NovelToon NovelToon
Kamu Berhak Terluka

Kamu Berhak Terluka

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Bullying dan Balas Dendam / Enemy to Lovers
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Bibilena

Gilsa tak percaya ada orang yang tulus menjalin hubungan dengannya, dan Altheo terlalu sederhana untuk mengerti kerunyaman hidup Gilsa. Meski berjalan di takdir yang sama, Gilsa dan Altheo tak bisa mengerti perasaan satu sama lain.

Sebuah benang merah menarik mereka dalam hubungan yang manis. Disaat semuanya terlanjur indah, tiba-tiba takdir bergerak kearah berlawanan, menghancurkan hubungan mereka, menguak suatu fakta di balik penderitaan keduanya.

Seandainya Gilsa tak pernah mengenal Altheo, akankah semuanya menjadi lebih baik?

Sebuah kisah klise cinta remaja SMA yang dipenuhi alur dramatis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bibilena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dia yang dianggap Buruk oleh Semua Orang

"Hei!" Gilsa yang akan beranjak berjalan tertahan oleh suara itu dan berpaling menoleh. Sebelah alisnya terangkat samar, poni tipisnya jatuh bergeser ke samping. Entah kenapa orang asing ini terus tertarik untuk mencampuri hidupnya.

"Mau memberiku ikat rambut lagi?" tanyanya mengejek, saat melihat bibir Altheo tampak tersenyum kecil. Altheo sedikit merasa lucu akan ucapan itu, tapi dia mengabaikannya. Bagus jika Gilsa menganggap dia orang baik, meski itu hanya seseorang yang suka memberikan ikat rambut. Pemuda itu kemudian menyampirkan tasnya dan menghampiri Gilsa.

"Siapa namamu?" tanya Altheo. Dia mengulurkan tangannya. Meski telah mengetahui siapa Gilsa, pemuda itu tak mau menjadi orang kurang ajar yang langsung mendekat tanpa permisi. Altheo lebih suka orang yang dia tuju memberitahunya soal dirinya sendiri, daripada mendengar itu dari orang lain.

"Kau mengajakku berkenalan?" Gilsa bertanya tak minat. Tak ada jawaban dari Altheo, hanya wajahnya yang tersenyum ramah terlihat.

"Untuk apa? Kau tertarik soal apa padaku?" Gilsa menyernyit, menatap rendah uluran tangan itu sembari mendecak. Matanya meruncing. Wajahnya menampakan jelas bahwa dia tak menyukainya.

"Apa tidak bisa kita berteman?" Altheo balik bertanya. Sifatnya yang konsisten untuk tak pernah merasa ciut ternyata memang kepribadian asli Altheo, meski setelah itu dia akan merasa menyesal telah berbuat nekat.

Altheo menghela napas, menatap sisi tubuh Gilsa dan meraih tangan yang di hiasi gelang warna warni itu lalu melakukan salaman singkat. Gilsa menatap lama tangannya yang baru saja bersalaman dengan Altheo. Bibirnya tersenyum tipis.

"Berteman?" Tatapan gadis itu kembali terangkat menatap Altheo.

"Berteman denganku artinya kau akan dibenci semua orang, apa kau bisa menanggungnya?"

Altheo tersenyum tanpa ragu.

"Tidak masalah. Selama tidak merugikanku aku tak perduli."

Mendadak raut muka Gilsa menjadi hilang. Dia menatap rendah maksud baik yang terpancar dari Altheo.

"Aku yang masalah," katanya lantas berbalik pergi tanpa memerdulikan Altheo.

•••

"Hari ini naik motor?" Sebuah rangkulan tiba-tiba tersampir di bahu Gilsa. Gadis itu menoleh, di sampingnya tampak sebuah wajah yang sangat akrab hingga membuatnya ingin muntah.

"Iya," jawab Gilsa tak acuh. Dia melepaskan rangkulan itu dan lantas menaiki motor tanpa memedulikannya. 

"Kenapa sih? Kau masih mempermasalahkan soal itu sampai sekarang?"

Gilsa tak menjawabnya dan sibuk memakai helm. Lelaki ini akan terus mengoceh baik dijawab ataupun tidak, jadi sama saja. Percuma meresponnya.

"Kita berteman baik dulu, bukankah sayang jika harus berpisah?"

"Morgan."

