(Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata juga mental yang kuat untuk marah-marah!)
Sheila, seorang gadis culun harus rela dinikahi secara diam-diam oleh seorang dokter yang merupakan tunangan mendiang kakaknya.
Penampilannya yang culun dan kampungan membuatnya mendapat pembullyan dari orang-orang di sekitarnya, sehingga menimbulkan kebencian di hatinya.
Hingga suatu hari, Sheila si gadis culun kembali untuk membalas orang-orang yang telah menyakitinya di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelakuan Jahat Maya
Di dalam sekolah, Maya melirik Sheila yang baru datang bersama Rayhan dengan tatapan penuh kebencian. Gadis itu sangat kesal melihat Rayhan yang begitu perhatian pada Sheila, namun sangat cuek padanya.
"Kalian lihat, kan... Lagi-lagi mereka datang bersama. Aku benar-benar kesal melihat mereka," ucap Maya pada kedua temannya.
"Jangan-jangan Rayhan sebenarnya menyukai Sheila," sahut salah seorang teman Maya yang sama jahatnya.
Maya tertawa sumbang mendengar ucapan temannya itu, "Yang benar saja. Coba kalian lihat Sheila. Dia gadis miskin dan culun. Memang dia punya apa yang lebih dari aku?" ujarnya dengan penuh percaya diri.
"Tapi Rayhan sering mengabaikanmu. Dan sebaliknya, dia sangat memperhatikan Sheila."
Wajah Maya pun berubah menjadi sangat kesal mendengar ocehan kedua temannya.
"Itu hanya karena Rayhan kasihan padanya, tidak lebih!" bentaknya dengan keras, lalu meninggalkan kedua temannya yang mengerucutkan bibirnya akibat bentakan Maya.
****
Jam pulang sekolah ...
BRUK!
Tubuh Sheila terhempas menabrak dinding sebuah ruangan. Keningnya menjadi memar akibat benturan keras ketika Maya dan teman-temannya yang jahat mendorongnya dengan keras. Sheila meringis memegangi keningnya yang terasa berdenyut. Dengan kasarnya, Maya menarik kerah kemeja yang digunakan Sheila. Gadis itupun meronta-ronta berusaha melepaskan cengkeraman tangan Maya.
"Tolong lepaskan!" ucap Sheila.
"Lepaskan? Baiklah!"
PLAK!
Satu tamparan keras di wajah Sheila membuat gadis itu terhuyung ke lantai. Dengan berusaha menahan air matanya, Sheila mencoba kembali berdiri.
"Itu akibatnya kalau bermain-main dengan Maya. Kalau kau masih mendekati Rayhan lagi, aku pasti melakukan yang lebih buruk dari ini. Ingat itu!" bentak Maya. Kedua temannya yang tetap setia dibelakangnya seolah menjadi pemandu sorak yang membuat Maya semakin bersemangat menyiksa Sheila.
Sementara Sheila tidak dapat berkata apa-apa. Keningnya yang sudah memar dan mengeluarkan darah terasa begitu berdenyut. Sheila hanyut dalam kebisuan. Hanya air mata yang menggenangi kelopak matanya, yang sekuat tenaga ditahan agar tidak sampai jatuh.
"Maya, ayo cepat kita pergi." Salah satu teman Maya segera menarik lengan temannya itu, takut ada yang melihat perbuatan mereka.
Akhirnya, dengan wajah penuh kepuasan dan tawa yang menggema, Maya dan kedua temannya itu meninggalkan Sheila yang masih berdiri menyandar di dinding. Sheila kemudian mengambil tas ranselnya yang teronggok begitu saja di lantai. Dengan sisa-sisa air mata memunguti buku dan benda lain yang berhamburan. Memasukkan kembali ke dalam tas.
Tidak ada yang bisa dilakukan Sheila selain bersabar. Takut membuat masalah dengan Maya yang merupakan anak kepala sekolah. Maya bisa saja meminta ayahnya mengeluarkan Sheila dari sekolah. Begitu isi pikiran gadis polos itu.
Dengan langkah gontai, gadis itu berjalan melewati lorong panjang itu, menuju gerbang sekolah.
