Nana, gadis pemberani yang tengah berperang melawan penyakit kanker, tak disangka menemukan secercah keajaiban. Divonis dengan waktu terbatas, ia justru menemukan cinta yang membuat hidupnya kembali berwarna.
Seorang pria misterius hadir bagai oase di padang gurun. Sentuhan lembutnya menghangatkan hati Nana yang membeku oleh ketakutan. Tawa riang kembali menghiasi wajahnya yang pucat.
Namun, akankah cinta ini mampu mengalahkan takdir? Bisakah kebahagiaan mereka bertahan di tengah bayang-bayang kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 3: Apakah ini takdir?
Setelah menyeruput secangkir kopi, gue langsung pergi ke kampus. Well, sebenarnya sih gue udah dilarang dokter minum kopi. Tapi, gimana ya, mereka adalah sumber kehidupan gue ditengah mood gue yang sering naik turun.
Balik lagi ke cerita gue, gue langsung pergi ke kampus deket kafe. Hari ini lagi ramai banget. Apalagi banyak mahasiswa yang ngeliatin gue, mungkin karna wajah gue keliatan pucet kayak zombie.
Dari arah belakang, terdengar Suara lelaki tua memanggil nama gue, "Nana."
Gue sontak menengok ke arah belakang, nggak lupa tersenyum dan mengucapkan salam. "Selamat pagi, Bapak Sutanto."
Seperti biasa setiap orang yang ketemu gue pasti selalu nanya kondisi kesehatan gue. "Gimana, sehat?"
"Sehat sentosa, aman, jaya, Pak!" seru gue.
"Bagus, jaga kesehatan ya, biar cepet sembuh." Katanya yang kemudian ninggalin gue.
Kadang - kadang gue suka capek denger ataupun ditanya soal kesehatan. Gue ngerasa terus diingetin soal kondisi gue.
Gue berjalan ke arah koridor gedung DKV menuju ruangan dosen gue. Sesampainya disana, gue kembali dikagetkan dengar suara dosen gue, Bu Mirah, memanggil. "Nana, hari ini bimbingan skripsi lagi ya, kamu siapa kan?"
Gue mengangguk serasa tersenyum tipis dan masuk ke ruangannya. "Siap, Bu!"
Bu Mirah tersenyum. "Bagus. Jadi, kita mau bahas apa hari ini?"
Gue mulai menjelaskan tentang perkembangan skripsi gue. Bu Mirah mendengarkan dengan seksama dan memberikan beberapa masukan yang sangat membantu. Setelah selesai konsultasi, gue keluar dari ruangannya.
Saat gue berjalan ke luar kampus, gue melihat Arga lagi yang sedang duduk di bangku taman, cowok itu sedang menikmati kopi sambil membaca buku. Gue buru-buru jalan sambil menutupi wajah dengan buku yang gue bawa.
"Nana!" panggil Arga.
Gue langsung menurunkan buku yang menutupi wajah gue, dengan cepat gue tersenyum kaku sambil bergumam, "dunia ini sempit banget sih!"
"Ketemu lagi. Kamu lagi ngapain?" tanya Arga sambil berjalan kearah gue.
Gue ngangkat kepala dan liat Arga berdiri di depan gue, senyum lebar. "Oh, hai Arga! Lagi ngerjain tugas. Kamu?"
"Gue baru aja selesai kelas." Kata Arga.
"Panas, mau duduk disana nggak?" tanya Arga sambil menunjuk kursi kosong yang di bawah pohon.
"Boleh," jawab gue sambil senyum.
"Sering juga ya kita ketemu." celoteh gue sambil berjalan ke arah kursi panjang berwarna putih.
Arga duduk. "Iya, ini udah kedua kalinya kita ketemu secara nggak sengaja. Gue jadi mulai percaya kalau apa yang dibilang nyokap gue itu emang bener."
Gue nengok ke arah Arga yang sedang menatap jam hitam di pergelangan tangannya. Lalu, Arga menengok ke arah gue seraya berkata, "jangan-jangan kita berjodoh."
Gue ketawa pelan. "Aduh, gombal lagi nih."
Dalam hati, gue pengen banget nabok lo!
"Tapi beneran, Nana. Gue kan nggak pernah ketemu lo sebelumnya, terus tiba-tiba kita ketemu di kafe dan sekarang di kampus. Kalau ini bukan tanda dari semesta, apa coba?" jawab Arga dengan nada bercanda tapi matanya serius.
Gue geleng-geleng kepala sambil senyum. "Lo bisa aja, Arga. Tapi ya, mungkin ini kebetulan aja."
"Mungkin. Tapi kebetulan yang menyenangkan, kan? Jadi, kita harus memanfaatkannya."
Memanfaatkan pale lo!
"Kamu selalu punya alasan untuk ngobrol, ya?" sahut gue sambil senyum lebar.
"Ya dong. Mana tau kan, obrolan ini jadi awal dari sesuatu yang lebih," kata Arga sambil kedipin mata.
Gue ketawa lagi. "Kamu ini ada-ada aja. Tapi serius, Arga, kamu ngambil jurusan apa di sini?"
"S2 Manajemen. Lo?" tanya Arga.
"Desain Grafis," jawab gue. "Nggak nyangka kita satu kampus."
"Ya, dunia ini kecil, apalagi kalau kita memang ditakdirkan untuk bertemu," kata Arga sambil senyum lebar.
Gue geleng-geleng sambil senyum, merasa sedikit funny. "Lo bikin gue penasaran, Arga."
Arga ketawa pelan. "Itu tujuan utamanya. Gue senang bisa bikin cewek penasaran."
Arga ambil napas dalam-dalam, kayak lagi ngumpulin keberanian. "Nana, ngomong-ngomong soal takdir dan kebetulan, gue sebenarnya mau ngajak lo pergi besok pagi."
Gue kerutkan kening. "Pergi ke mana?"
"Ke Borobudur. Gue mau Kita mulai ngelakuin hal-hal yang udah Kita sepakatin di kafe tadi. Gue tahu ini mendadak, gue udah chat temen gue di Jogja buat siapain semuanya. Lo cuma perlu setuju dan santai aja," kata Arga sambil senyum lebar.
Gue terkejut, tapi perlahan senyum muncul di wajah gue. "Borobudur? Serius lo, Arga?"
"Serius. Gue pengen lo menikmati momen indah dalam hidup lo. Tapi gue perlu nomor HP lo biar bisa kasih tahu detailnya," jawab Arga dengan nada penuh harap.
Gue ngangguk sambil senyum. "Baiklah, ini nomor WA gue" Gue tuliskan nomor HP di ponsel Arga.
"Thanks, Nana. Gue janji, ini bakal jadi perjalanan yang bakalan nggak bisa lo lupain."
Gue ketawa kecil. "Oke, Arga. Gue percaya sama lo. Jadi, sampai ketemu besok pagi?"
"Sampai ketemu besok pagi," kata Arga sambil senyum lebar.
Kita berdua tersenyum, merasakan percikan kebahagiaan yang menjanjikan sesuatu yang lebih. Arga nggak sabar menunggu hari esok, berharap momen di Borobudur akan menjadi awal dari kisah yang indah bersama gue.
yuk kak saling dukung #crazy in love