seorang wanita muda yang terjebak dalam kehidupan yang penuh rasa sakit dan kehilangan, kisah cinta yang terhalang restu membuat sepasang kekasih harus menyerah dan berakhir pada perpisahan.
namun takdir mempertemukan mereka kembali pada acara reuni SMA tujuh tahun kemudian yang membuat keduanya di tuntun kembali untuk bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 15
Ayana Duduk di sofa, mengenakan pakaian sederhana namun terlihat letih. Devano duduk di depannya, raut wajahnya terlihat serius. Ayana menggenggam tangan Devano dengan lembut, mencoba mencari simpati.
Ayana dengan suara lembut memberanikan diri berdiskusi dengan devano
"Devano, aku mohon... Aku tidak butuh penjagaan seperti ini. Rumah ini terasa seperti penjara. Aku ingin sedikit kebebasan... Aku butuh ruang untuk bernapas."
Devano menatap Ayana dalam diam. Ia menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya.
Devano dengan nada tegas, namun lembut
"Ayana, aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Aku hanya ingin melindungimu. Aku tidak bisa membiarkan Biantara atau siapa pun mendekatimu lagi."
"Devano, aku tahu kau peduli padaku, tapi ini bukan caranya. Penjagaan seperti ini justru membuatku semakin tertekan. Tolong... Percayalah padaku."Ayana memohon, dengan suara bergetar
Namun, Devano menggelengkan kepala. Tangannya mengelus punggung tangan Ayana, tapi sikapnya tetap keras.
"Ayana, kau mungkin merasa ini berlebihan, tapi aku tahu apa yang terbaik untuk kita. Aku tidak akan mengambil risiko kehilanganmu."
Mendengar itu, Ayana terdiam. Hatinya terasa semakin jauh dari Devano. Ia menarik tangannya perlahan dari genggaman suaminya, dan menunduk, mencoba menyembunyikan kesedihannya.
Jihan, sahabat Ayana, duduk di depan Biantara. Ekspresinya menunjukkan kebingungan sekaligus kekhawatiran. Biantara, dengan raut wajah serius, menjelaskan rencananya.
"Jihan, aku butuh bantuanmu. Aku tahu kau sahabat dekat Ayana, dan kau satu-satunya orang yang bisa aku percaya sekarang. Aku ingin kau menemuinya."
"Menemui Ayana? Tapi kenapa harus aku? Apa yang sebenarnya terjadi, Bian?"jihan merasa kebingungan
Biantara menghela napas, suaranya penuh rasa bersalah
"Ayana sedang berada dalam situasi yang sulit. Devano telah memasang penjagaan ketat di rumahnya, sepertinya dia tahanan. Aku tidak bisa menemuinya secara langsung tanpa memperburuk situasi. Aku hanya ingin tahu apa yang Ayana pikirkan... Apakah dia benar-benar bahagia, atau apakah ini semua membuatnya semakin tertekan."
Jihan terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja ia dengar. Ia tahu Ayana sedang melalui masa sulit, tapi tidak menyangka keadaannya seburuk itu.
"Bian, jika Ayana tahu aku melibatkanmu dalam hal ini, dia mungkin akan merasa terpojok. Aku tidak ingin dia merasa dikhianati."tutur jihan
Biantara berkata dengan nada meyakinkan
"Aku tahu, Jihan. Tapi ini bukan tentang aku. Ini tentang Ayana. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Kau tahu dia bukan tipe orang yang akan berbicara tentang perasaannya dengan mudah."
Jihan menghela napas, masih ragu, tapi ia tahu betapa Ayana membutuhkan seseorang di sisinya.
"Baiklah, aku akan mencoba. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Bian. Jika Ayana merasa tidak nyaman, aku tidak akan memaksanya."
Biantara tersenyum tipis, penuh rasa terima kasih
"Itu sudah lebih dari cukup. Terima kasih, Jihan."
Jihan tiba di depan rumah dengan penjagaan yang ketat. Setelah mendapat izin masuk, ia menemui Ayana di rumah kaca yang penuh mawar hitam. Ayana terlihat terkejut sekaligus lega melihat sahabatnya.
Ayana tersenyum samar
"Jihan... Aku tidak menyangka kau datang."
Jihan tersenyum hangat, duduk di sebelah Ayana
"Tentu saja aku datang. Aku merindukanmu, Ayana. Kau bagaimana? Apa kau baik-baik saja?"
Ayana terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke bunga mawar di depannya. Suaranya terdengar pelan dan penuh beban.
"Aku tidak tahu, Jihan... Kadang aku merasa seperti tidak punya kendali atas hidupku sendiri. Semua ini terasa... terlalu berat."
Jihan mengambil tangan Ayana, menggenggamnya erat
"Ayana, kau tahu aku di sini untukmu, kan? Kau tidak harus menghadapi semua ini sendirian."
Ayana terisak pelan, dan Jihan memeluknya dengan penuh kehangatan. Di dalam hatinya, Jihan tahu Ayana membutuhkan lebih dari sekadar dukungan. Namun, ia masih ragu apakah melibatkan Biantara adalah solusi terbaik.
Cahaya matahari sore masuk melalui dinding kaca, memantulkan kilauan lembut pada mawar hitam yang terawat rapi. Ayana duduk di bangku kayu kecil, menatap kosong pada bunga-bunga di depannya. Jihan duduk di sebelahnya, memandangi wajah sahabatnya yang terlihat letih dan rapuh.
