Dua kali Kenan melakukan kesalahan pada Nara. Pertama menabrak dirinya dan kedua merenggut kesuciannya.
Kerena perbuatannya itu, Kenan terpaksa harus menikah dengan Nara. Namun sikap Kenan dan Mamanya sangat buruk, mereka selalu menyakiti Nara.
Bagaimana perjalanan hidup Nara?
Akankah dia mendapat kebahagiaan atau justru menderita selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZiOzil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 4.
Nara sedang diobati oleh dokter, sementara Hendra mencoba menghubungi Heri, namun tak ada jawaban sama sekali.
"Cckk, ke mana dia? Bisa-bisanya dia meninggalkan keponakannya sendirian seperti ini, tidak bertanggung jawab sekali!" gerutu Hendra, dia merasa kesal pada kelakuan tak berperasaan Heri dan Anna.
Hendra lantas menemui Nara di ruang UGD dan memastikan keadaan gadis itu.
"Bagaimana kakinya, Dok?" tanya Hendra.
"Enggak terlalu parah, kami sudah memberikan salep obat dan menutupnya agar enggak terinfeksi kuman. Sekitar satu atau dua Minggu juga sembuh, Pak," jawab dokter yang menangani Nara.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Hendra lega.
"Tapi pasien harus istirahat yang cukup, jangan terlalu banyak bergerak, soalnya saat ini tangan pasien dalam masa pemulihan," lanjut dokter tersebut.
Hendra mengangguk, "Baik, Dok."
"Kalau begitu saya permisi dulu. Selamat siang."
"Iya, terima kasih, Dok. Selamat siang."
Dokter itu meninggalkan ruang UGD. Hendra mendekati Nara dan menatap gadis manis itu dengan iba.
"Saya sudah mencoba menghubungi Om kamu, tapi enggak tersambung," adu Hendra menyesal.
"Mungkin ponselnya habis baterai, Pak," tebak Nara.
"Saya heran dengan Om dan Tante kamu, kenapa mereka meninggalkan kamu sendiri? Padahal mereka tahu kamu sedang sakit?" keluh Hendra.
Nara bergeming, sejujurnya dia juga merasa sedih dan kecewa dengan kelakuan Heri dan Anna, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Nara tahu diri selama ini sudah terlalu banyak menyusahkan Om dan Tantenya itu, jadi dia pasrah kalau harus ditinggal begini.
"Apa kamu enggak punya saudara atau kerabat lain?"
Nara menggeleng, "Enggak, Pak. Cuma Om Heri dan Tante Anna satu-satunya keluarga saya."
Hendra mengembuskan napas berat, dia semakin merasa prihatin melihat nasib Nara. Namun sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya.
"Ya sudah, kalau begitu sebaiknya sekarang kamu ikut saya!" pinta Hendra kemudian.
Nara mengernyit, "Ke mana, Pak?"
"Ke rumah saya, sementara ini kamu tinggal di rumah saya saja sampai Om dan Tante kamu itu pulang!"
Nara tercengang dan mendadak merasa sungkan, "Enggak usah, Pak. Biar saya di rumah Om saya saja, sebentar lagi mereka pasti pulang, kok! Lagian saya enggak mau menyusahkan Bapak."
"Enggak apa-apa, nanti kalau mereka sudah pulang baru kamu kembali ke rumah mereka."
"Tapi saya enggak enak, Pak," ujar Nara sungkan.
"Kamu itu sedang sakit, kamu butuh pengawasan dan perawatan yang benar, enggak bisa dibiarkan begitu saja! Saya enggak mau kamu celaka lagi seperti tadi. Jadi sebaiknya kamu turuti saya, supaya saya bisa memastikan keadaan kamu baik-baik saja." Hendra berbicara dengan serius.
Nara tertegun mendengar perhatian dan kepedulian Hendra, dia tak menyangka pria itu akan sangat baik padanya.
"Nara, kamu dengar saya, kan?" Hendra memastikan sebab melihat Nara melamun.
Nara pun tersentak, "Iya, Pak."
"Jadi kamu bersedia kan tinggal sementara di rumah saya sampai Om dan Tante kamu pulang?"
"Tapi apa nanti enggak masalah dengan keluarga Bapak? Saya takut merepotkan, Pak."
"Kamu tenang saja! Nanti saya bisa jelaskan semuanya pada anak dan istri saya, sekalian kamu berkenalan dengan mereka. Lagipula anak saya kan belum minta maaf karena sudah menabrak kamu, jadi ini kesempatan yang bagus," sahut Hendra panjang lebar.
