Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Kehidupan yang Sempurna
Mika merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk hotel, membiarkan pikirannya melayang kembali pada acara reuni yang baru saja berakhir. Gegap gempita suasana reuni masih terasa seperti gema di benaknya, tapi yang paling membekas bukanlah momen-momen riuh itu.
Tatapan Antony—suami Dara—terus terlintas di pikirannya. Tatapan itu mengganggu, seolah ada sesuatu di baliknya. Mika mencoba mengabaikannya, tapi semakin ia berusaha, semakin kuat kenangan masa lalu muncul di benaknya.
Dulu, Mika pernah sangat menyukai Antony. Saat SMA, Antony adalah sosok populer—tampan, karismatik, dan selalu terlihat keren di mata semua orang. Bagi Mika, Antony adalah cinta pertama, seseorang yang ia kagumi dalam diam. Namun cintanya hanya berakhir sebagai angan-angan.
Mika teringat betapa keras dirinya berusaha menarik perhatian Antony, mulai dari menulis surat cinta hingga berusaha tampil lebih baik setiap harinya. Namun, Antony tak pernah benar-benar melihatnya. Malah Dara dan gengnya mempermalukan Mika habis-habisan ketika mereka menemukan surat cintanya. Itu adalah puncak penghinaan terbesar dalam hidupnya.
“Bodoh,” gumam Mika pelan, menertawakan dirinya yang dulu. Ia masih bisa merasakan perihnya penolakan yang tak terucap itu—penolakan melalui ejekan dan cemoohan di depan banyak orang. Antony tak pernah peduli. Bahkan setelah itu, ia tak pernah menoleh sedikit pun ke arah Mika.
Namun malam ini, semuanya berbeda. Tatapan Antony kepada Mika di acara reuni tadi seolah bukan sekadar rasa penasaran. Ada sesuatu di baliknya—sesuatu yang membuat Mika merasa aneh. Apa itu kekaguman? Rasa menyesal? Atau hanya sekadar nafsu yang terpendam?
Suara notifikasi dari ponsel Mika mengalihkan pikirannya. Sebuah pesan muncul di layar dari Raka.
Raka: "Sudah sampai hotel? Maaf ya kalau aku sedikit banyak ngobrol tadi, tapi senang banget bisa ketemu kamu lagi. Kita bisa ketemu lagi besok kalau kamu belum sibuk. :)"
Mika tersenyum kecil. Raka selalu jadi sosok yang berbeda dari teman-teman lainnya. Ia bukan bagian dari geng Dara, tapi juga tak pernah berusaha melawan mereka. Namun, di balik sikapnya yang culun dan tertindas saat SMA, Raka kini berubah menjadi sosok yang lebih percaya diri—dan sukses.
“Aneh ya,” gumam Mika. Di satu sisi, Antony masih menarik perhatiannya dengan caranya yang memikat. Tapi di sisi lain, Raka—dengan segala ketulusannya—terasa jauh lebih nyaman.
Mika menarik napas panjang, lalu membalas pesan Raka.
Mika: "Sudah sampai. Thank you ya tadi udah antar. Senang juga bisa ketemu kamu lagi :)"
***
Di kediaman mewah milik Dara dan Antony, suasana pagi itu terasa tenang dan nyaman. Dara sudah tampil sempurna seperti biasa, mengenakan dress elegan berwarna pastel, dengan rambut tergerai rapi dan makeup tipis yang menambah pesona kecantikannya. Ia duduk di meja makan bersama Antony dan putri kecil mereka yang ceria.
Antony, dalam balutan jas kerja, tampak sibuk memeriksa email di ponselnya. Namun, sekali-sekali ia menyempatkan diri tersenyum kepada putri kecilnya yang tengah memakan sereal dengan penuh semangat. Dara duduk di seberangnya, menikmati sarapan sambil sesekali mengecek sosial media di ponselnya.
“Papa mau pergi lagi hari ini?” tanya anak mereka, seorang gadis kecil dengan mata bulat dan rambut ikal berwarna cokelat.
Antony mengacak rambut putrinya dengan lembut. “Papa ada meeting penting. Tapi nanti malam kita bisa makan malam bareng, oke?”
