Gadis Desa yang memiliki kakak dan adik, tetapi dia harus berjuang demi keluarganya. Ayahnya yang sudah usia di atas 50 tahun harus dia rawat dan dijaganya karena ibunya telah meninggal dunia. Adiknya harus bersekolah diluar kota sedangkan kakaknya sudah menikah dan memiliki keluarga yang sedang diuji perekonomiannya.
Ikuti terus karya Hani_Hany hanya di noveltoon ♡♡♡
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hani_Hany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Malamnya mereka semua sedan beristirahat di kamar. Usai sholat Isya, Hasna dan Husna baring-baring di atas kasur sambil bercengkrama. Mereka juga asyik dengan ponsel masing-masing.
"Kak, siapa tadi yang kita temui di warung mie ayam?" tanya Husna menyimpan ponselnya disampingnya.
"Yang kita temui?" beo Hasna nge blank. Dia lupa, benar-benar lupa. Setelah dia berpikir, dia baru ingat jika itu teman masa kuliahnya.
"Oh, itu Udin. Dia teman kuliah ku, dia kayaknya sudah nikah, mungkin tadi isterinya karena posesif sekali." jawab Hasna sambil mengingat kejadian siang tadi.
"Oh. Tapi kayak berat teman kakak mau meninggalkan warung tadi, gara-gara ada isterinya jadi dia cepat ngajak isterinya keluar." ucap Husna sambil ketawa mengingat isteri Udin.
"Entah lah. Mungkin pengantin baru." jawab Hasna acuh sambil mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu.
"Kirain mantan kakak." ujar Husna dan akhirnya mereka tertawa bersama. "Ha-ha-ha." sambil menutup mulut mereka masing-masing.
"Sssttt ribut, Halim bangun nanti." tegur sang ayah yang masuk ke dalam kamar mereka.
"Yah, kak Hasna sudah ada calon." canda Husna sampai dilototi oleh Hasna supaya sang adik diam. Husna nyengir lalu pindah karena hendak dikejar Hasna.
Husna keluar sendiri, dia mengambil minum untuk meredakan tawanya. "Jadi kapan kita pulang Hasna?" tanya ayah ketika Husna keluar kamar. Pintu kamar tetap terbuka lebar, sengaja ayah berbicara berdua dengan Hasna supaya tidak didengar Husna.
"Besok atau Lusa ayah! Ayah jadi kah mau singgah di rumah Mbah Urut?" tanya Hasna serius.
"Gak ada salahnya berobat disana juga nak, sempat ayah bisa segera sembuh." jawab sang ayah.
"Baik ayah, kalau begitu kita singgah disana saja! Mau diantar kak Hasyim kah yah?" tanyanya lagi.
"Kalau kakakmu tidak sibuk ya boleh saja, bagaimana baiknya." jawab ayah Ahmad.
"Tadi kak Hana tanya, mau singgah di Mbah Urut apa gak? Kalau mau singgah biar diantar kak Hasyim. Begitu ayah!" jelas Hasna menyampaikan pesan sang kakak.
"Ya sudah kalau memang mau diantar, ayah mah boleh saja!" ujar ayah sambil tersenyum. Hasna mengangguk paham.
Malamnya mereka istirahat, tengah malam ayah terbangun. "Huft." ayah mengeluarkan nafas kasar, merasa detak jantungnya berdetak lebih kencang padahal tidak melakukan apa pun selain tidur.
"Loh, ayah kok di teras?" tanya kak Hasyim yang memang belum tidur karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan.
"Iya nak, di dalam panas. Cari angin yang sejuk dulu disini." jawab ayah jujur, meski dia menutupi jika keadaannya terasa kurang enak.
"Iya ayah, sebaiknya jangan lama-lama ayah demi kesehatan ayah." ujar Hasyim mengingatkan. "Kalau gitu saya istirahat dulu ayah." pamitnya.
"Iya nak, sebentar lagi ayah akan masuk ke dalam kamar nak." jawab ayah mertuanya. Hasyim masuk ke dalam kamarnya, ayah masih menikmati udara sejuk di malam hari.
Paginya mereka bersiap untuk sarapan. "Hai Halim, kemenakan aunty sudah cakep nih." ujar aunty Hasna.
"Iya dong aunty, Halim sudah mandi segar. Waktunya sarapan." jawab Hana meniru suara anak kecil. Mereka sarapan bersama dengan khidmat.
"Jadi kapan pulang? Mau singgah ke Mbah Urut dulu?" tanya Hana ketika mereka semua selesai sarapan. Hasyim akan bekerja, Husna berangkat sekolah, dan Hana stay di rumah bersama Halim.