Cowok itu menaikan alisnya ketika dipanggil. Wajahnya tampak bertanya-tanya. "Apa?"

Gilsa membuka kaca helmnya hingga kedua mata jernih itu bisa Morgan lihat dengan jelas.

"Minggir."

Wajah Morgan berubah tertegun.

"Minggir brengsek!"

Laki-laki itu tertawa, cukup kencang dan agak sinis. Meski begitu para akhirnya Morgan pasrah, dia mengangkat tangan seolah menyerah lalu berjalan mundur.

"Oke-oke." Dia akhirnya menepi

Tanpa aba-aba Gilsa langsung saja menyalakan motornya dan membelokan kendaraan itu ke arah lapangan. Motor hitamnya melaju kencang hingga menghilang keluar dari gerbang sekolah. Morgan masih diam di tempatnya berdiri. Dia tersenyum miring sembari mengambil ponsel di kantung celana belakangnya.

"Dasar cewek anjing!"

•••

Untuk sampai dirumah adalah perjalanan singkat yang entah kenapa memberi suasana berbeda dari saat Gilsa pergi. Gadis itu memarkirkan motornya di garasi rumah lalu turun dengan gerakan lihai dari atas sana. Helm full face nya dia buka, rambut pendeknya yang di kuncir tampak sedikit berantakan. Menyimpan helm diatas tangki motor, dia kemudian merapikan poninya dengan kedua tangan.

Gilsa tersenyum pada sosok yang menunggunya turun, dia memberikan kunci motor meski orang itu tak menatapnya dan setia menunduk. Gadis itu melangkah keluar dari basement rumah, berbelok dan berjalan menuju pintu di sebelah barat. Langkahnya cepat dan pasti, para pekerja di sekitar yang melihat kedatangan majikan mereka tampak menunduk, menyambut kepulangan putri sulung rumah ini.

Pintu terbuka, Gilsa lantas masuk ke dalamnya dan menutupnya sampai rapat. Saat di dalam, mata Gilsa bisa melihat keadaan rumah yang masih tetap dalam suasana dingin seperti bagaimana saat dia berangkat tadi pagi. Tatapannya menjadi kosong, tapi tak lama kakinya berjalan tergesa mencapai tangga di sebelah timur rumah. Menaikinya untuk sampai di kamar.

"Ah?" Matanya terpaku. Tubuhnya terhenti saat kedua matanya berpapasan dengan seorang pemuda berjas rapi di lantai atas. Pemuda itu tampak memegang dokumen di salah satu tangannya.

"Selamat pulang, Nona," sapanya sembari menunduk.

Gilsa masih terdiam. Kakinya bergerak maju hingga sampai di depan lelaki itu. Anehnya wajahnya tampak tak berdaya meski dingin.

"Dimana atasan anda?" tanya Gilsa. Lelaki berjas di depannya terdiam untuk sebentar dengan sambil masih menunduk.

"Ayah anda saat ini sedang di kantor, Nona. Saya kesini hanya untuk mengambil dokumen yang tertinggal," jawabnya.

"Begitu?" Gilsa menatap dokumen yang dimaksud itu. Tak lama ujung kakinya berbalik arah, berjalan melewati pemuda tadi tanpa kata-kata.

Pak Birka masih disana dengan tatapan datarnya. Melihat Nona rumah ini memasuki kamar terlebih dahulu, sebelum kemudian melanjutkan langkahnya menuruni tangga dan pergi keluar rumah.

•••

Altheo datang sebelum bel berbunyi ke kelas, meskipun begitu rupanya sudah banyak murid yang datang dan sibuk sendiri-sendiri. Diantara itu ada empat murid yang Altheo tak sangka akan datang lebih awal.

"Kalian sudah di sekolah?"

"Hei, iya dong kita kan anak baik." Tiara menyapanya. Ada Caroline, Devina dan juga Lamia di sana. Altheo tersenyum dan menaikan alis.

"Aku pikir kalian bukan tipe yang datang pagi." Altheo menghampiri tempat keempatnya duduk. Mereka saling tatap satu sama lain lalu tertawa.

"Kita kelihatan seperti anak yang suka telat ya?"

"Nah, betul sekali. Aura nakalnya kuat," timpal Altheo.

"Sembarangan."

"Kita walaupun seperti ini, peringkat kelas tahu."

"Oh ya? pinter dong?"