Di depan sana, sudah ada seorang sopir yang diperintahkan Marchel untuk menjemput Sheila dan membawanya ke rumah sakit tempat Marchel bekerja, agar Sheila tidak perlu pulang lebih dulu dan bertemu ibu dan Audry yang bahkan lebih jahat dari Maya.
Sang sopir terlihat terkejut, manakala melihat kening istri dari tuannya itu memar dan mengeluarkan darah.
"Nona, apa yang terjadi? Kenapa keningnya berdarah?"
"Tidak apa-apa, Pak! Hanya terbentur saja," jawab sheila. Sang sopir kemudian membukakan pintu mobil dan segera melajukannya meninggalkan gedung sekolah elite itu.
Berselang tiga puluh menit, mobil yang ditumpangi Sheila memasuki halaman rumah sakit itu.
"Kata Dokter Marchel, Nona Sheila bisa langsung masuk ke ruangannya," ucap sang sopir sesaat setelah Sheila turun dari mobil.
"Terima kasih, Pak!"
Sheila melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah sakit itu. Langsung menuju ruangan sang suami. Namun, saat berada di depan ruangan itu, terlihat ada banyak pasien yang menunggu sehingga Sheila memilih duduk di antara antrian panjang itu.
***
Dua jam berlalu, para pasien yang tadi duduk mengantri sudah selesai satu-persatu. Marchel terlihat keluar dari ruangannya dan melihat sang istri duduk di kursi dengan memegangi keningnya.
"Sheila! Kau sudah lama? Kenapa kau tidak masuk ke ruanganku saja?"
"Tidak apa-apa, Kak. Aku tidak enak mengganggu Kak Marchel," ucapnya berusaha menyembunyikan luka di keningnya.
Mata Marchel pun membulat sempurna ketika melihat kening sang istri yang memar. Walaupun Sheila sudah berusaha menutupinya dengan rambut, namun Marchel tetap dapat melihat luka itu.
"Apa yang terjadi? Kenapa keningmu memar?" Marchel mengusap kening Sheila. Raut wajahnya tiba-tiba khawatir.
"Tidak apa-apa, Kak! Aku hanya terbentur."
"Terbentur dimana? Ayo kita masuk ke dalam, aku obati lukamu." Marchel menggandeng tangan Sheila masuk ke dalam ruangannya dan mendudukkan Sheila di sana.
*
*
*
"Apa ini masih sakit?" tanya Marchel sesaat setelah mengobati luka Sheila.
"Sedikit," jawabnya singkat.
Marchel kemudian merapikan rambut panjang Sheila yang tergerai dan tersentak kaget begitu melihat pipi kanan Sheila yang memerah seperti bekas tamparan. Sang dokter terlihat menggeram, dengan rahang mengeras.
"Siapa yang melakukan ini?" tanya Marchel seraya mengusap wajah Sheila.
Hingga beberapa saat Sheila terus terdiam, membuat Marchel menaikkan suaranya. "aku bertanya, Sheila! Siapa yang melakukan ini padamu?"
Sheila masih diam, tidak berani mengakui perbuatan Maya pada suaminya itu. "Aku tidak apa-apa, Kak! Sungguh."
Marchel memejamkan matanya kasar, terlihat sedang sangat marah. "Aku akan ke sekolahmu besok!"
"Tapi, Kak..."
"Tidak ada tapi-tapi. Besok aku akan ke sekolahmu dan melaporkannya pada kepala sekolahmu."
"Ja-jangan, Kak! Aku mohon. Aku tidak mau ada masalah. Lagipula, kalau pihak sekolah tahu aku sudah menikah, aku akan dikeluarkan dari sekolah. Dan mungkin tidak akan ada sekolah lain yang mau menerimaku. Aku mau menyelesaikan sekolahku," Sheila terus memohon pada Marchel agar tidak ke sekolahnya.
"Aku akan tetap ke sekolahmu!"
Dengan berderai air mata, Sheila kembali memohon. "Kak Marchel kan sudah berjanji pada Kak Shanum akan merahasiakan pernikahan kita sampai aku berusia 21tahun."