"Rencana besok kak, mau mampir dulu berobat. Gak apa-apa kah kalau kak Hasyim mengantar kami?" tanya Hasna dengan hati-hati.
"Gak lah. Biar besok diantar ya!" ujar Hana memaksa. Mereka tinggal berempat di rumah. Sata bersantai, ayah menyarankan kepada Hasna untuk segera menikah.
"Hasna, kamu dengar kabar kalau teman kamu Udin sudah nikah de?" tanya Hana memulai pembicaraan.
"Iya kak, kemarin ketemu di warung bakso Udin dan isterinya." jawab Hasna. Hana mengangguk saja sambil menemani Halim yang tidur anteng.
"Bagaimana dengan kamu Hasna, coba kenalan dulu sama Rahmat nak." sahut ayah Ahmad memberi saran.
"Hasna gak mau ayah!" tolak Hasna tanpa basa basi. Hana menghembuskan nafas kasar. Akan ada lagi percekcokan gegara menikah ini, pikirnya.
"Atau sama pak Guru yang di kampung. Temannya pak Miftah?" tanya ayah lagi. "Kalau orang tuanya suka itu kalau ayah jadi besannya." imbuhnya.
"Ish gak deh ayah, pak guru itu sudah tua usianya jauh di atas Hasna. Lagian dia juga duda!" jawab Hasna jujur.
"Pak guru siapa ayah?" tanya Hana penasaran.
"Pak guru agama itu nak, ayah lupa nama lengkapnya. Pak Ruli dipanggilkan biasa." jawab ayah. Hana diam berpikir dan mengingat ingat nama tersebut.
"Guru di pesantren ya ayah? Yang tidak jauh dari rumah itu?" tanya Hana memastikan. Hasna mengangguk membenarkan.
"Kalau ada yang masih lajang lah!" seru Hana lagi.
"Banyak yang mau sama adek kamu Hana, hanya dia terlalu pilih-pilih." ujar ayah. Hasna menatap ayahnya kesal.
"Hasna gak mau buru-buru ayah! Hasna masih fokus kerja!" jawabnya merasa sedih, dia masuk ke dalam kamar untuk meluapkan emosinya.
"Ayah selalu saja dengar kata Mami setelah menikah lagi. Aku disuruh menikah, dikasih kenal ini dan itu." omelnya sendiri dalam kamar, hanya dia yang mampu mendengarnya. Samar-samar Hasna mendengar percakapan ayah dan kakak.
"Ayah, jangan terlalu dipaksa Hasna untuk menikah. Kalau menurut Hana, Hasna mau kok menikah, hanya memang belum jodoh makanya belum merasa cocok. Insya Allah suatu saat akan ada jodohnya." ujar Hana pelan tanpa mau membela salah satunya.
"Tempo hari Hasna pernah cerita ke Hana kalau dia tidak mau menikah dengan orang di kampung ayah! Karena kalau orang disana sudah di tahu seluk beluknya." imbuh Hana, ayah diam mendengarkan.
"Bagus kalau orang di Kota misalnya, atau disini. Tapi kalau disini otomatis akan jauh dari rumah atau dari kampung." ujar Hana menambahkan. "Menurut ayah gimana?" tanyanya menatap ayah.
"Kalau mau ayah ya adikmu supaya segera menikah. Pertama karena usianya juga sudah cocok. Kedua sudah sarjana, Ketiga sudah kerja. Jadi apalagi yang ditunggu?" tanya ayah mengeluarkan unek-uneknya.
"Apalagi kalau di kampung itu usia dua puluh tahun ke atas dianggap sudah dewasa. Seharusnya sudah menikah dan punya anak." imbuh ayah prihatin.
"Ayah maunya Hasna perkenalan dulu lah, kalau mau ya Alhamdulillah. Bagaimana mau dapat jodoh kalau adik kamu menutup diri." ujar ayah agak keras karena kesal.
"Huft." Hana menghela nafas berat, dia bingung harus bagaimana! Rumit, pikirnya. "Nanti Hana bicara sama Hasna dulu ayah. Ayah jangan terlalu pikirkan Hasna, yang harus ayah pikirkan adalah kesehatan ayah." peringat Hana.
"Iya nak." jawab Ayah singkat. "Biar bagaimana pun ayah juga ingin melihatnya menikah nak. Kalau menikah Hasna nanti gantian Husna kalau sudah tamat kuliah." imbuh sang ayah merasa pusing.
~ Happy Reading ~
semangat kak hani /Determined//Determined//Determined//Determined/