NovelToon NovelToon
Pewaris Terhebat

Pewaris Terhebat

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Balas Dendam / Menantu Pria/matrilokal / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: BRAXX

Datang sebagai menantu tanpa kekayaan dan kedudukan, Xander hanya dianggap sampah di keluarga istrinya. Hinaan dan perlakuan tidak menyenangkan senantiasa ia dapatkan sepanjang waktu. Selama tiga tahun lamanya ia bertahan di tengah status menantu tidak berguna yang diberikan padanya. Semua itu dilakukan karena Xander sangat mencintai istrinya, Evelyn. Namun, saat Evelyn meminta mengakhiri hubungan pernikahan mereka, ia tidak lagi memiliki alasan untuk tetap tinggal di keluarga Voss. Sebagai seorang pria yang tidak kaya dan juga tidak berkuasa dia terpaksa menuruti perkataan istrinya itu.

Xander dipandang rendah oleh semua orang... Siapa sangka, dia sebenarnya adalah miliarder terselubung...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BRAXX, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19 Pekerjaan

"Apa itu, Nona?" tanya Mason dengan senyum yang perlahan terbit. Harapan yang hampir padam kini menyala kembali. "Aku janji akan melakukan apa pun, Nona."

Sophia berdiri dari kursinya dengan anggun, melangkah menuju meja kerja. Ia mengambil ponsel dari atas meja dan mengetik sesuatu selama beberapa saat sebelum kembali duduk di sofa di hadapan Mason. "Aku akan membacakan pesan dari orang yang kau singgung. Dengarkan baik-baik. Aku tidak akan mengulanginya untuk kedua kali."

"Ya, Nona. Tentu saja," ujar Mason dengan anggukan cepat. Ia duduk terlalu tergesa hingga hampir terjatuh ke belakang.

Sophia membuka pesan di ponselnya dan mulai membacakan. "Kau harus menjaga sikap kepada siapa pun di luar sana, tanpa memandang apakah dia berasal dari kalangan atas atau bawah. Semua gerak-gerikmu akan dipantau oleh suruhanku selama 24 jam, di mana pun kau berada. Jika kau tertangkap menghina seseorang atau melakukan tindakan kasar tanpa sebab, hukumanmu akan diperberat. Selamanya, perusahaan keluarga Dagger akan dihapus dari dunia bisnis negeri ini tanpa pernah bisa kembali dalam bentuk apa pun."

Mason menahan napas, tubuhnya membeku di tempat. Ancaman itu begitu serius hingga seolah menggantung di udara. Keringat bercucuran dari pelipisnya, dan ia meneguk ludah dengan susah payah. Hanya menjaga sikap? itu terdengar mudah, pikir Mason, meski kegelisahan tetap menyelimuti pikirannya.

"A-aku akan melakukannya, Nona." Mason membungkuk beberapa kali. Tidak peduli kondisi apa yang diberikan pihak lawan, selama itu mampu melakukannya dan selama itu mampu mengembalikan wajah dan harga dirinya di hadapan keluarga Dagger, maka dia akan melakukannya dengan sebaik mungkin.

"Aku akan melakukannya, Nona. Kau bisa percayaku." Mason berbicara penuh penekanan. Setengah beban berat yang menggelayutinya perlahan menghilang.

Sophia menyipitkan mata, senyum tipis menghiasi bibirnya. "Jangan senang dulu, Tuan Mason. Masih ada pesan lain yang harus kau dengar."

"Pe-pesan lain?" Mason kembali tegang, kedua tangannya mengepal erat di atas lutut.

"Selama satu bulan penuh, kau harus bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu anak perusahaan milik Phoenix Vanguard. Itu adalah hukuman tambahan. Jika kau menolak, ancaman yang kau dengar tadi akan menjadi kenyataan. Hukumanmu akan dimulai besok pagi."

"Pe-petugas kebersihan?" Mason membuka mulutnya, ekspresi terkejut dan penuh penghinaan tergambar jelas di wajahnya. Sebagai putra keluarga Dagger, pekerjaan itu adalah pukulan telak bagi harga dirinya. Namun, konsekuensi dari penolakan jauh lebih menakutkan.

