Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di persimpangan perasaan
Keesokan harinya, Celia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bersiap-siap untuk pemotretan. Namun, percakapannya dengan Elvan semalam masih menggema di benaknya. Ia merasa seperti berbicara dengan dinding. Ada perasaan yang jelas di antara mereka, tapi Elvan tetap menutupinya rapat-rapat.
Lily, yang sudah lebih dulu menunggu di mobil, mengetuk jendela, membuat Celia tersadar. "Celia, ayo cepat! Kita nggak punya banyak waktu," serunya.
Celia mengangguk dan melangkah keluar dari rumah dengan membawa tas. "Aku siap," ucapnya singkat sambil masuk ke dalam mobil.
Dalam perjalanan menuju lokasi, Lily diam-diam memerhatikan Celia dari kaca spion. "Apa yang kamu pikirkan? Kamu kelihatan banget sedang memikirkan sesuatu," komentar Lily.
Celia menghela napas pelan. "Nggak apa-apa, nggak penting kok," jawabnya sambil menatap jalanan.
Lily menatap Celia melalui kaca spion. "Mikirin Elvan, ya?" tanyanya, hampir seperti menebak.
Celia terkejut, tapi tidak menyangkal. Ia hanya mengangguk pelan. "Dia selalu bikin aku bingung. Aku tahu dia juga merasakan apa yang aku rasakan, tapi dia nggak pernah bilang apa-apa. Kesel juga nunggu dia."
Lily menghela napas panjang. "Celia, aku ngerti perasaanmu, tapi kamu harus ingat, kariermu itu prioritas. Kalau kamu terus terpaku pada sesuatu yang nggak pasti, itu cuma akan melukai dirimu sendiri."
Celia terdiam. Ia tahu Lily benar, tapi hatinya tetap tidak bisa mengabaikan Elvan.
Sementara itu, di studio, Elvan duduk termenung di depan laptopnya. Musik yang biasanya menjadi pelariannya kini hanya terasa seperti kebisingan. Ia memikirkan kata-kata Celia semalam.
"Kenapa aku selalu begini?" gumamnya pada diri sendiri, tak bisa menenangkan pikirannya.
Elvan tahu perasaannya pada Celia lebih dari sekadar rasa nyaman. Tapi setiap kali ia mencoba mendekat, ada suara di dalam dirinya yang mengingatkan bahwa mereka berasal dari dunia yang berbeda.
Nenek Kinan berkunjung ke studio dengan membawa secangkir kopi yang ia beli saat di cafe dekat studio."Kamu kenapa, Van? Kok muka kamu kelihatan kusut gitu?" tanyanya lembut.
Elvan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Nek. Aku cuma lagi banyak pikiran," jawab Elvan, tidak ingin membebani neneknya.
Nenek Kinan duduk di kursi dekat Elvan, lalu berkata, "Kalau kamu cuma mikir, nggak bakalan selesai. Kadang, kita harus berani bertindak, daripada cuma berpikir dan diam ditempat, nggak merubah apapun kan?"
Elvan menatap neneknya, memikirkan setiap kata yang keluar dari bibirnya. "Tapi aku takut, Nek. Kalau aku ditolak, aku mungkin akan kehilangan dia sebagai teman," ujar Elvan, suaranya penuh keraguan.
Nenek Kinan menepuk bahu cucunya pelan. "Kadang, mempertaruhkan pertemanan adalah satu-satunya cara untuk menemukan sesuatu yang lebih indah."
Elvan hanya bisa terdiam. Kata-kata Nenek Kinan seperti menyalakan api kecil di hatinya, tapi keberanian itu belum sepenuhnya tumbuh.
Di lokasi pemotretan, Celia mencoba menutupi kegelisahannya dengan senyuman. Ia berpose dengan sempurna, mengikuti arahan fotografer tanpa cela. Tapi di sela-sela jeda, pikirannya kembali melayang pada Elvan.
Setelah sesi selesai, Celia duduk di kursi rias, memandangi pantulan dirinya di cermin. Wajahnya terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tapi karena perasaan yang membebaninya.
"Celia," suara Lily membuyarkan lamunannya. "Kita ada meeting sebentar lagi. Kamu siap?"
Celia mengangguk. "Iya, aku siap."
