Raka, seorang pemuda 24 tahun dari kota kecil di Sumatera, datang ke Jakarta dengan satu tujuan, mengubah nasib keluarganya yang terlilit utang. Dengan bekal ijazah SMA dan mimpi besar, ia yakin Jakarta adalah jawabannya. Namun, Jakarta bukan hanya kota penuh peluang, tapi juga ladang jebakan yang bisa menghancurkan siapa saja yang lengah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irhamul Fikri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 Jalan yang Berbeda
Pagi itu, Raka bangun lebih awal dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya muncul, tapi aktivitas di gang sempit tempat kosnya sudah dimulai. Suara ibu-ibu menawarkan sayur dan langkah-langkah kaki di tangga kayu bercampur menjadi satu, seperti simfoni kehidupan Jakarta yang tiada henti.
Setelah mandi cepat di kamar mandi bersama, ia kembali ke kamarnya, menatap amplop cokelat yang masih tergeletak di meja. Pikirannya kembali ke percakapan dengan Bayu semalam. Klub malam memang menawarkan gaji yang lebih besar, tapi apakah itu jalan yang benar untuknya?
Raka menarik napas panjang dan mengambil keputusan: hari ini, ia akan kembali mencari pekerjaan sesuai dengan impiannya. Ia tidak mau menyerah pada keadaan, setidaknya belum sekarang.
**Harapan yang Patah**
Setelah sarapan dengan nasi uduk yang dibelinya di ujung gang, Raka berangkat ke sebuah kantor yang ia temukan dari iklan di koran beberapa hari lalu. Kantor itu terletak di sebuah gedung kecil di pinggir jalan raya, di tengah keramaian Jakarta.
Namun, begitu sampai di sana, harapannya kembali pupus. Posisi yang ia incar ternyata sudah terisi, dan resepsionis hanya memberikan senyuman kecil yang nyaris tanpa arti.
“Kami sudah menemukan kandidat yang sesuai. Mungkin lain kali, coba kirim lamaran lebih cepat,” kata resepsionis dengan nada ramah yang terasa dingin di telinga Raka.
Raka berjalan keluar dengan langkah berat. Ia mulai merasa lelah dengan penolakan demi penolakan yang ia terima selama ini. Matanya memandangi keramaian jalan Jakarta, para pekerja berlalu-lalang dengan wajah sibuk. Di antara mereka, ia merasa seperti sosok yang kecil dan tidak berarti, terjebak dalam arus yang tak ia pahami.
Saat ia melangkah menuju halte bus, seorang pria menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja rapi, tetapi wajahnya tampak lelah.
“Mas, lagi cari kerja, ya?” tanya pria itu sambil tersenyum ramah.
Raka mengangguk pelan. “Iya, Mas. Tapi belum dapat-dapat.”
Pria itu tampak berpikir sejenak. “Kebetulan, saya lagi butuh orang buat bantu-bantu di toko saya. Enggak besar, tapi lumayan buat sementara. Kalau Mas mau, bisa mulai hari ini.”
Mendengar tawaran itu, Raka merasa sedikit ragu. Tapi, mengingat kondisi keuangannya yang semakin menipis, ia memutuskan untuk mencoba. “Apa yang harus saya lakukan, Mas?” tanyanya.
“Gampang kok. Cuma bantu jaga toko dan angkat-angkat barang kalau ada kiriman. Nama saya Pak Firman. Yuk, ikut saya, saya tunjukkan tokonya,” kata pria itu sambil melangkah pergi.
**Pekerjaan di Toko Firman**
Toko milik Pak Firman ternyata sebuah warung kelontong sederhana di pinggir jalan besar. Meski kecil, toko itu cukup ramai dikunjungi pelanggan. Pak Firman menjelaskan bahwa ia membutuhkan seseorang untuk menggantikan pegawai lamanya yang baru saja berhenti.
“Tugasnya enggak sulit. Bantu layani pelanggan, atur stok, dan jaga toko kalau saya lagi keluar. Saya bayar harian, Rp50 ribu. Gimana, setuju?”
Angka itu jauh dari cukup untuk memenuhi semua kebutuhan Raka, tapi ia tidak punya pilihan lain. “Setuju, Pak. Saya siap mulai hari ini.”
Hari itu, Raka langsung bekerja. Ia membantu melayani pelanggan yang datang silih berganti, mengangkat beberapa karung beras ke dalam gudang kecil, dan membersihkan etalase toko yang penuh debu. Pekerjaan itu tidak mudah, tapi ia merasa lega bisa mendapatkan penghasilan yang lebih stabil dibandingkan pekerjaan di pasar malam.
Di sela-sela pekerjaannya, Pak Firman sering mengobrol dengannya. Dari cerita-cerita itu, Raka mengetahui bahwa Pak Firman dulunya juga seorang perantau. Ia datang ke Jakarta dua puluh tahun lalu dengan mimpi besar, tapi akhirnya memilih membuka toko kecil setelah berbagai kegagalan.