"Ba-baik, Nona. Aku akan melakukannya," ujarnya akhirnya, meski matanya berkaca-kaca oleh rasa malu.

"Kau pria yang bertanggung jawab," puji Sophia dengan nada yang hampir terdengar seperti sindiran.

Mason mencoba tersenyum, meskipun hatinya menjerit. "Sudah seharusnya seorang pria sepertiku melakukan yang terbaik untuk keluarganya, Nona."

Di ruang samping, Xander menyaksikan layar monitor dengan senyum puas. Wajah Mason yang penuh ketegangan dan rasa hinaan adalah hiburan yang tak ternilai baginya. "Hari-hari burukmu dimulai dari sekarang, Mason," gumam Xander, nadanya dingin namun penuh kemenangan.

Di ruangan lain, Sophia berjalan dengan tenang menuju meja, mengambil sebuah map cokelat, lalu menyerahkannya kepada Mason. "Di dalam map ini terdapat semua detail hukuman yang harus kau jalani. Gunakan kesempatan ini dengan bijak. Tidak akan ada kesempatan kedua."

Mason menerima map itu dengan tangan gemetar. Ia membuka dokumen-dokumen di dalamnya, membaca satu persatu syarat yang tertulis. Mata Mason membelalak saat ia membaca lebih jauh, tinggal di mes karyawan yang sempit, berbaur dengan para pekerja dari kalangan bawah, dilarang membocorkan hukumannya kepada siapa pun, dan berada di bawah pengawasan super ketat selama 24 jam. Map itu tanpa sadar diremas di tangannya.

"Evelyn," gumam Mason, teringat akan rencana pernikahannya yang dijadwalkan satu bulan lagi. Pilihan ini terasa seperti jerat yang mematikan. Ia tahu keluarga Voss akan memandang rendah dirinya jika ia harus menunda pernikahan. Namun, hidupnya kini lebih penting daripada harga diri. Ia akan memikirkan alasan yang masuk akal nanti.

"Sekarang, ikuti aku, Tuan." Sophia melewati Mason yang masih memegangi map. "Kau akan mendapatkan pelatihan sebelum kau memulai pekerjaanmu."

"Ba-baiklah, Nona." Mason, dengan enggan, bangkit dan mengikuti langkah Sophia.

Sophia membawanya ke sebuah gudang yang luas, penuh dengan barang-barang berserakan dan debu tebal di mana-mana. Lampu neon berkilat redup, menambah kesan suram di tempat itu. Seorang petugas kebersihan mendekati mereka, wajahnya netral tanpa ekspresi.

"Biar pria ini yang membersihkan dan membereskan semuanya. Kau hanya perlu mengawasi dan memberitahunya bagaimana cara kerjanya," perintah Sophia kepada petugas kebersihan itu.

Mason menyeringaikan gigi ketika melihat gudang yang sangat luas dengan keadaan yang kacau balau. Ia terkejut dan merasa tidak terima karena harus membersihkan tempat ini seorang diri. Ini benar-benar penghinaan terhadapnya.

"Kau harus menyelesaikan ini secepat mungkin. Ingat, semua gerak-gerikmu diawasi. Kau tidak akan diizinkan pulang sebelum gudang ini bersih. Kau mengerti?" Sophia menatap Mason tajam.

"Ba-baik, Nona," jawab Mason dengan suara bergetar, meski hatinya menolak mentah-mentah perintah tersebut.

Sophia segera meninggalkan gudang, kemudian mengirim pesan pada Xander bahwa urusannya dengan Mason sudah selesai.

"Bagus sekali, Sophia." Xander tersenyum saat membaca pesan tersebut, terutama saat melihat Mason tengah mengangkat beberapa kardus di layar dengan wajah masam. "Ini benar-benar pemandangan yang bagus."

Xander melirik jam dinding. Jarum pendek masih menunjukkan pukul sebelas siang. Ia mengambil ponselnya dan mengetik cepat sebelum menempelkan telepon ke telinga. Suara di seberang menyahut dengan nada heran.

"Aku sudah mendapatkan pekerjaan untukmu," kata Xander dengan nada santai.

