Setelah dituduh sebagai pemuja iblis, Carvina tewas dengan penuh dendam dan jiwanya terjebak di dunia iblis selama ratusan tahun. Setelah sekian lama, dia akhirnya terlahir kembali di dunia yang berbeda dengan dunia sebelumnya.
Dia merasuki tubuh seorang anak kecil yang ditindas keluarganya, namun berkat kemampuan barunya, dia bertemu dengan paman pemilik tubuh barunya dan mengangkatnya menjadi anak.
Mereka meninggalkan kota, memulai kehidupan baru yang penuh kekacauan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Sunyi, gelap, ringan, dan hening.
Hanya itu yang dirasakan Carvina saat perlahan kesadarannya pulih. Suara berirama nyaring mulai menyusup ke telinganya, semakin jelas seiring bau tajam obat-obatan yang menusuk indera penciumannya.
Kegelapan yang menyelimuti berubah menjadi cahaya terang, membuat matanya tidak nyaman. Perlahan, dia membuka mata. Namun, bukannya ketenangan, suara panik langsung menyambutnya, menggema di sekeliling.
"Dia siuman! Cepat panggil dokter!"
"Syukurlah! Harapan kita tidak sia-sia!"
Carvina memicingkan mata, mencoba memahami situasinya. Hal pertama yang dia lihat adalah ruangan serba putih. Orang-orang dengan wajah asing mengerubunginya, menatap dengan ekspresi campuran antara cemas dan khawatir.
Tenggorokannya kering, dan tubuhnya terasa lemah. Dia menggerakkan kepala, mencari sesuatu untuk diminum.
"Kau sudah sadar, Nak? Bagaimana perasaanmu?" tanya seorang wanita paruh baya dengan suara lembut. Namun, sesuatu yang lain menyusup di telinga Carvina, membuatnya menegang.
"Sialan! Kenapa anak ini tidak cepat mati?!"
Mata Carvina membelalak kecil, menatap wanita itu dengan alis berkerut. Wanita tersebut terlihat tersenyum ramah di luar, tetapi suara batinnya menusuk seperti belati.
Ketegangan itu terputus ketika seorang pria berseragam dokter diikuti perawat masuk ke ruangan. Dokter itu tersenyum ramah pada Carvina.
"Kau sudah sadar, Nak? Bagaimana keadaanmu?" Tanya dokter itu ramah sambil memeriksa nya.
"Air..." Lirihnya serak.
Dokter itu segera mengambil sebuah botol air minum yang terletak di atas nakas, membuka tutupnya laku menyerahkan pada gadis kecil itu. Matanya menatap lembut gadis kecil yang minum dengan rakus.
"Siapa namamu, Nak?" tanyanya lembut.
Carvina terdiam dan menyerahkan botol air yang tersisa setengah pada pria berjas dokter itu. Dia tidak mungkin mengatakan bahwa dirinya adalah Carvina Amarillia Azhura. Tubuh ini bukan miliknya, dan ingatan pemilik tubuh ini tidak memberinya nama. Apa mungkin dia memang tidak pernah diberi nama?
Melihat Carvina hanya menggeleng, sang dokter melanjutkan pertanyaannya. "Kalau begitu, apakah kau mengenal mereka?"
Carvina mengalihkan pandangannya ke wajah-wajah yang mengelilinginya. Wajah mereka pias seketika. Mereka saling melirik, mencari siapa yang akan menjadi tumbal pertanyaan ini.
Dia menggeleng lagi.
Raut prihatin muncul di wajah dokter itu. "Gadis sekecil ini pasti telah mengalami sesuatu yang mengerikan," pikirnya sambil melirik kondisi fisik Carvina. Tubuhnya kurus, penuh bekas luka, memar, dan jelas kekurangan nutrisi. Bahkan, beberapa waktu lalu, kepala gadis ini mengalami pendarahan hebat hingga nyawanya hampir tak bisa diselamatkan.
"Kau sungguh tidak mengenal mereka?" tanya sang dokter lagi, memastikan.
