Ina meninggalkan keluarganya demi bisa bersama Ranu, dengan cinta dan kesabarannya, Ina menemani Ranu meski masalah hidup datang silih berganti.
Setelah mengarungi bahtera selama bertahun-tahun, Ranu yang merasa lelah dengan kondisi ekonomi, memutuskan menyerah melanjutkan rumah tangganya bersama Ina.
Kilau pelangi melambai memanggil, membuat Ranu pun mantap melangkah pergi meninggalkan Ina dan anak mereka.
Dalam kesendirian, Ina mencoba bertahan, terus memikirkan cara untuk bangkit, serta tetap tegar menghadapi kerasnya dunia.
Mampukah Ina?
Adakah masa depan cerah untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
“Jenong? Siapa Jenong?”
“Oh, Jenong, dia itu…”
Ina tak melanjutkan ucapannya, karena ponsel di tangannya terus berdering. Segera diketuknya icon telepon berwarna hijau, lalu didekatkan ke telinga.
“Iya, Nong?” Sapanya.
“Ina….!!!”
Ina menjauhkan ponsel dari telinganya. suara teriakan marah di seberang sana terdengar memekakkan telinga.
“Nang, Nong, Nang, Nong, Namaku itu Jenayra ya. Bukan Nong. Enak saja main rubah nama orang!”
Ina tergelak mendengar suara yang sedang marah-marah di seberang sana. Nada sewotnya terdengar lucu. Temannya itu memang selalu tidak terima jika dia memanggilnya dengan sebutan Jenong.
“Kenapa sih, bagus tahu. Itu kan panggilan kesayangan dariku?” Ina masih saja terkikik geli.
“Apanya yang bagus, gak ada artinya gitu.” Suara di seberang sana masih terdengar sewot.
“Kata siapa? Jenong itu kalau kata almarhumah Eyang Putri dulu, artinya keningnya lebar, ya persis kaya kamu.” Ina terkikik membayangkan temannya itu pasti sedang meruncingkan bibirnya.
“Tapi kan, Nong, Eyang Putri juga bilang, orang yang keningnya lebar itu, rejekinya juga lebar. Itu kan doa, Nong? Aku mendoakan kebaikan buat kamu loh, itu!” Ina tidak mau kalah dalam berargumen.
“Serah loh, ahh. Mana bisa aku menang debat lawan mahasiswi terbaik.” Akhirnya Jena memilih mengalah. Debat lawan Ina tak kan ada habisnya.
“Nah, itu tahu. Ha ha.” Ina merasa menang. “Oh, iya. Kamu tadi nelpon ada apa?” tanya Ina kemudian.
“Nah tu kan? Aku jadi lupa? Kamu sih…” Jena menggerutu kesal. “Ini loh, Na. Aku mau ngasih laporan perkembangan restoran bulan ini. Aku dari kemarin dah kirim itu ke email mu, tapi sepertinya kamu gak buka ya? Kok kamu gak nelpon aku?” Jena menyampaikan maksudnya.
“Oh, ya ampun.” Ina menepuk keningnya. Sejak kemarin, karena malas mendengar nada panggilan dari suaminya yang pasti hanya seputar dia harus menuruti apapun perintah ibunya, dia memilih mematikan ponsel. Dan dia tidak mengecek berita apapun hingga hari ini.
“Iya deh iya. Nanti aku lihat. Lagian kamu nggak perlu lapor aku juga kali. Aku kan sudah bilang. Restoran itu bukan cuma milik aku, tapi milik kamu juga. Aku nggak butuh laporan itu dari kamu Nong. Aku itu sudah percaya sama kamu,” ucap Ina.
Jenayra, yang selalu dia penggil dengan sebutan Jenong, adalah teman sejak masa putih merah. Sekolah di tempat yang sama, melanjutkan di pendidikan bersama, hingga jenjang universitas. Dan mengambil jurusan yang sama pula. Teman-temannya bahkan menyebut mereka kembar siam.