"Pekerjaan untukku?" Parker, yang sedang berjalan menuju gedung pertarungan, menghentikan langkahnya. Ia memicingkan mata seolah mencoba memahami maksud temannya. "Apa maksudmu, Bung? Kau sedang tidak membodohiku, bukan?"

"Tidak," jawab Xander seraya berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke balkon, membiarkan angin segar menyentuh wajahnya. Dari sana, pemandangan kota yang megah terhampar di depan mata. Sebuah ide brilian terlintas di benaknya. "Datanglah ke gedung pertemuan yang kita kunjungi kemarin. Teman-temanku akan menjemputmu."

"Teman-temanmu? Hei, Bung!"

Namun, Xander menutup telepon tanpa menjawab. Ia memutar tubuh, menatap Govin yang berdiri tidak jauh darinya. "Govin, aku baru saja mendapatkan ide cemerlang. Aku ingin Parker, temanku, mengawasi Mason selama menjalani hukumannya."

Govin mengangkat alis, tampak sedikit skeptis. "Apa pria bernama Parker itu bisa dipercaya, Tuan?"

"Itulah tugasmu untuk menilainya," jawab Xander sambil tersenyum tipis. "Segera perintahkan orang-orangmu untuk menjemputnya di tempat yang kusebutkan."

"Baik, Tuan," kata Govin, lalu segera mengirimkan pesan singkat kepada bawahannya.

Xander kembali menatap layar di depannya. Wajah Mason yang penuh amarah dan kehinaan membuat senyumnya melebar. Ia menekan tombol rekam untuk mengabadikan momen itu.

Setengah jam kemudian, sebuah mobil berhenti di halaman gedung. Parker, turun dari mobil dengan raut wajah kebingungan. Ia dibawa menuju ruangan yang sudah disiapkan. Di sana, ia langsung menghubungi Xander melalui ponselnya.

"Bung, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku dibawa ke tempat mewah seperti ini? Di mana kau sekarang? Aku ingin berbicara denganmu," kata Parker, bertanya beruntun.

"Aku akan menemuimu bersama atasanku. Tunggulah di sana," jawab Xander sebelum menutup telepon.

Beberapa menit kemudian, Xander memasuki ruangan Parker bersama Govin dan tiga pengawal. Parker langsung berdiri ketika melihatnya.

"Bung, apa yang terjadi? Kenapa kau... memakai pakaian bagus seperti itu?" Parker terlihat heran, terutama saat tiga pengawal mendekat, membuatnya kembali duduk dengan gelisah.

Govin melangkah maju, menarik kursi dan duduk di depan Parker. "Aku Govin, atasan Xander," katanya tanpa basa-basi. "Bawahanku, Xander, mengatakan jika kau memerlukan pekerjaan. Karena itu aku memerintahkan suruhanku untuk membawamu ke sini. Kau akan kami tempatkan di sebuah perusahaan yang berada di pinggiran kota sebagai petugas kebersihan."

Parker memandangi Xander dengan ekspresi tidak percaya. "Tuan, apa ini sungguhan? Aku hanya seorang pria biasa tanpa pendidikan atau pengalaman selain pekerjaan kasar."

"Itu tidak masalah," jawab Govin dengan nada tegas. "Karena Xander mempercayaimu, aku juga akan mempercayaimu. Mulai besok, kau akan bekerja di sana. Malam ini, kami akan mengantarmu ke lokasi."

Parker menggaruk tengkuknya, tampak gelisah. "Tuan, saya memiliki adik perempuan yang sedang sakit di rumah sakit. Jika saya pergi, tidak ada yang menjaganya."

"Itu masalah kecil," kata Govin tanpa ragu. "Aku akan menugaskan bawahanku untuk menjaganya selama 24 jam."

"Tuan...." Parker menatap tak percaya. Aneh rasanya karena orang-orang ini teramat baik di dekatnya dan adiknya. “Bisa aku berbicara dengan temanku sebentar, Tuan?"

Parker melirik Xander yang berdiri di belakang Govin.

Govin mengangguk. "Kau hanya punya waktu tiga menit."

