Santi sigadis kecil yang tidak menyangka akan menjadi PSK di masa remajanya. Menjadi seorang wanita yang dipandang hina. Semua itu ia lakukan demi ego dan keluarganya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lianali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4_Tawaran Tak Terduga
"Lu tidur, Na?" tanya Santi karena tidak mendengar jawaban dari Ratna yang duduk di sebelahnya.
"Ya enggaklah. Gue lagi menikmati suasana taman ini. Ternyata enak juga ya duduk di sini pas jam pelajaran, sepi, sejuk, dan damai," jawab Ratna santai.
"Dunia ini kejam ya, Na, bagi orang miskin kayak gue," ucap Santi dengan suara penuh keluhan. Bagi Santi, Ratna adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa menerima dirinya tanpa menghakimi.
"Nggak juga, San," jawab Ratna dengan nada datar.
"Lu bisa ngomong gitu karena lu hidup nyaman di tengah keluarga yang kaya, beda sama gue yang setiap hari harus bergulat dengan kekurangan," balas Santi. Di matanya, Ratna adalah gambaran kehidupan yang ideal, jauh dari penderitaan yang ia alami.
"Santi, gue juga pernah, kok, di posisi kayak lu," ujar Ratna tiba-tiba, membuat mata Santi terbelalak.
"Maksud lu, orang tua lu dulu miskin juga? Ceritain, dong, gimana cara mereka bangkit. Nanti gue kasih tahu ke orang tua gue, siapa tahu kita juga bisa kaya kayak keluarga lu," jawab Santi penuh semangat.
Ratna membuka matanya dan membetulkan posisi duduknya. Tatapannya kini serius, membuat Santi terdiam.
"Lu mau denger cerita gue nggak?" tanya Ratna.
"Kalau cerita soal perjuangan orang tua lu bangkit dari kemiskinan, jelas mau, Na," jawab Santi antusias.
"Bukan itu, tapi cerita yang lain," kata Ratna.
Ekspresi Santi berubah lesu. "Cerita apaan? Kalau horor, nggak dulu, deh. Gue lagi nggak butuh hiburan begitu."
Ratna tertawa kecil. "Gue juga nggak tolol, kok, ceritain horor di saat hidup lu udah horor gini."
"Terus cerita apaan, Na?" Santi kembali bersandar di kursi taman sambil memejamkan mata, merasa kelelahan secara fisik dan mental.
"Janji dulu, lu nggak bakal kasih tahu cerita ini ke siapa pun," ucap Ratna.
"Iya, gue janji," jawab Santi malas.
"Nggak percaya," Ratna menatap Santi dengan tatapan penuh curiga.
"Udah, deh, kalau gitu balik aja ke kelas, gue mau sendiri," jawab Santi kesal.
"Yah, sensi amat. Pantesan aja di kelas lu nggak punya temen," goda Ratna sebelum melanjutkan, "Gini, lu mau nggak nemenin gue kerja sepulang sekolah nanti? Gue bayar seratus ribu. Mau nggak?"
Santi membuka mata. "Serius? Banyak banget bayarannya. Emangnya kerja apaan?"
"Nanti juga lu tahu. Kalau mau, gue tunggu di gerbang belakang sekolah sampai jam empat lewat lima belas. Kalau lu nggak datang, gue anggap lu nggak tertarik, dan uangnya hangus," jelas Ratna.
"Kerjaan apaan sih, Na? Gue serius nanya ini," tanya Santi penasaran.
"Udah, nggak usah banyak tanya. Yang penting gue tunggu di gerbang belakang. Kalau telat, ya, gue tinggal. Gue balik ke kelas dulu, ya. Oh, itu makanan yang gue bawain, habisin. Biar lu ada tenaga buat nangisin hidup lu," Ratna berlalu sambil melambaikan tangan.
"Dasar lu, ya. Tapi makasih buat makanannya!" teriak Santi, sedikit terhibur.
"Iya, sama-sama," balas Ratna tanpa menoleh.
Santi memandangi Ratna yang semakin menjauh. Tangannya meraih kantong plastik berisi makanan yang ditinggalkan Ratna.
"Baik banget dia, mau beliin gue makanan sebanyak ini. Enak banget, ya, punya orang tua kaya kayak dia," pikir Santi sambil membuka bungkus kentang goreng dan mulai memakannya.
Santi menghela napas panjang. Ia masih enggan kembali ke kelas. Baginya, tidak ada gunanya belajar ketika ujian pun tidak bisa ia ikuti. Duduk di taman ini adalah caranya menikmati waktu sebelum ia benar-benar harus meninggalkan sekolah ini untuk selamanya.
Pandangannya tertuju pada kursi besi yang ia duduki. Dengan ujung jarinya, ia mengelus-elus permukaan kursi itu. "Kursi ini lebih lama di sini daripada gue. Sehina inikah menjadi orang miskin, sampai-sampai nggak diberi kesempatan untuk menuntut ilmu di negeri sendiri?" ucapnya lirih.
Angin sore bertiup lembut di taman, namun hati Santi tetap terasa berat. Di tengah segala kekalutan, tawaran Ratna tadi mulai membuat pikirannya sedikit terusik. "Apa, ya, kerjaan Ratna? Kok dia berani bayar seratus ribu?" batinnya penasaran.