Berawal dari hobi yang sama pula akhirnya keduanya belajar membuka bisnis bersama. Sejak mereka berdua masih kuliah. Dia suka kuliner, Jena suka masak. Lalu keduanya sepakat membuka sebuah restoran.
Ah, tidak. Pada awalnya itu hanya sebuah warung makan kecil. Tempat yang mereka beli secara patungan dengan menggunakan uang saku yang mereka sisihkan tiap hari.
Dengan lokasi yang terbilang strategis karena tak jauh dari tempat itu terdapat kampus, rumah sakit, dan juga ada tempat kost yang banyak dihuni oleh para mahasiswa yang berasal dari luar kota.
Warung milik Ina dan Jena pun tidak langsung ramai. Pada awalnya yang datang membeli, hanyalah teman-teman sekampus mereka. Hingga kemudian ada teman-teman mereka yang datang membeli lalu memposting menu yang sedang mereka makan.
Pelan tapi pasti, warung mereka semakin ramai, hingga keduanya sepakat untuk memperluas bangunan dengan membeli tanah yang berada di belakang warung. Tidak kuat membeli dengan uang mereka sendiri, Ina meminta bantuan modal dari papanya. Dengan janji akan mengembalikannya setelah warung mereka berkembang. Begitupun dengan Jena yang meminta bantuan dari orangtuanya.
Di tahun kedua mereka telah benar-benar berhasil merubah warung kecil menjadi sebuah restoran terfavorit. Modal dari orang tua masing-masing pun telah mereka kembalikan.
Tahun ketiga, saat usaha semakin maju, saat itulah, Ina yang sedang berlibur ke rumah Bu Hindun bertemu dengan Ranu. Ina terlena dengan sikap manis Ranu, yang menurutnya Ranu adalah seorang pria yang sangat tulus. Ranu juga seorang pekerja keras.
Ina pun menyerahkan semuanya pada Jena, karena dia memilih menikah dengan Ranu. Terserah bagaimana temannya itu mengatur. Dia juga manut saja dengan pembagian keuntungan yang akan diberikan oleh Jena padanya.
Meskipun begitu, Jena juga tak pernah mengkhianati dirinya. Jena selalu memberikan laporan secara detail setiap bulan. Dan selalu mengirimkan hasil pembagian keuntungan ke dalam rekeningnya. Jumlah yang semakin naik setiap bulannya.
Ina tak pernah bercerita tentang restoran itu pada Ranu. Bukan bermaksud menyembunyikan, tapi saat itu dia berpikir, bahwa selain dia, restoran itu juga milik Jena.
Pernah suatu hari Ina ingin bercerita tentang tabungannya. Akan tetapi perubahan sikap Ranu yang menjadi pemalas, dan terlalu menurut pada ibunya, ditambah ibu mertuanya itu yang terlalu ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka membuatnya urung. Dan pada akhirnya Ina memilih berpura-pura tidak punya apapun.
“Ya gak bisa gitu dong, Na. Dan sudah aku bilang berapa kali. Kamu itu jangan mudah percaya pada orang lain. Ingatlah, bahwa di dunia ini tidak ada yang benar-benar bisa kita percayai selain diri kita sendiri.” Jena tidak suka dengan cara berpikir sahabatnya itu.
“Iya, Nong, iya. Aku tahu maksudmu, tapi kan gak ke semua orang juga aku percaya. Cuma sama kamu. Karena aku tahu kamu gak akan pernah nusuk aku dari belakang."
"Lagian kalau kamu mau, kamu pasti sudah lakukan itu dari dulu. Nyatanya bisnis kita itu sudah berjalan hampir lima belas tahun, dan semua aman sampai saat ini. Itu karena kamu yang pegang.” Suara Ina bergetar. hatinya tiba-tiba saja menjadi mellow. terharu dengan persahabatan mereka.
“Serah Lo lah. Ya udah sana periksa. Sekaligus periksa juga m-banking kamu. Udah ya aku tutup dulu. Dan sesekali tengok juga restoran mu, kalau tidak aku akan menjualnya dan uangnya akan kubawa kabur!”