Nara masih merasa ragu untuk menerima tawaran Hendra itu, tapi harus dia akui bahwa dia memang kesulitan mengurus dirinya sendiri dalam keadaan patah tangan begini, dia memang butuh bantuan dari orang lain.
"Jadi bagaimana?" Hendra bertanya lagi.
Nara akhirnya mengangguk setuju, "Iya, deh, Pak."
Hendra tersenyum, "Baiklah, sekarang kita ambil barang-barang kamu lalu setelah itu kita ke rumah saya."
"Iya, Pak."
***
Setelah mengambil beberapa pakaian dan barang-barang pribadinya, Nara pun akhirnya ikut ke rumah Hendra. Dia terperangah serta takjub saat melihat rumah Hendra yang sangat megah dan besar.
"Mari masuk!" ajak Hendra sembari menenteng tas yang berisi barang-barang gadis itu.
Nara berjalan sambil celingukan, dia kagum melihat barang-barang milik Hendra yang bagus dan mewah. Ternyata pria baik hati itu sangat kaya, bisa dibilang dia seorang sultan.
Namun mata Nara membulat saat menatap pigura foto keluarga Hendra yang sangat besar terpajang di dinding.
"Dia?" gumam Nara sambil menunjuk foto seorang pemuda yang sangat dia kenal.
"Itu putra saya yang menabrak kamu, namanya Kenan," terang Hendra.
Nara sontak menatap Hendra dengan raut wajah tegang, dia kaget setengah mati. Bahkan saking kagetnya, dia sampai tak tahu harus berkata apa.
Melihat ekspresi Nara itu, Hendra jadi bingung, "Kamu kenapa?"
"Dia teman sekolah saya, Pak," ucap Nara pelan.
Hendra tercengang, "Jadi kamu dan Kenan teman sekolah? Astaga, kebetulan sekali!"
Di saat bersamaan Windy menuruni anak tangga dengan angkuh, dia terkejut melihat kehadiran Nara.
"Kenapa dia bisa ada di sini, Pa?" tanya Windy.
Hendra dan Nara langsung menoleh ke arah Windy yang berjalan ke arah mereka dengan raut wajah tak bersahabat.
"Papa mengajaknya untuk tinggal sementara di sini, Ma," terang Hendra, sementara Nara hanya tertunduk.
Windy kaget dan langsung protes, "Papa ini apa-apaan? Kenapa mengajak dia tinggal di sini?"
"Ma, Om dan Tantenya sedang pergi, dia ditinggal sendirian. Mama kan tahu dia lagi sakit, dan butuh bantuan orang lain untuk mengurus keperluannya. Makanya Papa ajak dia tinggal di sini sampai Om dan Tantenya itu pulang." Hendra menjelaskan.
"Pa, rumah kita bukan panti asuhan atau tempat penitipan anak!" bantah Windy.
"Tapi dia seperti ini karena ulah anak kita, Ma! Jadi anggap saja ini sebagai bentuk tanggung jawab kita juga!"
"Kita kan sudah bertanggung jawab dengan membiayai perobatannya dan memberikan uang kepada Om nya itu, jadi Mama rasa itu sudah cukup!" sungut Windy.
Nara sontak mengangkat kepalanya menatap Windy dan Hendra bergantian, dia baru tahu jika Heri mendapatkan uang dari keluarga ini. Pantas saja Om juga Tantenya itu terlihat senang dan bisa pergi liburan.
"Ma, sudahlah jangan dipermasalahkan lagi! Biarkan dia di sini sampai Om dan Tantenya kembali!" pungkas Hendra, wajah Windy sontak masam.
"Hem, Pak. Sebaiknya saya pulang saja! Saya bisa menjaga dan mengurus diri saya sendiri, kok," ujar Nara yang merasa tidak enak karena sikap dan penolakan dari Windy.
"Enggak apa-apa, kamu di sini saja! Mari saya antar ke kamar kamu!"
"Tapi, Pak ...." Nara ragu.
"Yuk!" Hendra melangkah melewati Windy yang kesal minta ampun atas sikap keras kepala suaminya itu.
Dengan pelan Nara pun mengikuti langkah Hendra, dia mencoba tersenyum pada Windy, tapi wanita paruh baya itu langsung memalingkan wajahnya dengan angkuh.
Nara pun berlalu dengan perasaan campur aduk, kaget dengan kenyataan jika Kenan adalah putra Hendra dan orang yang menabraknya, serta tidak enak hati dengan sikap tak bersahabat Windy.
***
beruntung papa Hendra bersikap tegas