Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 5
"Lalu maksud kamu gimana, Rey”tanyaku.
"Sesungguhnya aku tidak bisa melupakanmu, Jane. Begitu tahu kamu akan bertugas di kantor yang sama denganku lagi, jantungku langsung berdegup kencang. Aku seketika bahagia karena bisa bersama kamu lagi. Kupikir ketika aku menjalin hubungan dengan orang lain, aku bisa melupakanmu. Tapi ketika melihatmu di restoran tadi, aku sadar kamu masih memenuhi ruang di hatiku. Walaupun aku tahu, kamu bagaikan bintang yang tak mungkin kugapai." Ucapan Reyvan membuatku menoleh padanya dan menatap matanya. Dia pun balas menatapku, hatiku berdesir namun aku tidak tahu harus berkata apa. Aku diam dan mengalihkan pandanganku ke depan.
“Jane, beri aku kesempatan mendampingimu. Tolong beri aku ruang untuk mengisi hatimu juga. Aku tulus sama kamu, Jane. Dan jika kedepannya nanti Rachel mengetahui kisah diantara kita dan dia confirm ke kamu, tolong kamu jangan sampai terintimidasi olehnya. Aku putus dengannya bukan karena kamu. Meski saat bersamanya pun aku masih memikirkanmu, tapi bukan kamu penyebab hubungan kami selesai.”
Reyvan meraih kembali tanganku dan meremasnya, aku membiarkannya entah karena dorongan apa. Bahkan ketika dia menarikku dengan lembut mendekat kepadanya, aku terdiam dan pasrah. Dan entah dorongan darimana pula, Reyvan tiba-tiba menarik kepalaku ke arah wajahnya dan mengecup keningku dengan lembut. Aku tersentak dan mendongakkan kepala menghadap wajahnya. Mata kami bertemu dan tanpa perlawanan, aku membiarkan Reyvan melumat bibirku dengan penuh kerinduan. Sekian detik aku menikmatinya. Ciuman hangat yang lima belas tahun tidak pernah kurasakan. Namun entah mengapa tiba-tiba wajah Antonio berkelabat di benakku. Spontan kudorong dada Reyvan dan menjauh darinya. Aku turun bergegas dari mobil dan mengabaikan teriakan Reyvan. Aku berlari masuk ke halaman gedung kost, dan menuju kamarku di lantai dua. Syukurlah Reyvan tidak mengejarku.
Kuhempaskan tubuhku di kasur dan merutuki diriku sendiri mengapa sampai terhanyut dengan suasana dan pengakuan Reyvan. Bagaimana mungkin aku sampai membiarkan Reyvan menciumku. Arrghh… kesalku dalam hati. Aku ingin dia tetap menjadi sahabatku. Aku tidak mau lagi berkomitmen dengan lelaki manapun. Aku sudah cukup bahagia dengan kesendirianku, dengan pekerjaanku, dengan kehidupanku saat ini. Aku tidak ingin lebih dari yang sekarang.
Tampaknya aku sampai di kantor lebih awal dari pegawai lainnya. Ruangan masih kosong dan hanya ada beberapa office boy yang sedang sibuk mondar-mandiri membereskan ruangan. Di depan pintu masuk, buru-buru seorang security berpakaian safari hitam mencegatku.
“Selamat pagi, Ibu, ada yang bisa dibantu ?”tanyanya dengan sopan.
“Selamat pagi. Saya pegawai yang baru dimutasi ke kantor ini,”jawabku sambil menunjukkan nametag-ku padanya. Dia melihat sebentar dan segera mengembalikannya kepadaku.
“Oh, Ibu Janetta yang dari kantor Jogja ya. Silahkan masuk Bu, saya tunjukkan meja Ibu,”
Aku tersenyum karena ternyata dia sudah di-briefing oleh bagian kepegawaian kalau hari ini akan ada pegawai baru dari Jogja. Aku mengikuti langkahnya menuju ruangan yang akan menjadi tempatku berkutat menghadapi angka-angka yang memusingkan kepala. Ruanganku ada di sebelah kanan pintu masuk, terdapat sepuluh partisi dengan kursi, meja, lemari kecil, lengkap dengan personal computer di atas meja masing-masing. Di ujung ruangan terdapat pintu menuju ruangan supervisor. Kutebak itu adalah ruangan Pak Pranda, Supervisor timku. Aku pernah menjadi anggota tim Pak Pranda saat di Manado dulu. Orangnya sangat ramah dan santai, cenderung ceroboh dan suka sekali disanjung. Duh, ribet nih menghadapi klien dengan atasan seperti ini, batinku. Aku belum mengenal anggota lainnya, karena Reyvan berada di tim lain. Setahuku, ada tiga orang termasuk aku yang dimutasikan ke Medan.
Aku duduk di partisi yang sudah ada papan namaku di atas mejanya. Meski belum disambut resmi, tidak ada salahnya aku membereskan perintilan-perintilan kecil yang akan kubutuhkan di mejaku. Tidak banyak, hanya beberapa alat tulis, kalender, cermin kecil dan bunga sintetis di dalam vas kecil. Kususun rapi di atas mejaku dan kucoba mulai menyalakan computer dihadapanku. Belum seratus persen computer menyala, beberapa orang sudah memasuki ruangan dan menuju meja masing-masing. Aku berdiri menyongsong mereka dan memperkenalkan diri. Saat berbasa-basi memperkenalkan diri, Pak Pranda datang dan mengajakku masuk ke ruangannya. Kami bicara dan bernostalgia kala kami bertugas di Manado dulu.
“Jadi gimana, sudah berkeluarga? Sudah berapa anakmu?”tanyanya dengan santai.
Aku tersenyum dan berusaha menjawab dengan sesantai mungkin, walau dalam hati sebal karena kalau bertemu dengan rekan kerja lama pasti ini jadi topik pertanyaan.
“Masih bahagia sendiri, Pak”jawabku dengan senyum sumringah.
“Wah, kamu ini masih saja betah sendirian. Di kantor sini masih ada beberapa anak lajang, nanti saya kenalkan kamu sama mereka. Tenang saja, mereka baik dan tidak kalah tampan juga. Sama seperti saya waktu muda dulu, hahahaha..”canda Pak Pranda dan kuikuti pula dengan tawa, meski hanya pura-pura.
Jam sudah menunjukkan pukul dua belas siang. Kuperhatikan rekan-rekan satu timku sudah mulai keluar untuk mencari makan siang. Tak ada seorangpun yang mengajakku. Aku geli sendiri memikirkannya. Tiga orang dari tim ini adalah kelompok bapak-bapak usia tiga puluhan, sudah menikah dan memiliki anak, tentu saja sungkan mengajakku, yang nota bene senior mereka namun sayangnya masih gadis. Empat orang adalah anak-anak muda yang baru saja mulai bekerja, tentu lebih sungkan lagi mengajakku. Dua lagi adalah ibu-ibu muda yang sepertinya harus menyempatkan diri pulang ke rumah di jam istirahat. Dan tentu saja Pak Pranda masih dibekali dengan makanan sehat ala rumahan dari nyonya tercinta. Aku bingung, perutku sudah mulai berbunyi, karena tadi pagi pun aku hanya sarapan roti dari kost. Aku mulai mengecek ponselku dan membuka aplikasi pemesanan makanan online. Sebelum aku memilih makanan apa yang akan kupesan, Reyvan sudah berdiri di depanku.