Pandemi korona, tidak mengubah apapun dari hidup Niki Arsenio. Ia tetap tidak punya pacar. Boro-boro pacaran, punya teman saja tidak. Salahnya, karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain game alih-alih bergaul dengan anak-anak sebaya.
Sampai suatu ketika, Niki terperangkap oleh kecerobohannya sendiri. Akibat mengabaikan tugas sekolah, ia terpaksa menjadi pacar untuk tiga orang cewek sekaligus!
Bagaimana mungkin? Cewek? Mau jadi pacarnya? Udah gitu tiga orang pula!?
Dengan channel youtube yang harus diurus dan UAS yang sudah di depan mata, nggak ada waktu untuk Niki berpikir.
Demi membuktikan diri dan mempertahankan password WiFi, Niki pun harus berjibaku dengan plot klise seperti di anime-anime komedi romantis. Mampukah Niki melakukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pisanksalto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Klandestin (Part 2)
"Halo?" Tak ada sahutan. Karena terus didiemin, Aku pun memandangi layar smartphone. Panggilan terputus. WiFi berulah. Stream Nika sontak berhenti. Lingkaran buffering berputar di monitor. Padahal aku sudah berjuang dengan resolusi 240p, masih saja mengalami hal seperti ini. Aku menyemburkan napas pasrah.
Aku khawatir WiFi masih ngadat sampai nanti malam. Aku harus upload video. Setiap hari, atau paling tidak, dua kali seminggu, untuk memenangkan algoritma dan memenuhi waktu tayang di Youtube. Namun, pada akhirnya, tidak ada yang bisa kulakukan tanpa internet. Sambil menunggu jaringan WiFi kembali stabil, aku pun mengambil perangkat Play Station 1 di lemari dan menyambungkannya dengan TV tabung 14 inci di kamarku. Tiba-tiba pengin main Harvest Moon.
Ketika karakterku sedang berkunjung ke rumah sakit untuk memberi bunga ke suster Elli, Mama memanggil. Saatnya makan siang. Aku melirik jam dinding. Kurang lebih tiga jam aku bermain. Waktu berlalu begitu cepat, tapi jaringan WiFi-ku masih belum jalan.
Aku keluar dengan langkah gontai. Tak bertenaga. WiFi rumah lemot, aku pun ikutan lemot. Namun pas di dapur, energiku seolah kembali terisi saat indra penciumanku di sambut oleh aroma gurih sayur asem.
Buru-buru aku menduduki kursiku di meja makan. Mengambil sendok.
"Niki," tegur Mama. "Tunggu Ayah dulu."
Aku mengacungkan dua jari, peace, menyengir. "Niki cuma mau ambil jagungnya, kok."
Mama tersenyum, lalu mendatangi Ayah di ruang tamu untuk menyuruhnya segera ikut makan bersama. "Dari tadi dipanggil nggak nyahut-nyahut," gumam Mama gemas.
Sedangkan aku, mengamankan sepotong jagung rebus ke piring. Tenang, Mama masak banyak. Ada lima potong jagung lagi di mangkok sayur. Jadi, jika aku merasa kekurang vitamin C dan antioksidan, aku masih bisa nambah.
Beberapa saat kemudian, Ayah datang. Kursinya berseberangan denganku. Mama menyendokkan nasi ke piring Ayah. Laptop diletakkan di atas meja. Penting sekali kayaknya, sampai urusan kerja di bawa kehadapan makanan.
Setelah berdo'a, Ayah bertanya padaku dengan template standar pertanyaan Ayah dan anak laki-lakinya saat di meja makan.
"Bagaimana sekolahmu?"
"Baik."
"Masih daring?"
Ini jelas basa-basi. Siapa pun tau sekarang masih pandemi. Dan tidak ada yang tahu kapan berakhirnya. "Ya begitulah, Yah."
"Sama seperti di sekolah Ayah. Sudah ada wacana dari pemerintah bahwa semester depan akan mulai diberlakukan pembelajaran tatap muka di beberapa sekolah. Menyambut New Normal. Mungkin termasuk sekolahmu. Jadi, bersiaplah."
Mama meletakkan satu potong jagung ke piringku. "Eh? Sudah mau kembali ke sekolah lagi? Mama lebih suka seperti ini padahal. Ada yang nemenin Mama di rumah." Mama meletakkan tangan ke pipinya, nampak khawatir. "Lagipula, apa nggak terlalu berbahaya untuk membiarkan anak-anak kembali ke sekolah, masih korona gini..."
"Selama sekolah dan beberapa pihak yang terlibat menjalani protokol kesehatan dengan ketat, menjaga jarak, memakai masker. Ayah rasa, kita nggak perlu terlalu cemas."
