Di ulang tahun pernikahannya yang kedua, Lalita baru mengetahui kenyataan menyakitkan jika suaminya selama ini tidak pernah mencintainya, melainkan mencintai sang kakak, Larisa. Pernikahan yang selama ini dia anggap sempurna, ternyata hanya dia saja yang merasa bahagia di dalamnya, sedangkan suaminya tidak sama sekali. Cincin pernikahan yang yang disematkan lelaki itu padanya dua tahun yang lalu, ternyata sejak awal hanya sebuah cincin yang rusak yang tak memiliki arti dan kesakralan sedikit pun.
Apa alasan suami Lalita menikahi dirinya, padahal yang dicintainya adalah Larisa? Lalu akankah Laita mempertahankan rumah tangganya setelah tahu semua kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berubah
Lalita kembali ke dalam kamar setelah Erick sudah tak berada di ruangan itu lagi. Dia merebahkan tubuhnya, lalu memandangi langit-langit kamar sembari berpikir tentang apa yang harus dia lakukan ke depannya. Sangat mustahil rasanya jika dirinya harus bertahan setelah tahu seperti apa sebenarnya situasi rumah tangganya.
Tanpa sadar, tangan Lalita terulur menyentuh perutnya yang saat ini masih rata. Beberapa hari yang lalu, saat dirinya sibuk menyiapkan pesta, dia hampir saja pingsan di pinggir jalan. Untung saja ada seseorang yang membantunya dan mengantarnya ke sebuah klinik kesehatan. Di sanalah dia mengetahui jika dirinya sedang mengandung empat minggu.
Belum ada yang Lalita beritahukan prihal kehamilannya itu, karena dia berniat menjadikan berita tersebut sebagai hadiah ulang tahun pernikahan untuk Erick. Tapi kini, semua rencana itu hanya tinggal rencana. Lalita tak lagi berniat memberitahu Erick jika di dalam perutnya kini bersemayam benih lelaki itu. Dia tak ingin calon anaknya yang bahkan belum lahir ke dunia ikut menanggung kebencian dari sang ayah karena terlahir dari istri yang tak dicintai. Tatapan mata Erick yang dingin dan menyakitkan, Lalita tak mau anaknya yang tak bersalah melihat itu juga.
Sebuah keputusan pahit akhirnya Lalita tetapkan dalam hatinya. Keputusan yang pastinya akan mengoyak-ngoyak perasaannya, namun setidaknya akan mampu menyelamatkannya dari kehancuran yang lebih besar lagi. Ya, Lalita harus berani melepaskan jika tak ingin terus-menerus berada dalam rasa sakit. Tak ada baiknya mempertahankan sebuah hubungan yang tak sehat.
Lalita membulatkan tekadnya, meski ada sisi di dalam dirinya yang tak mengizinkannya untuk melakukan hal itu. Cintanya yang begitu besar untuk Erick kini terasa begitu tak berarti. Dia tak akan lagi memperjuangkan lelaki itu, tak peduli sebesar apapun perasaan yang dimilikinya saat ini. Pada akhirnya, cinta saja tidak bisa mempertahankan sebuah hubungan, apalagi jika itu hanya cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Perlahan mata Lalita pun menjadi berat. Untuk pertama kalinya sejak dia menikah dengan Erick, Lalita terlelap tanpa harus gelisah dulu menunggu kedatangan Erick ke atas tempat tidur.
Sementara itu, Erick yang sedang berada di ruang kerjanya juga tampak sedang melamun dengan kening yang sedikit mengerut. Sebelumnya, jika dirinya marah atau merasa tak senang, Lalita pasti akan segera datang meminta maaf dan menggelayut manja padanya. Perempuan yang tak sepenuhnya dia terima sebagai istri itu akan terus melakukan sesuatu demi untuk meredakan kemarahannya.
Tapi kali ini semuanya berbeda. Lalita tak terlihat gentar sedikit pun melihat kemarahan Erick. Dia malah berani menjawab dengan kalimat yang tak kalah tajam dan menohok, membuat Erick terdiam dan kehabisan kata-kata. Erick pun menjadi sedikit penasaran, sebenarnya apa yang terjadi pada Lalita di pesta anniversary mereka tadi.
Hingga dini hari menjelang, Lalita benar-benar tak datang untuk menemui Erick. Pada akhirnya, justru Erick yang masuk ke dalam kamar mereka karena ingin melihat apa yang sedang istrinya itu lakukan. Dia pikir, saat ini Lalita sedang menangis atau merajuk. Tak disangka rupanya, Lalita malah sudah tertidur dengan begitu nyenyak, layaknya orang yang tak memiliki beban sama sekali.
Kini berganti Erick yang menjadi resah. Perubahan sikap Lalita yang cukup tiba-tiba, entah kenapa cukup mengganggunya. Mungkin karena selama ini Lalita selalu berusaha menempel padanya, dia agak tak terbiasa diacuhkan seperti ini.