"Jelas." Tiara mendengus. "Kalau tidak ada yang berbuat curang sih seperti itu."

Tatapannya melirik sinis meja terpojok kelas yang berada di sebelah kiri. Meski itu samar Altheo bisa menebak apa yang dimaksud Tiara sehingga pemuda itu menatap meja di samping tempatnya duduk.

"Curang?" lirihnya kemudian menatap kembali wajah Tiara. Gadis itu hanya tersenyum kecil. Sepertinya tak berniat memberikan penjelasan.

"Gilsa kan?" katanya. Seperti membuka kotak pandora ekspresi wajah keempat orang itu langsung berubah buruk.

"Aku lihat dia hanya tidur dari kemarin, apa dia bermasalah?"

Helaan napas Devina memenuhi pembicaraan. "Dia itu public enemy."

"Ketika kau mencoba dekat dengannya, dia akan memberimu racun. Gilsa adalah orang yang seperti itu."

Altheo diam. Jika diingat lagi Gilsa memang cocok dengan tittle seperti itu. Dia urakan, bicaranya kasar dan pakaiannya tidak memenuhi standar aturan sekolah.

Namun benarkah demikian?

Saat melihat gadis itu hanya tertidur sepanjang kelas, diabaikan seolah dikucilkan dan tidak diingatkan siapapun baik ketika jam istirahat atau pulang tiba, benarkah dia yang menjauhi semua orang?

"Jangan kasihan, atau nanti kau yang rugi."

"Begitu ya ....?" Altheo mengangguk.

"Kamu pasti kasihan kan? Wajahmu seperti orang yang mudah ditipu."

"Astaga, jika penipunya kalian baru masuk akal. Aku tidak naif ya." Altheo tertawa sinis dan beranjak pergi dari sana.

"Sudah diperingatkan ya!"

Saat sampai di mejanya Altheo teralihkan dengan pemandangan baru. Gilsa tampak fokus bermain ponsel pagi ini. Dia yang biasanya tidur kini menampakan wajahnya ke semua orang. Para murid tak ada yang berkumpul dan mengobrol di meja belakang, mereka menatap jijik ke arah meja dimana gadis itu berada. Bahkan Kailo pun memilih mengungsi di meja temannya dan mengobrol di sana.

Altheo menatapnya agak heran.

"Memang seburuk apa Gilsa?" pikirnya. Pasalnya hanya Gilsa, dirinya dan Prima yang mengisi dua baris meja terakhir.

"Hei!" Altheo duduk dan menyeret kursinya mendekat ke arah Gilsa sembari berwaspada agar tak ketahuan.

Gilsa mendengar seruan itu. Dia melirik sinis Altheo dengan ujung matanya. "Apa?"

"Kenapa semua orang takut padamu?"

Atensi Gilsa terenggut sepenuhnya dari ponsel. Dia tertegun sejenak sembari menerka-nerka isi otak pemuda di sampingnya ini.

Bukan sekali dua kali, bahkan siapapun yang mendekatinya akan langsung berubah kesal karena sikap kasarnya. Namun Altheo sejak kemarin tak juga jera, dia hanya bersikap tak acuh dan terus mendekatinya.

"Kau menginginkan apa dariku, Altheo?" Gilsa kemudian memainkan lagi ponselnya sembari membalas ucapan Altheo.

"Aku hanya penasaran."

"Apa dimatamu mereka terlihat takut padaku?" timpal Gilsa sedikit jenaka, tapi sinis.

Altheo yang perlahan mulai terbiasa dengan jawaban seperti itu mulai memakluminya sebagai cara Gilsa berinteraksi. Dia mulai menimang-nimang dan teringat kejadian kemarin saat Genan melempari Gilsa kertas umpatan.

"Kalau bukan, lalu apa?" tanyanya.

"Kenapa kau terus bertanya? Apa kisahku akan kau jadikan novel? Ingin ikut campur sekali urusan orang lain," balas Gilsa dengan sinis.

Altheo mencebik. "Bisa tidak kita mengobrol layaknya teman? Kau seperti bermusuhan denganku."

"Tidak."

"Kalau begitu apa mereka dendam padamu karena kau yang kasar seperti ini?"

Gilsa terdiam mendengarnya. Menatap Altheo seolah pemuda itu adalah hal yang menarik.

"Kau cukup pintar, apa karena dari luar negeri?" Sudut bibirnya terangkat tipis.

"Semua orang di kelas ini hanya membenciku, itu saja. Mereka ikut-ikutan," ujar Gilsa. Altheo menatapnya.

"Ikut-ikutan?"

Gilsa mendesah. "Apa perlu aku ceritakan alasannya, seperti menceritakan sejarah kerajaan majapahit padamu?"

"Aku siap mendengarkan."

"Aku yang tak mau."

"Tapi Prima tidak."

"Apa?" Gilsa menatap dengan wajah yang jauh lebih tersinggung.

"Prima tidak menjauhimu."

Ah.

"Prima memang orang yang hidup di dunianya sendiri." Altheo bergeming. Kalau dia ingat kembali pertemuan pertama mereka, Prima memang terasa seperti orang yang begitu. Sedari bertemu gadis itu selalu terlihat hidup tanpa emosi.

"Aku ini korban. Apa aku tak tampak sedang di kucilkan di matamu?" Gilsa kembali membuka suara.

"Tidak sama sekali." Jawaban itu keluar begitu ringan dari mulut Altheo. Gilsa tak terkejut, bibirnya melepas tawa samar.

"Kurang ajar sekali."

"Habis kau tampak seperti pelaku bukan korban. Mana ada korban perundungan yang angkuh sepertimu. Sudah begitu kepribadiannya kasar dan semena-mena. Bukannya justru kau terlihat lebih dominan dari yang membullymu?"

"Lalu kenapa kau menyebut Genan pelaku pembullyan kalau aku tidak dibully?" Gilsa menatap lagi pemuda itu.

"Kertas itu ditujukan untukku kan?"

Altheo bergeming.

"Aku tahu. Kau tidak tahu keseharianku bagaimana."

Altheo menurunkan ponsel Gilsa hingga jatuh keatas meja. Perlahan gadis itu menggerakan kepalanya untuk menghadap Altheo.

"Kalau begitu, aku ingin tahu keseharianmu."

"Aku tak akan mengijinkannya." Gilsa menggeleng. Matanya menatap tajam Altheo.

"Tapi kau kan tak bisa menolak."

Raut muka Gilsa mendatar. "Apa maksudmu?"

Tiba-tiba bunyi bel masuk berdering nyaring. Gilsa lantas menghempaskan tangan Altheo lalu terfokus pada ponselnya kembali. Tubuhnya tegak lurus kearah depan, seolah menghiraukan Altheo.

"Mulai sekarang kita teman ya."

Gilsa tak menjawabnya, dia pura-pura tak mendengar ucapan itu. Kelas yang bising dan fokusnya pada ponsel membuat ucapan Altheo terasa seperti angin lalu.

"Terserah. Toh dalam waktu dekat kau akan pergi juga, seperti yang sudah sudah." Hatinya meyakini itu.

"Good morning, student."

"Yes, Ma'am!"

Altheo menatap guru itu dengan seksama. Dari panggilan saja sudah dapat terlihat jika beliau adalah Guru Bahasa Inggris.

"Kita kelas sebelas kan?"

"Kenapa? Kau krisis identitas?"

"Tidak aku hanya mengingat sesuatu yang tak perlu."

1
Rasmi
🥲
Rasmi
😭😭😭😭
Rasmi
gilsa gk naik kelas????? 🧐 kok isoo
Rasmi
kencan??? 😌
Rasmi
Critanya mnarik bngt.. ada kisah pertemanan, masalah kluarga jga prcintaan ...ditnggu smpe end thorr 😌☺
Rasmi
nooooo 😭
Rasmi
altheo??
Rasmi
😲
Rasmi
susss😌
Rasmi
typo y yang trakhir thor mau ikutan kaget jdi gk jadi 😭🤣
Bibilena: Ah iya maaf aku baru tahu 😭😭
total 1 replies
Rasmi
jahat bngt bjingan😭
Rasmi
pengalaman bangettt 😵‍💫
Rasmi
bner banget knpa y orng kaya tuh suka caper 😕
Rasmi
wah, seru juga,kyaknya cweknya badass dehh
Gió mùa hạ
Tak terduga.
Bibilena: 😮 terima kasih (?)
total 1 replies
BX_blue
Jalan cerita seru banget!
Bibilena: Terimakasih atas dukungannya^^
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!