Carvina mengangguk mantap. Dalam ingatan pemilik tubuh ini, orang-orang itu adalah monster. Tidak ada sedikit pun kenangan manis di memorinya.
Bahkan, dalam pengamatannya melalui cermin pria iblis, ayah dari tubuh ini tidak pernah sekalipun memeluk atau menginginkan kelahirannya. Yang ada hanya kebencian.
"Anak sialan itu benar-benar menyusahkan!"
"Kenapa dia tidak mati saja menyusul ibunya?!"
Suara-suara itu terus terngiang di kepalanya, membuat Carvina memutar pandangan. Dia menangkap tatapan dingin dua wanita yang menatapnya penuh kebencian. Seringai kecil terbit di sudut bibirnya, nyaris tak terlihat.
"Apa dia benar-benar tidak tahu namanya?" Suara batin seorang pria terdengar samar. Pria itu tampak menunduk dengan ekspresi bersalah.
"Sebenarnya apa yang terjadi pada anak sekecil ini?" gumam batin sang dokter yang turut didengar Carvina.
Tiba-tiba, Carvina mengangkat wajah dengan mata berbinar. "Dokter, aku baru ingat namaku!" ucapnya, memecah keheningan.
Semua orang di ruangan itu menatapnya bingung. Wajah mereka berubah-ubah, sebagian terlihat panik. Wanita paruh baya yang hendak bicara tiba-tiba terdiam, mulutnya terbuka separuh.
Sang dokter, yang nametag-nya bertuliskan Joshua, menatap Carvina dengan antusias. "Oh, begitu? Apa namamu?" tanyanya lembut, berusaha menunjukkan dukungan.
Carvina tersenyum tipis. "Namaku... adalah kenangan yang mereka lupakan," batinnya penuh teka-teki. Tapi untuk saat ini, dia akan memberikan mereka satu kejutan kecil.
"Namaku Reina. Salam kenal," ucap gadis kecil itu dengan nada lembut.
Seisi ruangan langsung terdiam, menatapnya tak percaya. Beberapa saling melirik, tampak bingung.
"Nama yang cantik, seperti orangnya," ujar dokter Joshua dengan senyum hangat. Ia menepuk kepala Reina pelan, penuh kelembutan.
Carvina—sekarang Reina—memutuskan untuk memakai nama itu. Nama yang penuh kenangan. Reina adalah seorang pahlawan di kehidupannya yang ketiga puluh, seorang penyihir hitam yang pernah menyelamatkan dunia dengan mengorbankan nyawanya sendiri. Nama itu menyiratkan kekuatan dan keberanian.
Kini, nama tersebut akan menjadi bagian dari kisah barunya.
"Boleh aku meminjam cermin?" tanya Reina polos, nada suaranya penuh rasa ingin tahu. Dia ingin melihat seperti apa rupa tubuh yang sekarang dia tempati.
Dokter Joshua mengangguk. Dari saku jasnya, ia mengeluarkan cermin kecil, lalu menyerahkannya kepada Reina. "Ini," katanya sambil tersenyum.
Reina menerima cermin itu, menatap pantulannya dengan seksama. Mata hijau cerah dengan pupil berbentuk kupu-kupu hitam memandang balik ke arahnya. Fitur wajah putih pucatnya dihiasi tahi lalat kecil di bawah mata kiri. Rambut ash blue panjang yang sedikit berantakan mengingatkannya pada salah satu dirinya di masa lalu.
Namun, semakin lama ia menatap, dahinya mengernyit. Wajah ini sangat tirus, seolah hanya tulang yang terbalut kulit. Tanda-tanda kelaparan dan kelelahan terpatri jelas.
Setelah beberapa detik, Reina mengembalikan cermin itu kepada dokter Joshua. "Terima kasih," katanya singkat, kembali memasang wajah polos.
Di dalam hatinya, dia mendumel, "Sepertinya kali ini kelahiranku cukup mengenaskan."
✨
Selama menjalani perawatan, Reina hanya bertemu dengan keluarga pemilik tubuh ini satu kali—tepat setelah dirinya bangun. Namun, berdasarkan ingatan tubuh ini, keluarga tersebut tidak pernah menginginkan kehadirannya.
