di sini ada yang namanya Bu Devi Saya fisioterapi baru.” Tanya Anindya pada seorang laki-laki dengan seragam perawat di dalam ruangan kantor.
“Mbak Devi ada yang cari!” teriak laki-laki tersebut, yang kemudian ditanggapi oleh seorang perempuan yang keluar dari dalam sebuah bilik.
“Anindya, fisioterapi?” tanya perempuan yang dipanggil Mbak Devi tersebut.
“Iya, Mbak.”
“Ayo!” Mbak Devi pun berjalan lebih dulu diikuti Anindya.
Mbak Devi memperkenalkan Anindya kepada seluruh karyawan yang ada di Puskesmas, kemudian membawanya ke UGD untuk bertemu karyawan yang ada di sana dan ke tempat penyimpanan untuk mengambil peralatan yang diperlukan. Setelah semuanya sudah, Mbak Devi meninggalkan Anindya di UGD.
Anindya dengan sabar standby di UGD dengan membaca beberapa kasus yang biasa ditangani di Puskesmas berkenaan dengan bidangnya. Tak lama kemudian, ada pasien ibu hamil masuk di UGD dengan keluhan ketuban pecah. Awalnya Anindya ingin membantu, namun ia urungkan karena beberapa perawat dan bidan dengan cepat menangani pasien tersebut.
Sampai istirahat makan siang tiba, Anindya telah memberikan terapi kepada beberapa pasien Anindya berencana untuk makan siang di pantri karena ia membawa bekal sisa masakannya pagi ini. Tetapi kemudian ia diajak bergabung dengan Ibu Fitri untuk makan bersama di taman karena beliau juga membawa bekal.
“Kamu asli mana?” tanya Ibu Fitri setelah mereka selesai makan siang.
“Asli Jogja, Bu.”
“Jangan panggil Ibu, panggil saja Mbak. Aku belum tua-tua amat!”
“Iya, Mbak Fitri.”
“Kamu setidaknya akan mengabdi selama satu tahun untuk bisa naik menjadi PNS, apa kamu sanggup tidak pulang ke Jogja?” tanya Mbak Fitri.
“Apakah sulit mendapatkan izin, Mbak?”
“Iya. Pimpinan sedikit perhitungan jika menyangkut izin, walaupun itu sudah termasuk kita sebagai karyawan. Kamu jangan sampai berada di sisi buruk pimpinan, jika tidak ingin dipersulit.”
“Baik, Mbak.” Anindya menganggukkan kepalanya.
Waktu makan siang selesai, mereka pun kembali ke pos masing-masing untuk melaksanakan tugas hingga tiba waktunya pulang. Anindya sampai di rumah sekitar pukul 3 sore karena ada pasien sakit pinggang masuk saat dirinya telah absen untuk pulang dan ia juga menyempatkan mampir di sebuah warung masakan padang untuk membeli makan. Setelah menanggalkan pakaian kerjanya, Anindya mandi sekaligus mencuci pakaiannya.
“Tok.. tok.. tok..” suara ketukan pintu, membangunkan Anindya yang ternyata tertidur setelah melaksanakan sholat isya’. Ia pun segera membukakan pintu dan memperlihatkan wajah Faris.
“Kenapa lama?”
“Maaf, Mas. Aku ketiduran.” Kata Anindya sambil mencium punggung tangan suaminya.
“Tolong siapkan, air panas untuk mandi.”
“Iya, Mas.” Anindya pun melakukan permintaan suaminya dan setelah air panas, ia memindahkannya ke ember yang ada di kamar mandi.
Faris yang telah menunggu pun masuk ke dalam kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Faris membuka tas kerjanya dan mengeluarkan snack box yang kemudian ia serahkan kepada istrinya. Anindya mengucapkan terima kasih dan segera menikmati isi snack box tersebut sebelum akhirnya menyusul Faris ke dalam kamar.
“Bagaimana hari pertama?” tanya Faris tanpa mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
“Baik, Mas. Semuanya baik-baik, bahkan tadi langsung dapat pasien.” Jawab Anindya yang mendekat seraya memijat pundak Faris.
“Baguslah! Semoga kamu betah. Apakah cuti depan kita bisa ke Jawa?” tanya Faris.
“Aku belum tahu, Mas. Kata salah satu rekan kerjaku, pengajuan izin sedikit susah, tapi bukan berarti tidak bisa. Nanti coba aku negosiasi karena aku punya hak cuti tahunan.” Jawab Qiana tanpa memperlihatkan keraguannya.
“Jika tidak bisa, jangan dipaksakan. Orang tuamu dan orang tuaku pasti bisa mengerti karena mereka juga yang mendukung kamu menjadi PNS.”
“Iya, Mas. Tapi aku tetap berharap bisa pulang karena aku sudah kangen sama Ibu dan Bapak.”
“Aturlah!” Kata Faris yang kemudian menutup ponselnya dan bersiap untuk tidur.
Anindya yang merasa diabaikan pun hanya bisa diam, menganggap jika suaminya lelah setelah bekerja seharian. Setelah memasangkan selimut untuk Faris, Anindya mengecek pintu dan mematikan lampu dan akhirnya menyusul suaminya untuk tidur karena ia juga merasakan lelah. Ia berharap bisa terbiasa dengan sikap suaminya yang seperti ini.
Aku ingin lihat rumah tangga penghianat ama pelakor ..
orang macam faris itu sembuhnya kl jd gembel atau penyakitan
kl pintar pasti cari bukti bawa ke pengadilan biar kena hukuman tu si Faris.