"Tetap saja, Mama nggak bisa tenang. Niki, besok pagi anterin Mama ke pasar, ya. Mama mau beli masker dan hand sanitizer. Punya kita sudah mau habis soalnya. Punyamu yang dikasih Ayah dulu masih ada?" Mama selalu seperti ini, sigap dan cekatan dalam mempersiapkan sesuatu.
Aku menelan makanan, mengingat-ngingat. "Kayaknya hilang, Ma."
Mama pun menasihatiku. Persis seperti saat aku menghilangkan Tupperware-nya dulu. Cuman tak pakai acara marah-marah. Mama punya prinsip, pantang marah-marah di hadapan rezeki. Aku diam saja. Mendengarkan. Ini sudah biasa. Aku menikmatinya. Lagipula, bukan sepenuhnya salahku. hand sanitizer-ku hilang karena tidak pernah di pakai. Aku selalu merasa tidak betah berada di luar rumah dalam waktu lama. Berangkat selambatnya, pulang secepatnya. Pun setelah pandemi, kebiasaan itu hanya ditambah dengan cuci tangan pakai sabun atau langsung mandi.
Ayah kembali menanyaiku. "Bagaimana dengan tugas sekolahmu, Niki?"
Jujur, aku ingin menghindari pertanyaan ini. Seperti yang kamu tahu, tugas sekolahku bermasalah. "Semua lancar, tentu saja." Bohong. Aku menyendokkan nasi ke mulut dengan cepat. Mengunyahnya. Tersedak.
Mama sigap menyodoriku segelas air putih. "Pelan-pelan minumnya."
Kualat karena sudah berbohong? Bukan main. Padahal Ayah sendiri yang memaksaku untuk melakukannya. Begini. Saat awal-awal pembelajaran daring diberlakukan, SMA kelas 1 semester 2, aku masih menggunakan kartu prabayar untuk akses internet. Kuotaku sangat boros waktu itu. 2-5 GB ludes dalam dua hari. Banyak? Menurutku itu masih kurang.
Aku pun mengajak Ayah untuk memasang WiFi di rumah. Ayah menolak. Ayah bilang, ia masih bisa memenuhi kebutuhan kuota internetku, Mama, dan dirinya dengan gajinya sebagai guru di salah satu SMA negeri. Ayah juga bilang, kuotaku tak mungkin seboros itu jika digunakan hanya untuk belajar daring. Tentu saja, aku menggunakannya lebih dari sekedar untuk belajar daring. Aku pun mengaku punya akun Youtube dengan konten berfokus pada game. Mengetahui hal tersebut, Ayahku marah besar. Aku membuang-buang kuota yang berharga untuk bermain-main, katanya. Banyak anak-anak seusiaku yang tidak bisa belajar daring karena orang tuanya tidak mampu membelikan kuota apalagi smartphone, bahkan, makan pun susah.
Aku tahu, kok. Aku melihatnya di TV. Aku pun sedih dengan keadaan mereka. Namun, menjadi youtuber gaming bukanlah main-main. Ini impianku. Sesuatu yang ingin kukejar. Aku berusaha membuat Ayah mengerti bahwa aku serius dengan apa yang kulakukan, tapi tetap, dia tidak mengerti. Ayah tidak pernah mau mengerti.
Singkat cerita, pada akhirnya Ayah menelepon penyedia layanan WiFi saat teman sesama gurunya bilang bahwa berlangganan WiFi cukup menguntungkan dan hemat pengeluaran. Meski kami berlangganan WiFi yang paling murah, aku tetap merasa menang. Rasanya seperti kamu dibelikan mainan, setelah berhasil membuat malu orang tua dengan menangis kejer sampai guling-guling di tengah keramaian pasar.
"Kecuali WiFi-nya, Ayah." Aku meletakkan gelas. "WiFi-nya lemot lagi."
"Ayah tahu. Bukan kamu saja merasakannya," ucap Ayah, tanpa menoleh. Fokus mengetik di laptop.
"Berarti masuk akal, jika kita ganti provider, kan, Yah?"
"Memang. Tapi Ayah rasa itu nggak perlu."
Mama bertanya. "Kenapa dengan WiFi-nya, Ki? Rusak?"
"Nggak, Ma, cuma kadang sering lelet jaringannya."
Mama lalu memberiku saran untuk me-restart modemnya. Mama benar. Dengan catatan kalau jaringannya lelet cuma sekali dua kali dalam seminggu, bukan tiap hari dua kali. Aku kembali menatap Ayah yang sedang bergantian antara menyuap nasi ke mulut dan mengetik di laptop. Lihat, dia bahkan lebih mementingkan pekerjaan daripada mendengarkan keluhanku. Kenapa tidak sekalian saja laptopnya di makan?