Namun, sebelum mereka berangkat, sebuah pesan masuk ke ponsel Celia. Itu dari Elvan.
"Kamu sibuk malam ini? Kalau ada waktu, aku mau bicara."
Jantung Celia berdetak lebih cepat. Ini pertama kalinya Elvan mengambil inisiatif untuk menghubunginya. Tanpa berpikir panjang, Celia membalas: "Aku akan datang."
Malam itu, setelah meeting, Celia kembali ke studio milik Elvan. Pintu studio sudah terbuka ketika ia tiba, dan Elvan sedang duduk di depan perangkat DJ-nya.
"Hai, aku di sini," ucap Celia pelan, membuat Elvan menoleh.
Elvan berdiri, menoleh ke arah sumber suara, "Terima kasih sudah datang, sini masuk," ucap Elvan, sedikit canggung.
"Ada apa? Kamu bilang mau bicara," tanya Celia tanpa basa-basi.
Elvan menghela napas panjang, seakan mencari kata-kata yang tepat. "Aku... Aku cuma mau bilang maaf."
Celia menatap Elvan, dengan tatapan bingung. "Kenapa kamu minta maaf? Emangnya kamu salah apa?" tanya Celia. "Aku pikir..."
"Aku salah," potong Elvan cepat, suaranya serak. "Aku salah karena nggak jujur sama perasaanku sendiri."
Celia terdiam, ia menunggu Elvan melanjutkan ucapannya.
"Aku nggak tahu bagaimana caranya bilang ini," lanjut Elvan, matanya menatap lantai. "Tapi aku... Aku peduli sama kamu."
Kata-kata itu membuat Celia tersentak. Ia sudah lama menunggu momen ini, tapi mendengarnya langsung dari Elvan, ia seakan tidak percaya.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang?" tanya Celia pelan, mencoba menahan perasaan yang campur aduk.
Elvan menunduk, ia merasa malu. "Karena aku takut. Aku takut kehilanganmu kalau aku jujur."
Celia melangkah mendekat, mengangkat wajah Elvan agar ia menatapnya. "Kamu nggak perlu takut, Elvan. Aku juga punya perasaan yang sama."
Elvan tertegun, seperti tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Ia menatap lekat wajah Celia. Elvan bisa melihat ekspresinya yang begitu jujur, penuh rasa sayang yang tak bisa ia abaikan lagi.
“Celia...” suara Elvan bergetar, seakan ingin mengatakan lebih banyak, tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya.
Tanpa berpikir panjang, Celia mendekatkan wajahnya. Ia bisa merasakan napas Elvan yang terengah, gugup tapi tidak menghindar. Mata mereka bertemu dalam keheningan.
“Aku serius, Elvan,” bisik Celia pelan. “Aku sudah cukup lelah menunggu kamu untuk jujur.”
Dan saat itu, seolah gravitasi menarik mereka. Elvan menunduk sedikit, mendekatkan bibirnya ke bibir Celia. Gerakannya pelan, tapi penuh dengan perasaan yang selama ini ia pendam.
Celia menutup mata, membiarkan momen itu menyelimuti dirinya. Ketika akhirnya bibir mereka bertemu, ciuman itu lembut, sederhana, tapi penuh makna.
Elvan memejamkan mata, merasakan kehangatan yang mengalir di antara mereka. Celia membalas ciuman itu dengan lembut, menyampaikan perasaan yang selama ini terpendam dalam diam.
Mereka melepaskan pagutannya. Elvan tetap memegang wajah Celia dengan kedua tangannya. Mata mereka bertemu lagi, tapi kali ini tidak ada keraguan, hanya kejujuran yang murni.
“Kenapa harus selama ini?” tanya Celia, suara lembutnya penuh tanya.
Elvan tertawa kecil, suaranya serak. “Karena aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa aku nggak bisa hidup tanpa kamu.”
Celia memukul pelan bahu Elvan, setengah bercanda. “Lain kali, jangan tunggu aku bilang duluan, ya.”
Elvan mengangguk, senyumnya lebar. “Aku janji.”
Di studio kecil itu, di tengah suara alat-alat musik yang masih menyala, mereka akhirnya menemukan apa yang selama ini mereka cari. Mungkin jalan ke depan tidak akan mudah, tapi untuk pertama kalinya, mereka yakin bisa menghadapi semuanya bersama.