"Ayana, apa kau benar-benar baik-baik saja? Aku tahu kau selalu berusaha terlihat kuat, tapi aku bisa merasakan ada yang berbeda darimu."suara lembut, jihan penuh perhatian
Ayana tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang, lalu menggenggam jemarinya sendiri, mencoba menenangkan kegelisahannya.
"Aku merasa seperti... hidupku bukan milikku lagi, Jihan. Semua ini... penjagaan, tuntutan, tekanan... Aku merasa terkurung." Ayana menjawab lirih
Jihan menatap Ayana dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu Ayana tidak pernah mudah membuka diri, dan kata-kata ini terasa seperti jeritan hati yang selama ini dipendam sahabatnya.
Jihan menyentuh tangan Ayana dengan lembut
"Ayana, kau tidak sendiri. Aku ada di sini untukmu. Apa pun yang kau rasakan, kau bisa menceritakannya padaku."
Ayana menoleh ke arah Jihan, dan air mata yang sejak tadi ditahannya mulai mengalir. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berbicara.
"Jihan, aku lelah... Aku tidak tahu harus bagaimana. Devano berubah... Dia bukan lagi tempatku merasa aman. Tapi aku juga tidak bisa pergi. Aku terjebak..."
Melihat sahabatnya menangis, Jihan tidak bisa menahan dirinya lagi. Ia berdiri dan memeluk Ayana erat, membiarkan Ayana meluapkan semua kesedihannya. Ayana menangis tersedu-sedu di pelukan Jihan, sementara Jihan mengelus punggungnya dengan lembut, mencoba menenangkan.
Jihan berbisik, penuh kasih
"Ayana, kau berhak bahagia. Jangan memendam semua ini sendirian. Jika kau butuh aku, aku akan selalu ada untukmu."
Ayana membalas pelukan Jihan, merasa sedikit beban di hatinya berkurang. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa didengarkan tanpa dihakimi.
"Terima kasih, Jihan. Aku benar-benar tidak tahu harus ke mana jika tidak ada kau."suara Ayana bergetar, di antara tangisnya
Jihan melepaskan pelukan perlahan, menatap Ayana dengan mata yang penuh kasih sayang. Ia tahu Ayana butuh lebih dari sekadar kata-kata. Dalam hati, Jihan berjanji untuk tidak membiarkan Ayana menghadapi ini sendirian.
Senja mulai memudar, menggantikan cahaya alami dengan sorotan lampu temaram di langit-langit. Devano baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja. Ia langsung mendekati Ayana yang sedang duduk di sofa, mencoba menikmati teh hangatnya.
Devano suara dingin, nada penuh kecurigaan
"Ayana, aku dengar Jihan datang hari ini. Apa yang dia lakukan di sini?"
Ayana menatap Devano dengan ekspresi bingung, tapi ia mencoba menjawab dengan tenang.
"Jihan hanya datang untuk melihatku. Dia sahabatku, Dev. Tidak ada maksud lain."
"Sahabat? Apa dia datang untuk membicarakan sesuatu? Kenapa dia tiba-tiba muncul? Kau tahu aku tidak suka orang datang tanpa alasan."Devano menarik kursi di depannya, menatap Ayana tajam
Ayana terdiam sejenak, mencoba memahami arah pembicaraan Devano. Ia tahu Devano semakin protektif, tapi ia tidak ingin memperkeruh suasana.
"Dia hanya khawatir padaku, Dev. Dia tahu aku tidak punya banyak waktu untuk keluar rumah atau bersosialisasi. Itu saja."ayana berusaha sabar
Devano menghela napas panjang, suaranya mulai meninggi
"Khawatir? Khawatir tentang apa? Apa yang dia tanyakan padamu? Kau tahu, Ayana, aku hanya ingin memastikan tidak ada yang mencoba ikut campur dalam urusan kita."
Ayana mulai merasa tersudut. Ia meletakkan cangkir tehnya, menatap Devano dengan mata yang penuh emosi.
tegas Ayana di balik nada lembutnya berkata
"Devano, Jihan tidak ikut campur. Dia hanya teman yang peduli. Aku butuh seseorang untuk bicara, dan aku merasa nyaman dengannya. Apa itu salah?"
Devano terdiam sesaat, matanya menyipit seakan mencoba membaca maksud Ayana. Namun, ia tetap tidak bisa menahan rasa curiganya.
Devano mencoba menetralisir emosinya tapi tetap bernada dingin
"Ayana, aku ini suamimu. Kalau kau punya masalah, kau seharusnya bicara padaku, bukan orang lain. Apa kau tidak percaya padaku?"
Ayana suara lirih, menunduk
"Bukan itu, Dev. Tapi kau sendiri tahu... Kau bukan lagi Devano yang dulu. Aku tidak bisa bicara padamu seperti sebelumnya."
Devano terlihat terkejut mendengar jawaban itu. Untuk sesaat, ia tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata Ayana terasa seperti tamparan keras baginya.
"Apa maksudmu? Aku berubah? Ayana, semua yang kulakukan ini untuk melindungimu. Untuk menjaga kita."Devano menurunkan suaranya rendah, hampir seperti berbisik
mata Ayana berkaca-kaca, dengan suara gemetar
"Melindungi? Atau mengurungku? Aku tidak tahu lagi, Dev. Aku merasa semakin jauh darimu."
Devano menatap Ayana dengan ekspresi campur aduk—antara marah, sedih, dan bingung. Namun, sebelum ia sempat menjawab, Ayana berdiri dan pergi meninggalkannya menuju kamar, meninggalkan Devano sendirian di ruang tamu dengan pikirannya yang penuh.
Devano yang menatap kosong ke arah pintu kamar Ayana, sementara suara detik jam terdengar samar di latar belakang.