Mereka memperlakukan anak kecil ini seperti binatang, menyiksa tanpa henti hingga tubuh mungilnya penuh luka. Bahkan, menurut Reina, para iblis di dunia sebelumnya tidak pernah menyiksa anak kecil dengan kekejaman seperti ini.
Hari-hari Reina di rumah sakit penuh kesendirian. Tidak ada satu pun dari keluarganya yang datang menjenguk. Hanya dokter Joshua yang sesekali mengunjungi, berbicara singkat dengannya. Dari pria itu, Reina akhirnya mengetahui letak kota ini dan mulai memahami dunianya yang baru.
Setelah beberapa minggu perawatan, Reina akhirnya diperbolehkan pulang. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu duduk di bangku depan rumah sakit, memperhatikan dunia di sekitarnya dengan seksama.
Dunia ini... mirip dengan dunianya terdahulu, meski terasa jauh lebih maju. Kendaraan melaju di jalan raya, orang-orang sibuk berjalan sambil menatap benda persegi kecil di tangan mereka. Di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi.
Di dunianya dulu, jalanan dipenuhi kereta kuda. Beberapa kereta tampak megah, dihias lambang khusus yang menunjukkan pemiliknya adalah bangsawan atau tokoh berkuasa.
Reina menghela napas panjang, menatap matahari yang kini tepat di atas ubun-ubun. Dia menunggu ayah dari pemilik tubuh ini—seseorang yang dikatakan akan menjemputnya hari ini. Namun, hingga berjam-jam berlalu, pria itu tak kunjung datang.
"Hai, adik kecil~ Menunggu siapa?" Suara ramah seorang pria menyadarkannya dari lamunan. Reina menoleh dan mendapati dokter Joshua berjalan ke arahnya dengan senyum hangat.
Reina menatap pria itu dengan tenang, meski dalam hatinya bergemuruh. "Pria ini harus kujadikan pion. Dengan bantuannya, aku bisa mencari Raja Iblis serta membalas dendam pemilik tubuh ini."
Tanpa ragu, Reina mengaktifkan kemampuan barunya—melihat jiwa seseorang. Pandangannya menembus lapisan luar Joshua, menatap jiwa yang bersinar di balik tubuhnya.
"Hanya sedikit ternoda... dia pria baik," pikir Reina. "Sayang jika melibatkannya dalam aksi balas dendam, tapi dia akan berguna untuk langkah awal."
"Katanya hari ini aku dijemput," jawab Reina polos. "Tapi tidak ada yang datang menjemputku."
Joshua mengernyit. Anak sekecil ini dibiarkan sendiri hingga siang tanpa orang dewasa yang menemani? Itu membuatnya geram.
"Bagaimana kalau kita menunggu mereka di dalam? Sekalian makan siang? Kau pasti lapar, kan?" tawarnya dengan nada lembut.
Reina hendak menolak, tetapi suara perutnya yang keroncongan mendahuluinya. Wajahnya memerah, dan ia menunduk malu.
Joshua terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. "Jangan khawatir, aku tidak akan menculikmu. Anak kecil harus makan banyak biar cepat tumbuh besar," ujarnya sambil mengulurkan tangan, mengajak Reina untuk bangkit dari tempat duduknya.
Reina akhirnya mengangguk, mengikuti dokter itu masuk ke rumah sakit. Dia tahu ini langkah pertama dalam rencananya yang lebih besar.
Joshua segera mengajak Reina menuju kafetaria yang tidak jauh dari sana. Gadis kecil itu mengikuti langkah dokter sambil memperhatikan sekelilingnya dengan penuh rasa ingin tahu. Tidak ada perbedaan status yang mencolok seperti di kehidupannya dulu, di mana bangsawan dan rakyat jelata terpisah jauh.
"Kamu mau pesan apa? Biar Om yang traktir," tawar Joshua dengan senyum ramah. Ia memperhatikan Reina yang tampak kagum melihat keramaian di kafetaria itu, seakan baru pertama kali berada di tempat seperti ini.