Erick akhirnya ikut merebahkan dirinya ke atas tempat tidur. Sekali lagi, dipandanginya Lalita yang kini sedang terlelap dengan damai. Mestinya dia senang karena tiba juga malam di mana istrinya ini tak memeluknya dengan posesif, tapi rupanya perasaannya justru jauh dari kata senang. Erick yang biasanya risih dengan sentuhan Lalita, kini merasa tak nyaman karena ditinggal tidur lebih dulu oleh istrinya itu.
Erick gelisah sepanjang malam sampai-sampai dia terjaga hampir kesiangan. Lagi-lagi dia merasa aneh sendiri karena tak merasakan sentuhan tangan Lalita yang membelai kepalanya lembut untuk membangunkannya.
"Ah, sial!" Erick mengumpat sembari masuk ke dalam kamar mandi. Selama ini, tak pernah dia bangun pagi di jam segini. Jika tak bergegas, dia pasti akan terlambat tiba di kantor. Selang beberapa saat, lelaki itu pun akhirnya siap dan turun ke lantai bawah rumahnya.
"Selamat pagi," sapa Lalita saat Erick duduk di kursi meja makan untuk sarapan. Dia hanya melihat sekilas ke arah Erick, lalu kembali meneruskan sarapannya.
Untuk ke sekian kalinya, Erick dibuat bingung dan heran dengan sikap Lalita. Istrinya itu turun ke lantai bawah dan sarapan tanpa menunggunya terlebih dahulu. Sesuatu yang tak pernah Lalita lakukan selama dua tahun hidup berumah tangga dengannya.
Biasanya, Lalita pasti akan menunggu Erick selesai bersiap dan pergi ke meja makan bersama-sama. Dia juga tak akan makan lebih dulu, tetapi sibuk melayani Erick selama suaminya itu makan. Tapi lagi-lagi yang terjadi sekarang sangat berbeda jauh dengan yang biasanya terjadi. Sikap Lalita berubah seratus delapan puluh derajat sejak dia meninggalkan pesta semalam. Entah apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan ini, Erick semakin bertanya-tanya dibuatnya.
"Bu Risnah membuat mi goreng udang kesukaanmu untuk sarapan pagi ini." Lalita berujar dengan santai sambil terus menikmati sarapannya sendiri. Tak sedikit pun berniat untuk melayani Erick seperti biasanya.
"Kenapa tidak makan?" tanya Lalita kemudian saat melihat Erick yang mematung sembari memasang wajah heran.
Lalita melirik sekilas ke arah piring Erick yang masih kosong, lalu mengangkat pandangannya ke arah lelaki itu.
"Bisa ambil makananmu sendiri, kan?" Sekali lagi Lalita bertanya. "Itu mi-nya ada di depanmu, masa mesti diisikan juga ke piringmu seperti anak kecil."
Mata Erick terlihat sedikit melebar mendengar kalimat terakhir yang Lalita ucapkan. Bukannya selama ini perempuan itu yang bersikeras melayaninya di meja makan seolah dirinya seorang anak kecil yang tak bisa makan sendiri?
"Apa sekarang kamu mengganti cara merajukmu?" tanya Erick akhirnya setelah sejak tadi hanya terdiam saja.
"Siapa yang merajuk? Aku?" Lalita balik bertanya.
Erick tak menjawab, tapi sorot mata tajamnya yang lurus menatap Lalita seolah menjadi jawaban atas pertanyaan istrinya itu.
"Tidak, kamu salah mengira. Aku sama sekali tidak sedang merajuk. Justru tidak pernah sebelumnya aku merasa sebaik ini saat bangun pagi," ujar Lalita sembari meraih gelas air putih dan meneguk isinya.
Terang saja kening Erick saat ini menjadi sedikit mengerut.
"Jangan menatapku dengan tatapan heran seperti itu. Anggap saja aku baru mendapatkan pencerahan, sehingga pikiranku jadi terbuka. Ternyata memulai hari tanpa memikirkan orang lain dan fokus pada diri sendiri itu rasanya jauh lebih menyenangkan." Lalita tersenyum ke arah Erick sembari memperlihatkan ekspresi yang tak pernah dia perlihatkan sebelumnya.
"Oh, iya, hari ini aku ada urusan, jadi tidak bisa membawakanmu makan siang di kantor. Sepertinya, hari-hari selanjutnya aku juga tidak akan membawakanmu makan siang lagi," tambah Lalita sembari menyeka bibirnya dengan tisu.
Setelah itu, Lalita pun bangkit dan meninggalkan meja makan, bahkan sebelum Erick memulai sarapannya.
Bersambung ....
Mak othor kereeen /Good//Good//Good//Good//Good/