Gadis kecil itu mengangguk riang, kembali fokus pada serealnya.
Dara sesaat mencuri pandang ke arah Antony. Kemarahan yang sempat memenuhi pikirannya malam sebelumnya kini mulai terkikis oleh kenyataan: Mika hanyalah masa lalu. Dara yakin, reuni itu hanyalah pertemuan singkat yang tidak akan memengaruhi hidup mereka. Lagipula, dengan kehidupan mereka yang sempurna sekarang, Mika hanyalah bayangan samar dari masa lalu yang tidak perlu dipikirkan lagi.
Sambil menyuap potongan buah, Dara tersenyum tipis. Dia selalu menang, bukan?
Antony yang kini menjadi suaminya, keluarga kecil yang bahagia, dan semua kemewahan ini adalah bukti bahwa Dara berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan.
“Mika cuma nostalgia semalam, sayang,” ujar Dara, seolah berbicara pada dirinya sendiri untuk meyakinkan hatinya. Ia tak peduli dengan perubahan Mika atau bisnisnya yang sukses di sosial media. Dara tetap merasa dirinya berada di puncak.
Antony menatap Dara sejenak, senyum simpul terlukis di wajahnya, seakan menandakan masalah malam kemarin sudah selesai. “Kamu nganter anak kita ke sekolah hari ini, kan?”
Dara mengangguk, menghabiskan tegukan terakhir jus jeruknya.
Saat Antony berdiri dari kursinya, Dara menghampirinya untuk memberikan kecupan di pipi. “Hati-hati di jalan, ya,” katanya lembut. Antony membalas dengan senyum yang tampak tulus, namun di matanya, tersirat sedikit kelelahan atau mungkin kebosanan.
Dara menangkap sekilas ekspresi itu, tapi memilih mengabaikannya. Hidup pernikahan, pikirnya, memang kadang begitu.
“Jangan terlalu capek di kantor,” Dara menambahkan dengan nada manis. Antony hanya mengangguk, mengambil tas kerjanya, lalu melangkah keluar rumah dengan langkah santai.
Ketika pintu tertutup di belakang Antony, Dara menghela napas panjang, seolah merasa lega. Kehidupan yang sempurna ini bukan tanpa tekanan, tapi Dara tidak pernah mengizinkan siapa pun melihat retakan di balik kesempurnaan tersebut.
Saat menunggu putrinya mengenakan sepatu, Dara membuka sosial medianya. Jemarinya dengan lincah menggulir layar, hingga tanpa sadar ia kembali membuka akun Mika. Sebuah foto terbaru muncul: Mika duduk di tepi kolam renang hotel, mengenakan gaun anggun dan tersenyum menawan.
Sejenak, ada rasa iri yang muncul di hati Dara. Mika sekarang jauh lebih cantik, dengan penampilan yang sama sekali berbeda dari sosok lemah yang dulu menjadi bahan ejekannya. Dara menggigit bibirnya. “Biarin aja,” bisiknya, berusaha menepis rasa tidak nyaman di hatinya.
Namun, pikiran itu sulit diabaikan. Dara tahu bahwa di luar kesempurnaan hidupnya, ada sesuatu tentang Mika yang mengusiknya. Bukan hanya perubahan fisik atau kesuksesan Mika, tapi kenyataan bahwa Mika tidak lagi menjadi sosok yang lemah dan tunduk seperti dulu.
“Sudahlah,” Dara bergumam sambil menutup ponselnya dengan cepat. Ia tidak ingin menghabiskan waktu lebih lama untuk memikirkan Mika.
Dara menggandeng tangan putrinya dan menuntunnya menuju mobil SUV mewah mereka. Saat mesin dinyalakan dan lagu anak-anak mulai mengalun pelan dari speaker mobil, Dara mencoba memfokuskan pikirannya pada hari itu—mengantarkan anaknya ke sekolah dan melanjutkan rutinitas yang biasa.
“Dia cuma masa lalu, dan masa lalu nggak bisa menyentuh aku lagi,” bisik Dara pada dirinya sendiri, seolah mantra itu bisa menghapus jejak pertemuan mereka di reuni semalam.