Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
Akil dan Nisa kembali ke rumah dengan beberapa kantong belanjaan. Senyum di wajah Nisa perlahan memudar begitu melihat Sahrah, kakak iparnya, berdiri di pintu dengan pandangan tajam, menatap setiap kantong belanja yang mereka bawa.
Ketika mereka masuk ke dalam, ibu mertua segera mendekat, memperhatikan kantong-kantong belanjaan di tangan mereka. “Mana struknya?” tanya ibu mertua, nada suaranya tegas.
Akil menyerahkan struk belanja tanpa banyak berkata, berharap semua baik-baik saja. Ibu mertua mengamati struk itu dengan teliti, matanya menelusuri setiap item dan harga yang tercantum. Beberapa kali dahinya berkerut, seolah-olah menghitung dan mempertimbangkan setiap rupiah yang telah dikeluarkan.
“Ini… kalian beli sabun cuci ini? Harganya mahal, Akil. Banyak pilihan yang lebih murah,” ujarnya dengan nada mengkritik.
Akil menarik napas pelan, berusaha menahan diri. “Iya, Bu, tapi sabun itu kualitasnya lebih bagus dan tahan lama…”
Namun sebelum Akil sempat menjelaskan lebih lanjut, Sahrah menggeleng sambil mendumel, seolah ingin memberikan pelajaran pada Nisa. “Sebagai istri, Nisa juga harus lebih pintar memilih barang. Jangan semua yang mahal langsung dibeli. Kalau begini caranya, nanti lama-lama uangnya habis begitu saja.”
Nisa menunduk, merasa tersudut oleh perkataan Sahrah. Perasaannya berkecamuk, antara malu dan tak enak hati. Ia merasa mungkin seharusnya lebih teliti, namun pada saat yang sama, ia hanya ingin memenuhi kebutuhan dengan kualitas terbaik untuk keluarga mereka.
Melihat istrinya diam, Akil mencoba menjelaskan dengan tenang. “Bu, Kak Sahrah… Kami hanya ingin memastikan semua kebutuhan keluarga terpenuhi dengan baik. Tapi kalau memang dirasa kurang sesuai, kami akan lebih hati-hati di lain waktu.”
Ibu mertua menghela napas, lalu meletakkan struk itu di meja tanpa berkata lebih lanjut. Sementara Sahrah hanya mendecak pelan, kemudian berjalan keluar ruangan sambil menggeleng, seolah-olah masih tak setuju dengan cara belanja mereka.
Nisa merasa sedikit lega saat suasana mereda, namun di dalam hatinya, ia bertekad untuk lebih cermat ke depannya. Akil menggenggam tangannya dengan lembut, mengisyaratkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Di dalam kamar, Nisa duduk diam di sudut tempat tidur, pandangannya kosong menatap lantai. Hatinya terasa berat, teringat kembali pada kata-kata ibu mertua dan kakak iparnya tadi. Kritik tentang belanjaannya, pandangan mereka yang seolah menilai setiap tindakannya—semua itu menghantui pikirannya.
Akil masuk ke dalam kamar, mendekati Nisa dan duduk di sampingnya. Ia memperhatikan wajah Nisa yang tampak lesu, lalu meraih tangannya dengan lembut. “Sayang, jangan terlalu dipikirkan, ya?”
Nisa menoleh, mencoba tersenyum, meski masih terlihat gelisah. “Aku hanya… merasa mereka kurang menyukaiku, Mas. Setiap yang kulakukan seperti salah di mata mereka.”
Akil menggeleng pelan, menatapnya dengan penuh kasih. “Ibu dan Kak Sahrah memang begitu, Nisa. Mereka bukan tidak menyukaimu, hanya saja… mereka ingin kita lebih cermat dalam mengatur segalanya. Mereka ingin kita belajar dan terbiasa hidup hemat, terutama untuk masa depan nanti.”
Nisa mendengarkan kata-kata Akil, mencoba memahami maksud dari sikap keluarga barunya. “Jadi… mereka hanya ingin memastikan aku bisa membantu Mas dalam mengatur rumah tangga, ya?” tanyanya perlahan, seakan berusaha mencari pemahaman.
Akil mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Sayang. Ibu dan Kak Sahrah orang yang baik. Mereka hanya ingin memastikan kita siap menghadapi segala tantangan. Kalau kamu mau, cobalah lebih banyak berbincang dengan mereka. Buka percakapan, tunjukkan bahwa kamu peduli dengan pendapat mereka. Aku yakin mereka akan lebih lembut.”