“Jakarta itu kejam, Mas Raka. Tapi kalau kita gigih, pasti ada jalannya,” kata Pak Firman suatu sore saat toko mulai sepi.
Mendengar itu, Raka hanya tersenyum tipis. Ia merasa bahwa dirinya berada di jalan yang benar, meski kecil langkahnya.
**Bayu dan Tawaran Kedua**
Malam harinya, setelah kembali ke kos, Raka bertemu Bayu di tangga. Bayu tampak baru pulang kerja, dengan wajah yang sedikit lusuh.
“Gimana, Bro? Udah mikirin tawaran gue semalam?” tanya Bayu sambil menyulut rokok.
Raka menggeleng pelan. “Maaf, Bang. Gue dapat kerjaan baru hari ini. Jaga toko kelontong. Gajinya kecil, tapi gue pikir cukup buat sekarang.”
Bayu tertawa kecil. “Gue salut sama lu, Bro. Lu masih mau kerja halal meski susah. Tapi inget, kalau lu butuh jalan pintas, tawaran gue masih berlaku.”
Raka hanya tersenyum kecil sebelum melangkah naik ke kamarnya. Ia tahu Bayu bermaksud baik, tapi jalan pintas seperti itu bukan untuknya.
---
**Hari-Hari di Toko**
Hari-hari berlalu, dan Raka mulai terbiasa dengan rutinitasnya di toko Pak Firman. Pekerjaan itu mungkin sederhana, tapi ia merasa bangga bisa bekerja dengan jujur. Pak Firman juga semakin mempercayainya, bahkan menyerahkan tanggung jawab untuk menjaga toko saat ia pergi mengurus keperluan lain.
Namun, di balik ketenangan itu, Raka mulai menyadari sesuatu. Meski bekerja keras setiap hari, penghasilannya nyaris tidak cukup untuk menabung atau memperbaiki kehidupannya. Ia mulai bertanya-tanya, apakah ia harus tetap bertahan atau mencari peluang yang lebih besar.
Suatu malam, saat ia sedang menghitung uang hasil penjualan di toko, Tika mampir untuk membeli kebutuhan dapur.
“Wah, Mas Raka sekarang jadi penjaga toko, ya?” tanya Tika dengan senyum ramah.
“Iya, Mbak. Lumayan buat sementara,” jawab Raka sambil membungkus barang belanjaan Tika.
Tika mengangguk. “Bagus, Mas. Kerja apapun asal halal, pasti berkah. Tapi jangan lupa, kalau ada peluang lebih baik, coba kejar juga.”
Kata-kata Tika membuat Raka berpikir keras sepanjang malam itu. Ia tahu bahwa bekerja di toko kelontong tidak bisa menjadi tujuan akhirnya. Ia harus terus berusaha mencari jalan keluar, meski itu berarti mengambil risiko yang lebih besar.
Malam itu, di bawah remang lampu kamar kosnya, Raka kembali memandangi amplop cokelat berisi ijazahnya. Ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah perjuangannya ini akan membawa hasil, ataukah ia hanya berjalan tanpa arah di kota besar yang penuh jebakan ini.
Jakarta memang tidak pernah tidur, tapi apakah ia siap untuk terus terjaga?
Raka menatap keluar jendela kamarnya yang kecil, memandangi keramaian Jakarta yang tidak pernah berhenti. Di luar, lampu jalan berkelip-kelip seperti bintang-bintang yang tampak begitu dekat, namun terasa begitu jauh untuk dijangkau. Ia tahu, hidup di Jakarta bukanlah tentang menjadi yang terbaik atau yang paling hebat—tapi tentang bertahan dan menemukan tempatnya di tengah keramaian yang tak terhingga.
Dalam hati, Raka sadar bahwa ia harus memilih jalan yang akan membentuk masa depannya. Di satu sisi, ada kenyamanan dalam pekerjaan di toko Pak Firman—pasti tidak besar, tetapi jujur dan pasti. Namun, di sisi lain, Bayu dan kehidupannya yang lebih cepat menawarkan godaan yang lebih besar.
Apa yang harus ia pilih? Jalan yang lebih aman dan stabil atau berani mengambil risiko demi sesuatu yang lebih?
Pikirannya kembali berputar, dan ia tahu, apapun yang dipilih, Jakarta tidak akan menunggu. Kota ini hanya memberikan dua pilihan yaitu bertahan atau terbenam. Raka harus memutuskan dengan cepat, sebelum kesempatan yang ada menghilang begitu saja.
Dengan pikiran yang penuh tanda tanya, ia mematikan lampu kamar dan berbaring di tempat tidur sempitnya. Hari esok akan membawa keputusan besar—dan Raka tahu, hidupnya mungkin tidak akan pernah sama lagi.
hadeh hadeh, kesal banget klo inget peristiwa pd wktu itu :)