Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Samar
Dengan ragu, Kaivan mengangkat tangannya, menggerakkannya perlahan di depan wajahnya. Sesuatu tampak berbeda. Ia seperti menangkap bayangan samar, meskipun bentuknya tidak jelas.
Kaivan menghela napas panjang, tak yakin dengan apa yang ia alami. “Apakah aku mulai bisa melihat... atau ini hanya ilusi?” katanya dengan nada rendah, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ia terus menggerakkan tangannya, mencoba memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar imajinasi. Sebuah perasaan campur aduk muncul dalam hatinya, antara harapan dan ketakutan.
Di sisi lain, setelah selesai memasak, Airin beralih membersihkan rumah. Dengan cekatan, ia menyapu lantai dan merapikan perabot. Ketika sampai di ruang tamu, ia menatap jendela yang masih basah sisa hujan semalam. “Hujan deras sekali kemarin. Semoga hari ini cerah,” ujarnya sambil mengelap kaca.
Sesaat Airin melirik pintu kamar neneknya. "Nenek belum bangun. Pasti semalam nggak bisa tidur karena kedinginan. Semalam aku pasti juga nggak bisa tidur kalau nggak dipeluk Kak Ivan," gumamnya. Pipinya memerah mengingat ia tidur dipeluk Kaivan sampai pagi, meskipun ia hanya dianggap guling oleh suaminya, tapi pelukan itu membuat tidurnya nyenyak.
Setelah semua beres, Airin masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Air yang dingin membuatnya menggigil, tapi ia tak mengeluh. “Harus semangat, Airin. Mulai sekarang, hidupmu tidak hanya untuk dirimu sendiri,” pikirnya sambil mengguyur tubuhnya.
Ketika kembali ke dapur, ia menatap ke arah kamar. “Apa Kak Ivan sudah bangun? Kalau belum, aku harus membangunkannya. Sarapan tidak boleh dingin. Kak Ivan juga harus minum obat,” ujarnya pelan sebelum melangkah kembali ke kamar untuk memeriksa suaminya.
Sementara di dalam kamar, suara langkah kaki Airin yang mendekat membuat Kaivan cepat-cepat menjatuhkan tangannya ke sisi tubuh, kembali berusaha tenang.
“Airin,” bisiknya pelan, menunggu hingga pintu kamar terbuka.
Saat tinggal beberapa langkah lagi menuju kamarnya, Airin berpapasan dengan Nenek Asih yang baru saja keluar dari kamarnya. Wajah nenek itu tampak sedikit pucat, dengan selendang tebal yang melingkari bahunya.
“Airin, kamu sudah mandi?” tanya Nenek Asih sambil menatap cucunya dengan lembut.
Airin tersenyum dan mengangguk. “Sudah, Nek. Tadi setelah masak dan beres-beres rumah.”
Nenek Asih menarik napas panjang dan mengusap bahunya. “Maaf ya, Nak. Nenek tidak bisa membantu masak dan beres-beres pagi ini. Semalam dingin sekali, nenek susah tidur, jadi baru bisa bangun sekarang.”
Airin menggelengkan kepala, tersenyum menenangkan. “Nggak apa-apa, Nek. Nenek 'kan butuh istirahat. Lagipula, semuanya sudah beres kok. Nenek tenang saja.”
Nenek Asih mengangguk perlahan, meski wajahnya masih memancarkan rasa tidak enak hati. “Kamu memang cucu yang baik, Rin. Nenek bangga padamu.”
“Ah, Nenek ini, jangan berlebihan,” sahut Airin dengan tawa kecil. “Kalau begitu, aku pamit dulu ya, Nek. Aku mau membangunkan Kak Ivan. Dia harus sarapan dan minum obat. Luka-lukanya juga harus diobati.”
“Baiklah, Nak. Hati-hati ya, sama Ivan. Dia 'kan masih butuh waktu buat beradaptasi di sini,” pesan Nenek Asih dengan nada lembut.
Airin mengangguk, senyumnya merekah. “Iya, Nek. Kalau sudah lapar, Nenek sarapan saja lebih dulu.” Setelah itu, ia melangkah menuju kamarnya, meninggalkan Nenek Asih yang tersenyum kecil sambil memandangi punggung cucunya.
Airin membuka pintu kamar dengan pelan, tak ingin membuat terkejut jika Kaivan masih terlelap. Namun, malah ia yang sedikit terkejut saat melihat pria itu sudah duduk di tepi ranjang. Senyuman langsung terulas di bibirnya, meskipun ia tahu Kaivan tak bisa melihatnya.
"Kak Ivan," panggilnya lembut sambil melangkah mendekat. "Kamu sudah bangun? Sudah lama?"
Kaivan menoleh ke arah suara itu. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdebar, masih memproses apa yang barusan ia rasakan. “Baru saja,” jawabnya singkat, suaranya terdengar tenang.