Perkataan Akil membuat hati Nisa sedikit lapang. Ia merasa didukung, dan saran Akil memberinya harapan baru. “Baik, Mas. Aku akan coba lebih mendekatkan diri dengan mereka. Mungkin aku harus lebih banyak mengobrol, ya?”
Akil tersenyum lebar dan mengangguk. “Itu istri hebatku.”
Nisa menghela napas dan tersenyum, merasakan semangatnya pulih kembali. Perasaan canggung dan tertekan tadi perlahan tergantikan oleh keinginan untuk beradaptasi lebih baik.
Dari dalam kamar, Nisa mendengar suara tawa riuh yang berasal dari ruang tengah. Suara ibu mertua, kakak ipar, adik ipar, dan beberapa lainnya bergema ceria, tawa mereka berulang-ulang ketika adegan lucu di TV mengundang gelak tawa.
Sambil menunggu kepulangan Akil dari tempat kerja, Nisa berpikir mungkin ini waktu yang baik baginya untuk mulai lebih dekat dengan keluarga suaminya. Dengan langkah hati-hati, ia menuju ruang tengah, berusaha bergabung dengan suasana kebersamaan itu.
Namun, begitu kemunculannya terlihat di ambang pintu, tawa itu tiba-tiba terhenti. Semua mata seakan tertuju padanya, dan ruangan yang tadi penuh canda seolah berubah hening. Nisa tersenyum kaku, merasa canggung oleh pandangan itu.
Namun tiba-tiba suara tawa anak kecil terdengar, seolah menyelamatkan suasana yang sempat tegang. Keponakan kecilnya, yang tadi ikut menyaksikan acara di TV, tertawa lepas, tak memedulikan kehadiran siapa pun. Suara polos dan ceria itu mencairkan keheningan.
Dengan sedikit keberanian, Nisa melangkah masuk dan duduk bersama mereka. Meski sambutannya tak begitu hangat, ia mencoba tetap tersenyum. Tak lama kemudian, keponakannya yang masih antusias mengajaknya berbicara, menceritakan karakter kartun favoritnya dengan bersemangat. Nisa mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk dan tertawa kecil, membuat anak kecil itu semakin semangat bercerita.
Mendengar obrolan mereka, adik iparnya ikut tersenyum, memberi komentar lucu tentang tokoh kartun yang dibicarakan, lalu disusul oleh ibu mertua dan kakak ipar yang ikut merespons, tertawa kecil mendengarkan cerita si anak kecil.
Nisa merasa lega, perlahan merasakan suasana hangat mulai terbentuk di antara mereka. Ia merasa diterima meski perlahan, dan kehadirannya tak lagi terasa seasing tadi.
Tak lama kemudian, Akil masuk ke dalam rumah dan melihat pemandangan itu. Ia tersenyum kecil, menyaksikan Nisa yang tampak mulai bisa berbincang dan tertawa bersama keluarganya. Dalam hati, ia merasa bahagia melihat istrinya yang perlahan mampu membaur dengan orang-orang terdekatnya.
Nisa sudah berbaring di sisi tempat tidur, matanya menerawang menatap langit-langit. Perasaan lega sekaligus harapan perlahan memenuhi hatinya. Hari ini terasa begitu panjang, namun ia merasa sedikit lebih diterima, meski masih ada kecanggungan.
Akil masuk ke kamar, mendekat dan duduk di sampingnya. Ia menatap Nisa dengan hangat, senyuman kecil terukir di wajahnya. "Aku bangga padamu, Sayang," ujarnya lembut sambil mengusap rambut Nisa. "Melihat kamu hari ini—berusaha dekat dengan keluargaku… aku tahu itu bukan hal mudah.”
Nisa menatap Akil, seulas senyum tipis muncul di bibirnya. “Aku hanya ingin mencoba, Mas. Meski belum terlalu diterima, aku berharap ke depannya komunikasi kita dengan mereka bisa lebih baik,” jawabnya tulus.
Akil meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Kamu sudah melakukan yang terbaik, dan itu sudah cukup bagiku. Aku yakin seiring waktu mereka akan lebih mengenal dan menyayangimu.”
Nisa mengangguk pelan, hatinya terasa hangat mendengar kata-kata suaminya. Tanpa banyak kata, mereka berbagi keintiman lembut, mengisi malam dengan cumbuan yang tenang.