Reina mengambil sebuah buku menu yang terletak di meja, lalu membukanya. Dahinya segera mengernyit bingung saat melihat tulisan-tulisan yang asing baginya. Meski mencoba menggali ingatan pemilik tubuh ini, Reina tidak menemukan memori apapun selain rasa sakit dan penyiksaan.
"Aku… tidak bisa membaca, Om," kata Reina polos. "Aku tidak diizinkan belajar."
Mendengar itu, mata Joshua membelalak. Sebagai seorang dokter, dia terbiasa mendengar kisah-kisah sedih pasiennya, tetapi pernyataan gadis kecil ini benar-benar memukul hatinya.
Sementara itu, Reina berpikir dalam hati. "Ada untungnya aku tidak menghapus ingatan pemilik tubuh ini. Meski menyakitkan, ingatan ini mungkin akan berguna suatu hari nanti."
"Biar Om yang pesankan, ya," ujar Joshua sambil tersenyum lembut.
Reina mengangguk patuh.
Selagi menunggu pesanan tiba, Reina memperhatikan suasana di sekelilingnya dengan penuh rasa takjub. Dunia ini begitu menarik, penuh warna dan kebisingan yang terasa hidup. Di kehidupannya dulu, segalanya lebih sunyi dan serba formal, diwarnai kemegahan aristokrat yang dingin.
Sementara itu, Joshua diam-diam memandang gadis kecil di depannya. Mata hijau cerah dengan pupil berbentuk kupu-kupu berwarna merah. Rambut ash blue yang terlihat seperti sutra. Semua ini bukan hanya langka, tetapi hampir mustahil dalam dunia kedokteran.
Dia masih mengingat hari pertama Reina tiba di rumah sakit—dalam kondisi memprihatinkan, tubuh penuh luka, nyaris tak bernyawa. Gadis kecil itu ditemukan pada hari yang aneh, ketika dua gerhana terjadi bersamaan.
Joshua dan tim medis berjuang keras untuk menyelamatkan nyawanya. Gadis kecil itu sempat mengalami gagal jantung, tetapi setelah upaya keras, jantungnya kembali berdetak. Sayangnya, ia terbaring koma selama enam bulan.
Selama masa itu, pihak rumah sakit bekerja sama dengan kepolisian untuk mencari data atau keluarga Reina. Anehnya, tidak ada catatan resmi tentang gadis itu, seperti dia muncul dari ketiadaan.
Lamunan Joshua terhenti ketika seorang pramusaji datang membawa makanan mereka. Reina memandang hidangan di hadapannya dengan mata berbinar. Hidangan itu tampak lezat, dengan aroma yang menggugah selera.
"Makanlah yang banyak supaya kamu sehat," ujar Joshua hangat.
Reina mulai menyuap makanan itu dengan ragu, tapi begitu suapan pertama masuk ke mulutnya, air mata langsung menetes. Rasa makanan yang luar biasa lezat memenuhi inderanya, membuat dadanya sesak.
"Aku sudah sering makan makanan mewah di kehidupanku yang dulu. Tapi… apakah pemilik tubuh ini tidak pernah mencicipi makanan layak sekali pun?" pikir Reina dalam hati.
Joshua yang melihat gadis kecil itu menangis langsung panik. Ia meletakkan alat makannya dan berpindah ke sisi Reina. "Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?" tanyanya dengan nada cemas.
Reina menggeleng pelan, lalu berkata di antara isakan, "Ini… sangat enak. Terima kasih."
Joshua tertegun, lalu tersenyum penuh simpati. "Kamu pantas mendapat yang lebih baik," ujarnya sambil menepuk kepala Reina lembut.
Reina sesenggukan, berusaha mengendalikan dirinya. Tapi ia tahu, air mata ini bukan miliknya. Ini adalah tangisan jiwa pemilik tubuh ini, yang akhirnya merasakan sedikit kebahagiaan setelah sekian lama menderita.
Dalam hati, Reina bersumpah. "Aku akan membalas perlakuan keluarga ini dengan manis. Mereka akan merasakan apa yang tubuh ini alami, bahkan lebih."