Mendengus kesal, belum sempat menjawab, tapi Jena sudah mematikan sambungan.
“Si Jena?” Tanya Bi Hindun saat melihat Ina sudah selesai bertelepon. Ditatapnya wajah ponakan yang terlihat lelah. Mungkin bukan fisik, tapi hati dan jiwanya.
Ina mengangguk. Akan kembali membereskan sisa-sisa pekerjaan, tapi ternyata telah dibereskan oleh bibinya saat dia bertelepon tadi.
“Apa kabar anak itu?” Bi Hindun kembali duduk di kursi. Tubuh tuanya memang mudah lelah. “Sudah berapa tahun bibi tidak bertemu dengannya. Apa dia masih kurus kerempeng seperti dulu?” Wanita tua itu tersenyum sendirian mengingat tentang sosok teman Ina.
Ina terdiam, seperti apa ya Jenong sekarang? Jangankan Bibinya, dia sendiri saja tak pernah bertemu. Hanya berbicara lewat telepon. Semenjak menikah, Ina tak pernah pergi ke kota. Dan dia juga melarang Jenong untuk datang ke desa suaminya.
“Hapemu bunyi lagi, Na.” Seru Bu Hindun.
Ina segera menyambar ponselnya yang berdering. “Iya, Nong..?” sapanya setelah menekan icon hijau dan mendekatkan ponsel ke telinga
“Aku pulang dan kamu tidak ada. Kelayapan ke mana Kamu?”
Ina menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara di seberang sana. Lalu dia perhatikan layar ponsel itu. Rupanya karena terburu-buru tadi dia tidak memperhatikan siapa pemanggilnya. Dia pikir Jena yang kembali menelepon. Tapi ternyata adalah suaminya.
Mengambil nafas dalam, Ina kembali mendekatkan ponselnya ke telinga. Sudah terlanjur diangkat, tak mungkin ditutup begitu saja.
Bu Hindun hanya memperhatikan keponakannya yang tak kunjung bicara, meski ponsel sudah menempel di telinga. Dalam hati wanita tua itu bertanya-tanya, ada apa?
“Aku ada di rumah Bi Hindun,” jawab Ina.
“Di rumah Ibu sedang repot. Kamu sudah tahu kalau di sana akan ada acara 1000 harinya Ayah. Tetapi kamu malah keluyuran tidak jelas. Apa pantas seorang menantu bersikap seperti itu?”
Ina memejamkan matanya mendengar suara kemarahan dari suaminya. Jika itu dulu mungkin dia akan langsung pulang. Tetapi tidak sekarang. Ina sudah bertekad untuk berubah. Takkan lagi dia biarkan keluarga suaminya itu menindas dirinya.
“Aku akan pulang nanti sore. Kalau sekarang tidak ada yang mengantar karena Paman sedang pergi!” Ina menjawab dengan tenang.
“Kalau kamu pulang nanti sore lalu siapa yang akan bantu-bantu di rumah ibu. Kamu itu bisa mikir nggak sih?” Terdengar lagi suara kemarahan dari seberang sana.
“Menantu ibu itu bukan cuma aku Mas. Ada Yuli juga. Dan kalau kamu pulang kamu pasti juga bersama dengan istrimu kan. Dia juga menantu ibumu kan? Jadi biar dia saja yang membantu ibu sekarang.”
Ina langsung menutup panggilan tanpa menunggu balasan dari seberang sana. Terserah jika suaminya itu mau marah. Dia tidak peduli.
*
“Neng Ina, itu di depan ada yang nyari. Katanya mau jemput neng Ina.”
Ina dan Bu Hindun baru saja akan menikmati rujak buah yang baru saja mereka buat. Itu sangat cocok untuk cuaca yang terik. Tapi tiba-tiba salah seorang pekerja Bu Hindun memanggilnya.
“Siapa sih?”
sakitnya tiada obatnya
semoga semuanya menjadi lebih baik kedepannya,dan bisa hidup dengan damai
. apa boleh pinjam 100 nu🤣🤣🤣