Seketika, Marchel terdiam, memikirkan janjinya pada mendiang Shanum yang memintanya menikahi Sheila secara diam-diam dan menyembunyikannya dari semua orang.
Laki-laki itu membelai puncak kepala Sheila kemudian memeluknya. "Baiklah, maafkan aku."
****
*
*
*
Sheila duduk di sebuah kursi kayu yang terdapat di taman rumah sakit itu. Menunggu Marchel yang sedang menangani pasiennya. Gadis itu hanya bermain game di ponsel milik Marchel yang dipinjamkan padanya. Dan, saat sedang asyik-asyiknya bermain, tiba-tiba Maya muncul di sana. Gadis sombong itu melihat Sheila sedang sedang duduk di taman.
Senyum licik terbit di sudut bibirnya melihat Sheila seorang diri di sana. Maya pun mendekat, berniat mengganggu Sheila.
"Sedang apa kau di sini, gadis kampungan?" Maya berdiri tepat di hadapan Sheila dengan gaya angkuhnya, bahkan Sheila sangat terkejut melihat Maya di sana.
"Ma-Maya..." gumam Sheila menundukkan kepalanya.
"Kau pasti menunggu Dokter Marchel, kan? Tunangan kakakmu itu."
Hening! Sheila tidak menjawab pertanyaan si jahat Maya. Berniat menghindari masalah, Sheila melangkahkan kakinya, hendak meninggalkan Maya. Namun, Maya menahannya dengan mencengkeram lengannya. Sheila pun meringis kesakitan.
"Berani sekali kau pergi pada saat aku belum selesai bicara! Dengar baik-baik anak culun, ibuku adalah kepala rumah sakit di sini. Kalau aku mau, aku bisa meminta ibuku memecat Dokter Marchel dari rumah sakit ini." Sheila tersentak kaget mendengar ucapan Maya. Tidak pernah dibayangkan oleh gadis polos itu bahwa ibu Maya adalah pimpinan tempat suaminya bekerja.
"Ja-jangan! Aku mo-hon." Sheila berbicara dengan nada terbata-bata. Takut jika Maya benar-benar mewujudkan ucapannya, meminta ibunya memecat Marchel.
"Jangan?" ujar Maya seraya tertawa sumbang. "Sekarang, kau tahu kan, betapa berbahayanya bermain-main dengan Maya."
"Ada apa ini?" terdengar suara seorang pria mengagetkan Maya dan Sheila.
Seketika Maya menunduk malu melihat siapa yang berdiri di sana. Pak Arman, yang merupakan orang kepercayaan Tuan Surya Darmawan sang pemilik Darmawan Group.
"Maya, aku benar-benar tidak mengharapkan kalimat angkuh seperti itu keluar dari mulutmu!" ucap Pak Arman dengan nada seperti membunuh.
Maya merem*s jarinya, gemetaran mendengar ucapan Pak Arman yang terdengar santai namun menusuk. Pak Arman menatap tajam pada Maya, sebaliknya sangat ramah menatap Sheila.
"Ma-maaf, pak!" ucap Maya terputus-putus.
"Ibumu memang kepala rumah sakit di sini. Tapi bukan berarti kau bisa menyombongkan itu di hadapan orang lain. Jangan sampai kelakuanmu malah membuat ibumu malu." Ucapan Pak Arman benar-benar membuat Maya malu di hadapan Sheila.
Kedua bola mata Maya telah dipenuhi cairan bening. Pak Arman terkenal sebagai orang yang tidak mudah memaafkan kesalahan sekecil apapun.
"Pergilah! Dan jangan ganggu nona kecil ini," perintah Pak Arman.
Dengan menahan perasaan malu dan takut, Maya meninggalkan Pak Arman dan Sheila yang masih berdiri di tempat itu. Sementara Sheila, hanya menunduk, seraya menatap punggung Maya dengan ekor matanya.
"Kau tidak apa-apa, Nak?" tanya lelaki paruh baya itu pada Sheila.
"Tidak apa-apa, Pak!" jawab Sheila takut-takut.
****
BERSAMBUNG