"Ayah, dengerin, dong, apa kata Niki!" bujuk Mama.
"Aku mendengarkan," ucap Ayah, menatapku. Akhirnya dia sadar aku di sini. "Tapi, mengganti provider akan memakan biaya lagi. Kamu tahu 'kan sekarang pandemi. Ekonomi sedang sulit. Kita harus menghemat pengeluaran. Belanja untuk kebutuhan yang perlu saja."
"Tapi itu diperlukan, Ayah," jawabku cepat, dengan suara yang sekuat tenaga aku tahan, agar tidak lebih tinggi darinya. Aku nggak mau bikin Ayah marah lagi. Kasian Mama.
"Untuk apa? Urusan sekolah? Ada tugas yang memaksamu menggunakan jaringan super cepat dari Nasa?" Ayah memberiku pertanyaan beruntun dan retoris.
Tentu saja aku perlu! ingin kujawab begitu, kalo saja, aku tidak terintimidasi lebih dulu.
Aku berusaha duduk tegap, walaupun rasanya tubuhku mengerucut. "Dua minggu lagi akan diadakan UAS. UAS-nya online, Yah. Niki hanya takut kalau-kalau pas jawab soal, jaringannya tiba-tiba bermasalah, jadi begitulah."
Aku yakin Ayah tahu aku berkata jujur. Ayah seorang guru SMA, tentulah jadwal UAS di sekolahnya kurang lebih sama dengan sekolahku.
"Begini saja," kata Ayah setelah diam beberapa saat. "Kamu masih menyimpan kartu SIM-mu??" Yang dimaksud, adalah kartu SIM untuk HP, bukan kartu SIM untuk selamat dari razia polisi. Aku belum punya yang seperti itu.
"Masih," jawabku, menggulingkan jagung di piring, menyembunyikan nada kekecewaan.
"Bagus. Kita tetap memakai WiFi yang sekarang. Nggak ada penggantian. Jika terjadi masalah dengan WiFi-nya kita pakai kuota. Akan Ayah belikan nanti." Ayah beralih pada Mama. "Untuk Mama juga. Asal kali ini nggak dipakai untuk menonton sinetron India."
Mama mendengus pura-pura merajuk. "Terserah Mama dong, itu hobi Mama."
Ayah dan Mama pun tergelak. Aku? Mengangguk lesu menerima hasil negosiasi ini. Seperti titah seorang Raja. Kalimat Ayah nggak bisa diganggu gugat.
Mama mengelus punggungku. "Kalo kamu perlu tambahan kuota, boleh kok pinjam punya Mama."
Aku tersenyum. "Makasih, Ma." Meski bukan itu masalahnya.
Dan Mama mengerti. Ia kemudian bicara pelan. Mungkin agar Ayah tidak dengar. "Mama selalu akan mendukung, Niki. Bicara ke Ayah pelan-pelan saja, ya. Suatu saat, Ayah pasti akan setuju."
Dadaku mengembang, napasku jadi ringan. Begini rasanya saat mimpimu didukung orang tua. Sayangnya, dukungan yang kudapat masih timpang. Aku masih harus mengangkat sisi satunya seorang diri. Tentu saja aku bersyukur. Beberapa mimpi seorang anak tak didukung bahkan oleh kedua orang tuanya.
Namun, aku tetap merasa sempit di hati. Ada nyeri di dada saat aku sendiri sadar bahwa hanya Mama yang tahu tentang aku yang diam-diam masih berusaha membuat video untuk di-upload ke Youtube. Dan hanya Mama pula yang tidak tahu, ada sebuah kesepakatan antara aku dan Ayah perihal syarat pemasangan WiFi di rumah.
Aku masih ingat ucapan Ayah saat petugas dari kantor penyedia layanan WiFi sedang menginstal Wifi di rumahku. "Niki, gunakan WiFi hanya untuk keperluan sekolah. Di luar daripada itu, Ayah akan bertindak dengan tegas."
Artinya, aku di-banned dari akses WiFi rumah. "Itu saja?" Serius, aku menyesal telah mengatakannya. Aku sangat senang. Hampir tidak percaya dengan keberadaan router yang kelap-kelip di tengah ruang tamu. Samping kamarku.
"Dan jangan sampai kamu terlena terus abai dengan kewajibanmu sebagai seorang siswa," tambah Ayah.
Waktu itu aku yakin semuanya pasti lancar. Akan gunakan WiFi untuk sekolah daring sambil diam-diam berusaha mencapai impianku menjadi seorang youtuber gaming. Sampai akhirnya aku tiba di titik ini. Titik di mana aku lengah, dan melupakan tugas kelompok membuat video sialan itu.