Tak terima lantaran posisi sebagai pemeran utama dalam project terbarunya diganti sesuka hati, Haura nekat membalas dendam dengan menuangkan obat pencahar ke dalam minuman Ervano Lakeswara - sutradara yang merupakan dalang dibaliknya.
Dia berpikir, dengan cara itu dendamnya akan terbalaskan secara instan. Siapa sangka, tindakan konyolnya justru berakhir fatal. Sesuatu yang dia masukkan ke dalam minuman tersebut bukanlah obat pencahar, melainkan obat perang-sang.
Alih-alih merasa puas karena dendamnya terbalaskan, Haura justru berakhir jatuh di atas ranjang bersama Ervano hingga membuatnya terperosok dalam jurang penyesalan. Bukan hanya karena Ervano menyebalkan, tapi statusnya yang merupakan suami orang membuat Haura merasa lebih baik menghilang.
****
"Kamu yang menyalakan api, bukankah tanggung jawabmu untuk memadamkannya, Haura?" - Ervano Lakeswara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 06 - Nomor Tak Dikenal
Setelah sebelumnya sepakat untuk merahasiakan semua yang terjadi lebih dulu, Haura dan Abimanyu segera mencari cara agar kakaknya tidak menaruh curiga.
Abimanyu yang terlahir kreatif dan pemikir handal tanpa pikir panjang mengeluarkan jaket couple dan meminta Haura untuk mengganti pakaiannya segera.
Tak hanya Haura, tetapi dia juga melakukan hal yang sama. Hanya tersisa beberapa waktu saja, Abimanyu dan Haura seolah dikejar singa hingga selesai persiapan mereka.
"Sudah?"
"Hem, hapus air matamu dan ingat ... bersandiwaralah sebaik mungkin agar Kak Hudzai percaya," tegas Abimanyu yang kemudian Haura angguki segera.
Bukan hal sulit baginya untuk bersandiwara dan terlihat baik-baik saja. Selama dia sudah bergelut di dunia entertainment, kemampuan akting Haura sebenarnya cukup mumpuni.
Hanya saja, di mata Ervano seolah berbeda dan dianggap tidak pantas sampai diberikan peran pembantu bisu hanya karena Haura kerap lupa dialog.
Sebelum membuka pintu, dia mempersiapkan diri lebih dulu untuk menyambut kedatangan Hudzaifah. Berbeda dengan Abimanyu yang terlihat nyata kerasnya, Hudzai bisa marah dengan cara tak biasa dan kerap menyiksa batinnya.
Karena itulah, tekad Haura untuk berpura-pura tidak bercanda. Begitu pintu terbuka, dia memperlihatkan senyum terbaik meski dengan mata yang kini memerah.
"Kau apakan?" tanya Hudzaifah menatap Abimanyu curiga, dan Haura sudah menduga bahwa hal semacam ini akan terjadi.
Kakaknya salah paham dan menduga Abimanyu berulah. Jika biasanya Haura akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuat Abimanyu terpojokkan, sekarang justru sebaliknya.
Sebisa mungkin dia mencari jawaban yang sekiranya bisa menyelamatkan Abimanyu dan juga dirinya sendiri. "Kak Hudzai jangan marah, Abimanyu tidak berbuat jahat padaku sumpah!!"
"Lalu kenapa menangis?" tanya Hudzai lagi dan jantung Haura berdegub tak karu-karuan.
Padahal berbohong dan mengarang cerita bukan kali pertama, tapi sensasinya luar biasa. Haura sampai panas dingin saking khawatir Hudzai menangkap kebohongannya.
"Oh ini?" Haura sungguh tak sadar bahwa air matanya masih terlalu kentara hingga dia seka secepatnya. "I-ini karena drama yang kami tonton barusan, cerita sedih sekali ... istrinya meninggal dunia di hari pernikahan mereka."
Tak punya alasan lain, Haura mengarang cerita yang sama sekali tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Sejak kapan Abimanyu suka menonton drama? Seumur hidup, rasanya tidak pernah.
Hudzai yang mendengar juga tampaknya tak langsung percaya. Dia masih terdiam dan menatap mereka secara bergantian seakan tengah meyakinkan diri.
Tentu saja sikap Hudzai yang begitu membuat Haura was-was. Terlebih lagi, sewaktu Hudzai melontarkan pertanyaan yang membuatnya semakin gelagapan.
"Apa benar tadi malam kamu tidur di rumah temanmu?"
"Iya, kenapa memangnya?"
"Bagus!! Lalu sudah izin papa?" selidik Hudzai yang kemudian Haura angguki segera.
"Sudah, sama Abimanyu juga izin ... tanya saja."
Mata tajam kakanya kini beralih pada Abimanyu. "Benar dia juga sudah izin padamu?"
Haura memejamkan mata, takut sekali sampai Abimanyu berubah pikiran dan justru mengungkapkan yang sebenarnya.
"Iya, dan aku sendiri yang mengantarnya ke rumah Viona."
Huft, helaan napas panjang adalah pertanda selega apa Haura saat ini. Jawaban Abimanyu sungguh membantunya, Haura selamat kali ini.
Hudzai juga terlihat percaya, dan kembali pada tujuan lain yang mana ada masalah pribadi di antaranya dan Abimanyu. Sikap tengil Abimanyu yang kerap bertingkah memang tidak dapat lagi berubah.
Tanpa takut, Abimanyu kembali menabur benih keributan dan membuat sang kakak tersulut emosi karena menciptakan drama seolah terdzalimi hingga membuat pasangan suami istri itu salah paham.
Untuk masalah ini, Haura ikut tanggap karena sedikit tak suka dengan kebiasaan Abimanyu. Seolah lupa dengan masalahnya sendiri, Haura nyerocos panjang lebar pasca Hudzai angkat kaki.
Sampai-sampai, Abimanyu heran kenapa Haura masih bisa menyibukkan diri dengan masalah orang lain, sementara masalahnya sendiri masih belum menemukan titik terang.
"Ra, kamu serius masih mampu mengomel sekarang?" tanya Abimanyu sampai melongo lantaran tidak menyangka akan apa yang dia lihat dan dengar.
"Iya!! Karena memang pantas diomelin. Kalau sama Mama paling dimaklumin, padahal itu bikin kamu jadi manja dan merasa ada yang membela."
"Ck, sudahlah, Ra ... Kak Hudzai saja tidak memperpanjang masalahnya, kenapa jadi kamu yang marah?"
"Justru karena itu aku ikutan marah, Kak Hudzai hanya menegur, tidak sampai menghajarmu sebagaimana yang dia katakan," balas Haura lagi yang kemudian berakhir senyum tipis di wajah Abimanyu.
"Tenang saja, Kak Hudzai mana tega memukulku ... dia sayang setengah mat_"
Bugh
"Aaaarrggghh!!" teriak Abimanyu sembari menahan sakit di keningnya.
Hudzaifah yang tadi dia kira telah pulang ternyata masih berniat menyerang dengan melemparkan bisbol ke arahnya.
Tidak hanya satu, tapi ada tambahan yang membuat Abimanyu mimisan. Haura yang menjadi saksi pertikaian mereka sama sekali tidak bisa tertawa dan segera memberikan tisue sebagai pertolongan pertama.
.
.
Sempat tertunda karena kemarahan Hudzai, usai memastikan hidungnya baik-baik saja, Abimanyu kembali fokus dengan rencananya.
Meski hanya untuk bertemu Ervano tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, Abimanyu tetap bersiap semaksimal mungkin tentu saja.
"Bim, kenapa harus bawa itu?" tanya Haura menatap pi-sau lipat yang dia masukkan ke dalam saku jaketnya.
"Siap-siap saja, mana tahu butuh."
"Sudah kukatakan jangan melampaui batas, Bim," tutur Haura menatap Abimanyu penuh permohonan.
Jika sudah melihat saudaranya mengeluarkan senjata segala, jelas saja Haura takut. Apalagi, mengingat siapa Ervano yang tidak mungkin tinggal diam, Haura takut nanti akan ada perkelahian.
"Ini tidak melampaui batas, Haura, sebagai lelaki aku harus waspada ... apalagi di saat-saat seperti ini. Kamu sudah memberikan izin, jadi jangan banyak protes dan cukup tenangkan dirimu di rumah."
"Tapi_"
"Jangan takut, percayakan saja padaku dan sekarang lebih baik kamu berpikir rencana kedepannya bagaimana, paham!" pungkas Abimanyu berlalu pergi meninggalkan Haura yang seketika hanya bisa terduduk lemas di tepian tempat tidur.
Saat ini, dia masih berada di kamar Abimanyu sejak memastikan keadaan pria itu sebelum pergi.
Dalam diam, Haura memikirkan banyak hal. Bukan hanya tentang diri sendiri, tapi kini dia juga menerka-nerka apa yang akan terjadi pada kakaknya setelah ini.
Wajah garang Ervano seketika terbayang, senyum tipis dan caranya bicara bicara teramat nyata di benak Haura.
Sungguh, pikirannya kali ini benar-benar kacau balau. Dan, saat itu pula Haura mendapati notifikasi pesan singkat dari nomor yang kebetulan sama sekali tidak dia kenali.
|| Apa masih sakit?
.
.
- To Be Continued -