Airin duduk di tepi ranjang di dekatnya. “Apa kamu tidur nyenyak?” tanyanya lagi dengan perhatian, meskipun ia yakin kalau semalam Kaivan tidur nyenyak sampai menganggap dirinya sebagai guling.
Kaivan mengangguk kecil. “Lumayan. Suara hujan semalam cukup menenangkan.”
Airin tertawa kecil, “Kalau begitu, syukurlah.” Ia menatap Kaivan dengan lembut, merasa lega melihatnya tampak segar pagi ini. “Apa kamu mau aku antar ke kamar mandi? Biar aku bantu.”
Kaivan terdiam sejenak. Ia sebenarnya merasa sungkan, tetapi tak ingin menolak perhatian istrinya yang begitu tulus. “Kalau tidak merepotkan...”
Airin segera berdiri dan menggenggam tangan Kaivan. “Mana ada merepotkan! Itu tugas istri.”
Kaivan tersenyum tipis, meskipun tak terlalu terlihat. Ia membiarkan gadis itu menuntunnya perlahan. Saat Airin menggenggam tangannya, ada kehangatan yang menyentuh hatinya, membuatnya merasa dihargai dan diterima.
“Pelan-pelan saja, ya,” ujar Airin sambil memastikan langkah Kaivan stabil.
Kaivan mengangguk. Saat mereka berjalan menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur, Kaivan mencuri pandang ke arah Airin. Ia bisa melihat bayangan tubuhnya, meskipun masih sangat samar. Namun, bagi Kaivan, itu sudah cukup memberikan secercah harapan.
“Kamar mandinya tidak jauh, kok,” kata Airin dengan suara lembut. “Cuma di dekat dapur. Kalau nanti kamu sudah hafal rutenya, pasti lebih mudah.”
Kaivan hanya berdehem pelan, tak ingin banyak bicara. Tapi di dalam hatinya, ada rasa hangat yang menjalari. Perhatian Airin membuatnya merasa dihargai, sesuatu yang jarang ia rasakan selama ini.
Saat mereka tiba di depan kamar mandi, Airin menghentikan langkahnya dan menoleh ke Kaivan. Ia tersenyum lembut sambil memastikan Kaivan berdiri dengan stabil.
“Kak Ivan,” panggilnya pelan, ragu sejenak sebelum melanjutkan, “apa aku perlu menemanimu di dalam kamar mandi? Takutnya ada yang... sulit.”
Kaivan terdiam, merasa sedikit canggung mendengar pertanyaan itu. Ia berdehem pelan, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Tidak perlu, Airin. Aku rasa aku bisa melakukannya sendiri.”
Airin mengangguk pelan, meskipun hatinya masih sedikit khawatir. “Baiklah, tapi kalau ada apa-apa, langsung panggil aku saja, ya. Aku akan menunggu di sini. Ini, sementara kamu pakai handuk ini dulu. Kakak hanya bisa membersihkan tubuh dari pinggang ke bawah. Bagian atasnya tidak boleh basah karena luka Kakak belum kering. Nanti akan aku seka.”
Kaivan tersenyum tipis, meskipun tak begitu terlihat. “Terima kasih.”
Airin melepaskan genggaman tangannya perlahan, memastikan Kaivan berdiri stabil sebelum melangkah mundur.
“Kalau begitu, aku tunggu di dapur, ya,” ujar Airin, memberikan ruang pada Kaivan.
Kaivan mengangguk, lalu melangkah masuk ke dalam kamar mandi dengan hati-hati. Di balik pintu yang tertutup, ia berdiri sejenak, menghela napas panjang, merasa tenang meskipun tadi sedikit terkejut dengan perhatian Airin yang begitu tulus.
Sementara itu, Airin berjalan ke dapur sambil terus memastikan telinganya peka jika Kaivan memanggil. Dalam hati, ia merasa lega karena Kaivan tampak mulai nyaman bersamanya, meskipun masih dalam tahap awal pernikahan mereka.
Setelah pintu kamar mandi terbuka, Airin yang tengah sibuk merapikan rak piring mendengar suara langkah Kaivan. Ia segera bergegas menghampirinya, namun langkahnya mendadak melambat ketika melihat Kaivan hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya.
Wajah Airin memanas, pipinya memerah seketika. Dada bidang, bahu lebar, dan perut berotot Kaivan terlihat begitu jelas. Ia tertegun sesaat, tapi segera menundukkan kepala untuk menyembunyikan rasa malunya. "Astaga, Airin... fokus," batinnya mengingatkan.
"Sudah selesai, Kak? Ayo, aku antar ke kamar," ucap Airin dengan nada yang sedikit gemetar, namun ia tetap berusaha terdengar biasa saja.
Kaivan mengangguk meskipun samar-samar menyadari reaksi Airin. "Baik," jawabnya singkat. "Kenapa dia gugup?" batinnya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso