Ayu Lestari, seorang wanita yang harus rela pergi dari rumahnya saat warga mengetahui kehamilannya. Menghabiskan satu Malam dengan pria yang tidak di kenalnya, membawa petaka dan kemalangan pada Ayu, seorang wanita yang harus rela masa depannya terenggut.
Akankah Ayu menemukan siapa ayah bayi yang di kandungnya? bagaimana reaksinya saat mengetahui bahwa pria yang menghamilinya adalah seorang pria yang di kenal culun?
Penasaran kan? yuk ikuti terus kisahnya sampai akhir ya, jangan lupa tambahkan subscribe, like, coment dan vote nya. 🤗🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni mardiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nihil
Di sebuah rumah yang sangat besar, luas, juga mewah terdapat kedua pria gagah dan tampan sedang duduk santai di ruang keluarga. Wajah kedua pria itu terlihat bingung lantaran misi yang selama ini dijalani tak kunjung terungkap.
“Hahh, sudah cukup lama kita mencari wanita itu. Cuma kenapa sampai detik ini tidak ada satu pun bukti yang berhasil ditemukan. Terus kita harus gimana, Kak Ghani? Papa pasti marah dan menganggap kita ini tidak becus mencarinya.”
Sang adik terlihat begitu kesal dan pusing karena memikirkan tanggung jawab yang tak kunjung selesai , sehingga membuat kakak tertuanya pun ikut menjadi stres.
“Kamu bisa diam nggak, Ganesha. Aku ini sedang memikirkan semuanya, apalagi aku sudah mengarahkan seluruh anak buahku untuk menyelidiki kasus itu. Cuma memang tidak ada jejaknya, terus kita musti gimana? Gimana!”
Sang kakak yang sudah terlalu pusing memikirkan semua itu tanpa sadar membentak adiknya sendiri. Maklum saja pikiran mereka saat ini sedang kacau balau.
“Kamu tahu, ‘kan. Dunia ini tuh, luas. Sangat luas! Kalau kita masih belum menemukan bukti yang kuat masa iya, satu persatu wanita di muka bumi ini harus mencakar tubuh Gibran hanya demi mencari luka yang sama. Iya!”
Ganesha selaku adik Ghani yang nomor satu seketika terdiam. Dia tak berani berkata apa-apa lagi ketika sang kakak sudah keluar taringnya.
Ghani menyandarkan tubuhnya di sofa dengan santai menatap langit-langit rumah. Namun pikirannya terus berkelana memikirkan caranya.
“Rasanya aku ingin menyerah, Nes. Cuma aku tidak bisa lepas tangan begitu saja. Gibran adalah adik kita, meskipun dia tidak mengerti apa yang sudah terjadi padanya. Cuma kita sebagai kakak tahu persis kalau yang terjadi di malam itu dia sudah meniduri wanita lain. Apa kamu masih ingat kejadian itu?”
Ganesha mengangguk kecil. Apa yang dikatakan oleh Ghani ada benarnya juga. Sampai detik ini mereka sudah berjuang mencari ke mana-mana, tetapi wanita itu tidak berhasil ditemukan.
Semua bukti pun terasa tenggelam bersamaan hilangnya Ayu yang seperti ditelan bumi. Semua itu karena Raden begitu licik, sehingga menghilangkan semua jejak mulai dari rekaman CCTV atau bukti lainnya.
Gibran merupakan pria polos yang sangat lugu, jadi tidak sedikit pun merasa curiga atas apa yang sudah terjadi di malam itu. Besar kemungkinan Ghani dan Ganesha begitu percaya atas apa yang sudah terjadi lantaran melihat bukti kuat di tubuh adik bungsunya.
Beberapa tahun yang lalu, setelah Ayu pergi dari hotel secara diam-diam penuh rasa marah juga kebencian. Gibran mengucek mata sesekali memijat kepala yang terasa sangat sakit juga pusing.
Sekitar jam 7 pagi Gibran mencoba bangun, lalu duduk di atas ranjang. Dia begitu terkejut melihat penampilannya yang sudah tidak mengenakan pakaian sehelai pun.
“A-apa yang sudah terjadi padaku? Ke-kenapa aku seperti ini?” tanya Gibran pada dirinya sendiri.
Ketika dia mencoba mengingat semua kejadian itu, ternyata dia baru sadar kalau semalam dia mabuk berat jadi tidak tahu apa-apa.
Gibran berpikir mungkin saja dalam keadaan tidak sadar dia membuka semua pakaiannya lantaran merasa gerah. Maklum pria itu tidak akan bisa tertidur jika tidak membuka bajunya.
Tak ada sedikit saja pikiran negatif di dalam isi kepala Gibran mengenai keadaannya itu. Dia selalu berpikir positif, apalagi tubuhnya penuh dengan cakaran kuku yang membuatnya melihat kukunya sendiri.
“Astaga, kuku di tanganku sudah mulai panjang sampai aku lupa untuk memotongnya. Mungkin luka di tubuhku ini karena tanganku sendiri. Huhh, dasar tangan nakal.”
Gibran memukul pelan tangannya sendiri, lalu perlahan turun dari ranjang dalam keadaan memegangi kepala yang masih terasa pusing.
Dia berjalan mengambil semua pakaian, kemudian membersihkan tubuh di kamar mandi. Setelah selesai Gibran langsung meninggalkan hotel untuk pulang ke rumah tanpa melihat ke arah ranjang yang berantakan dan terdapat noda bercak merah hasil pertempuran.
Setibanya di rumah Gibran melihat kedua kakaknya sedang duduk santai menikmati kopi di pagi hari dengan beberapa potong roti.
“Dari mana aja jam segini pulang? Bukannya semalam bilang acaranya hanya sampai jam 1 malam. Terus main ke mana lagi, hem?” tanya Ganesha dengan wajah datar.
“Ma-maaf, Kak. Se-semalam aku tidak sadar karena kebanyakan minum. Jadi mungkin teman-temanku membawaku ke kamar hotel,” jawab Gibran menundukkan wajahnya lantaran tidak berani menatap kedua kakaknya.
“Uhukk … A-apa kamu bilang tadi? Mi-minum? Se-sejak kapan kamu minum, hahh? Katakan!”
Ghani terkejut bukan main atas jawaban polos dari adik bungsunya itu. Selama ini Gibran tidak pernah minum minuman bersoda ataupun beralkohol, lalu kenapa semalam dia bisa mabuk berat.
“Se-semalam se-semua orang merayakan pre-prestasiku, Kak. Ja-jadi mau tidak mau a-aku minum, cu-cuma aku yakin, kok. A-aku hanya minum satu gelas doang, tidak lebih.”
Gibran memberanikan diri menatap kedua kakaknya dengan mata yang masih sedikit sayu, mesti hatinya begitu takut jika kedua kakaknya itu akan langsung memarahinya.
Ya, walaupun Ghani dan Ganesha terlihat dingin juga tegas. Akan tetapi, mereka sangat menjaga adiknya serta tidak akan membiarkan siapa pun melukai atau memanfaatkan kepolosannya.
Hanya saja tak sengaja Ganesha melihat leher Gibran yang terdapat luka cakar. Dia langsung berdiri melihat lebih detail luka tersebut.
“Buka bajunya!” titah Ganesha dengan tatapan tajam.
“Ta-tapi, Kak,” ucap Gibran. Kakinya sedikit gemetar menatap mata elang kakak keduanya.
“Kalau dibilang buka ya, buka. Ngerti nggak!” bentak Ganesha membuat Ghani bingung.
“Ada apa, Nes?” tanya Ghani berdiri di sampingnya.
Sementara Gibran membuka kemejanya serta kaos putih yang dia kenakan membuat kedua mata sang kakak melotot tajam.
Ghani dan Ganesha langsung berpikir keras mengenai luka tersebut, hingga memeriksanya sedetail mungkin tanpa ada satu pun yang dilewatkan.
“Lu-luka ini ….” Mata Ganesha melirik ke arah Ghani yang sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi, “Kak, i-ini luka cakaran dari kuku perempuan. I-itu artinya semalam Gibran ….”
Ganesha menggantungkan kalimatnya membuat Ghani pun ikut menaruh curiga terhadap sang adik, sedangkan Gibran hanya planga-plongo karena tidak mengerti apa yang mereka sedang pikirkan.
“Semalam aku kenapa, Kak? A-aku baik-baik aj—”
“Dasar bod*doh!” pekik Ghani menoyor kepala Gibran hingga tubuhnya yang masih lemas langsung jatuh ke lantai, padahal sang kakak tidak menggunakan tenaga ekstra.
“Cepat katakan semalam kamu ngapain sama perempuan, hahh? Siapa yang sudah membawamu ke kamar itu, lalu apa yang kamu lakukan di sana. Katakan!”
Suara lantang Ghani membuat Gibran ketakutan sambil dalam keadaan masih duduk di lantai. Sang adik hanya menggelengkan kepalanya karena memang tidak tahu apa-apa.
“Ckk, argghhh … Dasar bod*doh!” Ghani begitu emosi lantaran percuma berbicara dengan Gibran yang tidak mengerti apa yang dimaksud oleh kedua kakaknya.
“Astaga, Gibran! Kamu tuh, sebenarnya tahu atau pura-pura nggak tahu sih, kalau semalam kamu itu tidur sama perempuan lain, hahh?” tegas Ganesha yang sudah jengah melihat kepolosan Gibran.
“A-aku tidak tahu, Kak. A-aku juga tidak tidur sama perempuan, kok. Aku tidur sendiri di kamar itu. Mana mungkin aku tidur sama perempuan. Lagian hotel itu banyak kamarnya, sudah pasti mereka memesan kamar sendiri. Tadi juga aku tanya sama resepsionis katanya semalam aku pingsan di lorong hotel lantai 10, terus dibawa oleh salah satu office boy di sana. Setelah itu ya, sudah aku pulang sambil bayar uang sewa hotel itu.”
Penjelasan Gibran yang menurut Ghani juga Ganesha sangat janggal membuat keduanya berpikir keras.
Mereka paham berbicara dengan Gibran sama saja dengan berbicara sama anak kecil yang tidak tahu apa-apa tentang orang dewasa.
“Hahh, capek sumpah ngomong sama bocah beg*ok kaya gini. Apa kamu tidak curiga dengan luka di tubuhmu itu, hahh? Itu sudah jelas membuktikan kalau semalam tanpa sadar kamu telah meniduri perempuan. Yang artinya kamu telah menodai perempuan tidak bersalah. Paham? Maka dari itu cepat katakan apa yang terjadi sejujur-jujurnya pada kami dari awal sampai akhir. Cepat katakan!”
Ganesha menarik tangan Gibran, lalu mendudukkannya di kursi. Selepas itu kedua mata sang kakak tidak lepas memperhatikan semua gerak-gerik adiknya yang terlihat panik juga ketakutan.
Ganesha dan Ghani tentu tahu seperti apa luka cakaran itu, mereka sudah menikah dan bisa menilai sendiri yang berarri tidak asal menebaknya. Orang mabuk sebagian banyak tidak akan sadar akan apa yang di lakukannya, takutnya Gibran memang di jebak karena kepolosannya sendiri.
Gibran menundukkan wajahnya sambil memainkan jari, kemudian menceritakan semuanya dengan sejujur-jujurnya apa yang diketahui tanpa melewatkannya.
Cuma sangat disayangkan. Gibran tak menyadari akan kejadian aneh padanya, tetapi Ghani serta Ganesha benar-benar yakin jika semalam adiknya yang polos itu telah menodai seorang perempuan dalam keadaan tidak sadarkan diri.
Dari semua cerita yang telah dijelaskan oleh Gibran. Semuanya sangat janggal bagi mereka berdua. Jadi mau tidak mau mereka langsung pergi begitu saja menuju hotel untuk mengecek semuanya.
Hanya saja Ghani dan Ganesha tidak menemukan apa pun, lantaran Raden telah menghilangkan jejak dengan cepat. Sampai akhirnya kedua kakak Gibran pulang dalam keadaan tangan kosong tanpa menemukan bukti apa pun.
Ghani dan Ganesha yang habis membayangkan kejadian itu langsung dibuyarkan oleh kedatangan sang ayah dengan wajah datar juga sikapnya yang sangat tegas.
“Gimana hasilnya? Siapa wanita itu?” tanya sang ayah bernama Wiratma sambil duduk di kursi kesayangannya.
Kedua anak Wiratma langsung duduk tegak menghormati sang ayah yang baru saja datang. Sikap mereka persis menuruninya, berbeda jauh sama Gibran.
“Ma-maaf, Ayah. Kami belum bisa menemukan wanita itu,” jawab Ghani sedikit takut juga menundukkan kepalanya.
“Tidak ada satu pun bukti yang kami temukan, Ayah. Semua ini sudah di setting rapi supaya tidak ada yang curiga jika apa yang terjadi sama Gibran merupakan sebuah jebakan,” ucap Ganesha tak berani menatap wajah sang ayah.
Wiratma yang kesal atas jawaban kedua anaknya langsung memukul meja hingga membuat mereka sedikit terkejut.
“Dasar bod*doh! Sudah lama kalian menyelidiki kasus itu, tapi tidak ada satu pun bukti yang ditemukan? Benar-benar tidak berguna! Mencari begitu saja tidak becus, bagaimana kalian bisa menjadi seorang pemimpin. Hahh!”
Suara Wiratma membuat kedua anaknya sangat takut. Watak yang keras, kejam, juga arogan membuat mereka selalu berhati-hati, lantaran sang ayah tidak pernah memandang bulu untuk menghukum siapa pun yang gagal dalam menyelesaikan misinya.
“Ma-maaf, Ayah.”
Hanya satu kalimat itu yang selalu keluar dari mulut Ghani juga Ganesha. Mereka tidak tahu harus berkata apa lagi karena itu memang fakta, kalau keduanya belum bisa menuntaskan kejadian di masa lalu.
“Dasar anak tidak berguna. Percuma aku punya dua anak kebanggaan kalau mengurus satu kasus saja tidak becus! Ditambah anak bod*doh itu juga tidak tahu menahu apa yang telah terjadi padanya sendiri,”
“Bagaimana jika di luar sana wanita itu sudah melahirkan pewaris keluarga ini, hahh? Kalau sampai terjadi sesuatu pada pewarisku, kalian yang akan bertanggung jawab. Cepat cari wanita itu lagi dan bawa ke hadapanku, ngerti kalian!”
Ghani dan Ganesha mengangguk sambil melirik ke arah lantai melihat langkah kaki Wiratma yang sudah pergi meninggalkan ruangan keluarga bersama kedua bodyguardnya.
Setelah sang ayah tidak terlihat, kedua anak itu langsung berteriak frustrasi. Mereka benar-benar disulitkan oleh kasus Gibran, padahal seharusnya pria polos itu sendirilah yang mencari siapa wanita tersebut, bukan malah kedua kakaknya.
Cuma bagaimana lagi. Gibran sendiri saja sampai detik ini tidak percaya jika sudah meniduri seorang wanita. Bagi pria itu dia hanya tidur sendiri dan tidak melakukan apa yang keluarganya tuduhkan.
*****
/Slight//Slight/