"Baik!" Parker memberi isyarat pada Xander untuk keluar dari ruangan. Di luar, ia segera bertanya, "Apa maksud semua ini, Bung? Kenapa mereka begitu baik padaku dan adikku? Dan... kenapa kau terlihat begitu berbeda?"

"Tenanglah, Parker," ujar Xander, "biar aku jelaskan dari awal. Sepulang dari tempat pertarungan, aku tidak sengaja bertemu dengan atasanku yang tengah terpojok oleh musuh-musuhnya di geng kecil. Aku membantunya mengalahkan musuh dan sebaliknya dia memberiku pekerjaan sebagai salah satu pengawalnya. Saat aku mengingatmu, aku meminta untuk mendapatkan pekerjaan juga. Bukankah itu bagus?"

"Memang terdengar bagus untukku, apalagi saat aku membutuhkan uang untuk pengobatan adikku. Tapi aku benar-benar tidak bisa meninggalkan adikku sendirian, Bung. Kami hanya hidup berdua dan..."

"Kau bisa mempercayai ucapanku, Parker. Selama kau bekerja, aku akan mengawasi dan menjaga adikmu."

Parker mengerutkan kening, berpikir dalam. la memang membutuhkan pekerjaan dan uang untuk kehidupannya dan adiknya.

"Bagaimana jika adikmu dipindahkan ke rumah sakit yang ada di dekat tempat kerjamu? Aku akan meminta atasanku untuk melakukannya."

"Hei, apa itu tidak berlebihan? Lagipula kau bawahannya, Bung. Dia bisa saja memecatmu dengan mudah jika kau terlalu banyak meminta darinya."

"Percaya saya. Sekarang saatnya kembali ke dalam."

Xander dan Parker kembali ke ruangan. Govin segera memberi tahu tugas khusus untuk Parker sekaligus memastikan kepindahan adiknya di dekat tempat kerja barunya. Parker sempat ragu, tetapi pada akhirnya menyetujui hal itu.

Beberapa menit setelahnya, Parker pulang diantar oleh bawahan Xander. Bersamaan dengan Xander dan Govin yang kembali ke ruangan semula, sebuah mobil baru saja menepi gedung Phoenix Vanguard.

Dalton dan Ruby turun dari mobil, berjalan menuju lobi dengan langkah cepat. Keduanya mengabaikan sopan santun para pegawai.

"Benar-benar memuakkan," gerutu Dalton saat memasuki elevator, "paman bodohku sudah mengganggu kegiatan siangku. Aku harap dia mati sebelum waktu pertemuan digelar.

"Ayolah, Dalton. Aku tahu kau hanya ingin pergi menuju tempat pertarungan kumuh itu. Tidak bisakah kau fokus pada pekerjaan untuk sesaat?" Ruby memutar bola mata. “Jika ayahmu menjadi pewaris kekayaan menggantikan paman bodoh kita, kau pasti akan mendapat lebih banyak pekerjaan."

"Aku melakukan semua itu agar aku bisa sedikit lebih rileks, Ruby." Dalton beralasan.

Ruby berdecak. “Aku ingin tahu kenapa Phoenix Vanguard tiba-tiba memutus kerja sama dengan keluarga... keluarga Dagger tanpa memberitahu kita lebih dulu. Bukankah itu sangat tidak sopan?"

1
Was pray
keluarga voss keluarga yg terlalu menuhankan harta, sehingga rela menjadi anjing asal dpt harta
Was pray
cinta buta xander pd evelyn akan merendahkan martabat keluarga besarnya,bagaimana mau dpt cinta sejati dan tulus jika penampilan xander saja masih menunjukan dia anak orang kaya, dan sikap balas dendam dg cara menunjukan prestasi lebih elegan dan terhormat dimata org yg pernah merendahkannya,cari wanita yg lebih segalanya dari evelyn itu lebih bermartabat daripada balikan sama evelyn yg telah mencampakkanya
Was pray
xander terlalu ceroboh dlm bertindak, mau menyembunyikan identitas tapi ceroboh dlm bertindak
Was pray
xander terlalu PD, dua arti PD percaya diri dan pekok Dewe( bodoh sekali)
Anton Lutfiprayoga
up
Anton Lutfiprayoga
up...👌👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!